Usai konfirmasi pemecatan secara sepihak yang dilakukan oleh sang atasan, Na Ra pun memilih berjalan menyusuri jalanan kota Seoul untuk mencari udara segar, usai hatinya mendapat serangan mendadak beberapa waktu lalu.
Kesal, marah, kecewa, seakan begitu percuma untuk dirasakan. Pasalnya, semua yang terjadi terhadapnya saat ini, adalah buah dari apa yang sudah dia lakukan. Yang mana risiko dari pekerjaannya di perusahaan media, bahkan sudah tertulis begitu jelas dalam kontrak kerja beberapa tahun silam.
Tarik napas ... Lalu keluarkan. Diulang beberapa kali, hingga dirinya merasa jauh lebih tenang dalam pikiran yang penuh dengan berbagai pertanyaan.
Apa yang akan terjadi setelah ini? Mustahil jika sebatas itu gertakan dari seorang pria berkuasa seperti Dennis Oh. Yang mana perusahaan media cukup besar seperti NJT Media pun benar-benar berhasil ditundukkan dan dibuat takut olehnya. Bukankah menghancurkan hidup seseorang semudah menjentikkan jari baginya?
Cukup lama Na Ra hanya berjalan tanpa arah, dan akhirnya memilih untuk duduk di kursi taman kota. Beristirahat sejenak, ketika kakinya mulai terasa pegal setelah berjalan cukup jauh.
Namun sayangnya, suara nada dering ponsel dari dalam tas miliknya tiba-tiba terdengar samar di telinga, membuat wanita itu segera menurunkan kotak coklat dari tangannya, lalu menaruhnya di atas kursi–samping tempat duduk. Merogoh benda pipih tersebut dari dalam tas, dan mengusap tombol hijau pada layar saat melihat nomor tak dikenal tertera di sana.
“Yeoboseyo,” ucapnya saat panggilan sudah tersambung.
** (Halo)
“Ah, rupanya, kau masih memiliki tenaga untuk menjawab panggilanku.”
“Ya?” tanya Na Ra ketika pendengarannya tidak begitu jelas menangkap suara pelan dari seberang telepon sana.
“Bagaimana dengan penawaranku? Apa kau sudah memikirkannya?” Suara berat nan tegas yang sudah sangat ia kenal pun kembali menyapa indera pendengarannya dengan pertanyaan to the point, hingga membuat rahang Na Ra tiba-tiba terkatup begitu rapat, menahan amarah.
Wanita itu mencebik. “Apa kau masih belum merasa puas, setelah membuatku dipecat dari pekerjaan, Tuan Dennis Oh yang terhormat?” tanyanya.
“Jadi, kau dipecat dari NJT Media? Dan sekarang sedang menyalahkanku? Hehey! Aku bukan pimpinanmu. Lalu, untuk apa aku memecatmu? Itu bukan urusanku!” sahut Dennis Oh. Walau terdengar seperti sangkalan, namun perkataan pria itu benar adanya.
“Nappeun-nom!” gumam Na Ra sangat pelan, menahan emosi.
** (Dasar manusia jahat)
Alih-alih merasa marah mendengar umpatan wanita itu, Dennis Oh malah tertawa di seberang telepon sana, hingga Na Ra sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Ini baru permulaan, dan kau sudah mengataiku pria jahat? Jangan terburu-buru, Nona manis! Simpan saja umpatanmu itu untuk kejutan lain yang akan kau terima. Ini baru kartu jack saja. Aku bahkan belum mengeluarkan kartu As untukmu!”
“Apa kau masih belum puas setelah merebut segalanya dariku?” tanya Na Ra.
“Kau bahkan yang memulai peperangan ini. Lalu, mengapa seolah kau menyalahkanku?” tanya Dennis Oh.
Bukannya menjawab, Na Ra yang sudah diliputi oleh emosi bergegas pergi ke pemberhentian bus, hendak menuju gedung perkantoran O’Neil Chemical–hanya dengan bermodalkan petunjuk arah pada ponsel–sembari membawa kotak peralatan di tangan. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang melihatnya, ataupun gerutuan berang dari mereka yang tertabrak olehnya.
Na Ra benar-benar dibuat amat sangat kesal, karena seolah-olah Dennis Oh masih merasa tidak cukup puas usai mengambil keperawanannya, dan kini malah membuat Na Ra dipecat secara tidak hormat dari pekerjaan. Diejek, dihina, bahkan menerima tatapan mencemooh dari para rekan sejawatnya.
Memang benar, bukan Dennis Oh yang memecatnya secara langsung. Namun, semua terjadi karena ulah pria itu, hingga sang pimpinan mengambil langkah terburuk tanpa memberi surat peringatan sekalipun.
Di dalan bus ... sepanjang perjalanan menuju gedung O’Neil Chemical, Na Ra hanya bisa memandangi jalanan dengan pikiran penuh. Bahkan, ia tak sadar, air matanya begitu saja menetes di atas wajah ketika perasaan sesal tiba-tiba menggelayuti dalam diri.
Ya, menyesal, karena telah meremehkan perkataan pria gila itu, yang menyatakan bahwa dirinya tak sebanding dengan Na Ra. Bukankah dari situ saja sudah bisa disimpulkan, bagaimana akhir dari pertarungan ini?
Lagi-lagi, helaan napas panjang kembali terdengar, sebelum akhirnya suara dering ponsel dari dalam tas membuyarkan pikiran Na Ra. Dengan malas, wanita itu mengambil benda pipih tersebut, dan mengusap tombol hijau pada layar, setelah memastikan siapa penelepon.
“Jun-a, mengapa kau baru menghubungiku? Aku merindukanmu,” ucap Na Ra to the point, bahkan tanpa menunggu sang penelepon menyapa.
“Kau merindukanku? Kenapa tidak mengatakannya? Jika saja kau mengatakannya, mungkin aku akan mendatangimu hari itu juga.”
“Aku sedang sibuk, Jae Jun. Jadi, sulit sekali mencari waktu hanya untuk sekadar bersantai, ataupun menghubungimu.”
“Sepertinya, kau sedang tidak baik-baik saja, Na Ra,” tebak pria di seberang telepon sana.
Na Ra menghela napas dalam, sembari mengusap air matanya. “Apa begitu jelas?”
“Hanya mendengar suaramu saja, itu sudah menjelaskan perasaanmu saat ini,” jawab Lee Jae Jun–sahabatnya dari panti yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan manufaktur kota Seoul. “Apa yang sedang mengganggu pikiranmu? Apa kau ada masalah?” tanyanya melanjutkan.
“Geunyang ....” jawab Na Ra, sembari menyandarkan kepalanya pada kaca jendela bus. “Hanya masalah kecil. Tidak begitu penting!” imbuh Na Ra, menutupi kegusarannya dari sang sahabat.
“Aku akan menemuimu! Kau dimana sekarang? NJT Media? Atau ... Di rumah sewamu?” tanya Jae Jun. Pria itu tidak begitu saja percaya dengan jawaban yang Na Ra berikan, dan malah menaruh kecurigaan terhadap wanita tersebut.
Na Ra terkekeh pelan. “Tidak. Aku sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.”
“Katakan padaku! Ke mana tujuanmu?” tanya Jae Jun lagi.
“Apa kau mengkhawatirkanku?” Bukannya menjawab, Na Ra malah kembali mengajukan pertanyaan. Dan membuat Jae Jun terdengar menghela napas dalam-dalam.
“Tentu saja! Bagaimana mungkin aku tidak mengkhawatirkan keluargaku?”
Na Ra tersenyum. “Setidaknya, kau masih tetap menjadi alasan pertamaku untuk tetap bertahan, Jun-a,” ucapnya tanpa sadar.
“Apa yang Dennis Oh lakukan kepadamu?!” tanya Jae Jun. Rupanya, pria itu sudah mengetahui perihal yang mengganggu pikiran Na Ra.
“Kita bicarakan di lain waktu saja. Aku benar-benar sedang tidak ingin membicarakan hal itu dengan siapapun, Jae Jun. Kuharap kau mengerti,” jawab Na Ra.
“Tetapi–“
Belum sempat Jae Jun melanjutkan perkataannya, bahkan tanpa berpamitan, Na Ra tiba-tiba memutuskan panggilan tersebut, dan menonaktifkan gawai miliknya. Memasukkan benda pipih itu ke dalam tas, lalu menghela napas begitu dalam. Kembali merasakan sakit di dadanya akibat amarah yang terus meluap-luap. Apalagi, ketika ia teringat, bagaimana perjuangannya untuk bisa bertahan di NJT Media.
‘Kau sudah berhasil menghancurkanku, Dennis Oh! Kau benar-benar iblis dalam bentuk manusia!’
***