Pelindung

1200 Kata
“Owh aku kira kau sudah pulang,” ujar Aliana terkejut melihat Andrean ternyata masih ada di tempat duduknya yang tadi bedanya sekarang teman mengobrolnya adalah Hasbie bukan lagi Salsa. “Kau kira aku akan pergi begitu saja seperti maling atau orang yang tidak tau sopan santun meninggalkan tamunya begitu saja di meja makan,” balas Andrean sadar saat Aliana sudah diujung tangga menegurnya tadi. “Hey aku aku sudah meminta izin ya tadi aku butuh ke kamar dulu,” balas Aliana kembali. Andrean memutar bola matanya dengan ekspresi jengkel. “Sudahlah ada yang ingin aku katakana, walau sebenarnya ini sudah aku katakan padamu sebelumnya tadi akan kuingatkan sekali lagi.” Andrean melihat kearah Aliana yang masih berdiri. “Ya sudah katakan saja lagi.” Aliana membalas tatapan Andrean kebingungan sebab Andrean tidak berhenti menatapnya sinis. “Yak au duduk dulu. Astaga…, naik darah dibuatnya aku,” keluh Andrean dan membuat Annie dan Hasbie terkikik menggelengkan kepala. “Ck, iya-iya.” Aliana pun duduk di salah satu kursi meja makan itu. Kemudian dia memandangi lagi Andrean yang belum juga berbicara walau dia sudah duduk. “Ya sudah katakana apa yang mau kau katakana,” ujar Aliana tidak sabaran. “Ck! Stttt…, sabar dulu cerewet. Kita tidak bisa lengah begitu saja, sebab aku yakin sekitar kalian ini ada mata-mata yang mengikuti kalian dan membocorkan informasi. Khususnya untuk kamu Al. Kamu sudah tau tentang dirimu siapa, tapi tolong tetaplah bersikap seperti biasanya kamu,” papar Andrean dengan suara yang pelan. “Aku sudah mengatakan menjelaskan pada Paman Hasbie dan Bibi Annie, tinggal kamu yang harus berhati-hati. Kuharap kamu tidak lengah Al, kita tidak bisa menjamin bagaimana kedepannya yang dapat kita lakukan adalah waspada dan mencegah yang terjadi lebih besar,” sambung Andrean lagi. Kali ini pesannya memang ditujukan pada Aliana karena sebelumnya Andrean sudah menjelaskannya pada Hasbie dan Annie tentang kondisi dari Juan. “Baiklah aku mengerti, terimakasih.” Aliana tersenyum pada Andrean, dia dan Andrean baru bertemu tapi Andrean seperti sungguh-sungguh ingin melindungi Aliana. Aliana tidak tahu seberapa bahayanya Juan, seberapa kejamnya orang bernama Juan itu yang terlah melenyapkan orang tua dan saudaranya. Orang bernama Juan itu jugalah yang membuat Aliana tidak dapat menyandang nama Yaksa yang sebenarnya dia miliki. Orang itu jugalah yang membuatnya harus disembunyikan dan tidak tahu jati dirinya selama belasan tahun. “Seberapapun bahayanya dia, dia tetap akan mendapatkan balasan untuk orang tuaku dan saudaraku,” batin Aliana. Hasbie memperhatikan tatapan Aliana yang datar dan tajam, sudut bibir Hasbie terangkat sedikit bahkan orang disekitarnya tidak menyadari senyuman itu. “Sebenarnya aku berada di sini pun sudah akan membuat kecurigaan, maka dari itu jika ada yang bertanya siapa aku maka katakan saja aku untuk Paman, jasaku Paman butuhkan.” Andrean menatap Hasbie saat berbicara. Dia masih ragu untuk itu, karena walaupun itu sudah dikatakan tetap saja orang yang benar-benar kaki tangan dari Pamannya itu tetap akan tahu siapa dirinya sebenarnya. Maka dari itu selama ini orang Pamannya tidak ada yang bergerak sembarangan tanpa izin dari bos besar mereka sendiri jika berhubungan dengan Andrean. “Baiklah, kuharap apa yang kau katakan itu dapat mengecoh mereka karena Paman sendiri kurang yakin. Terimakasih atas informasi yang telah kau berikan pada kami, itu sangat berguna.” Hasbie menatap serius Andrean dalam bicaranya. “Selama ini Paman tau apa yang dia inginkan hanya saja tidak yakin karena dia terlihat tidak bergerak begitu banyak untuk mendapatkan keinginannya itu tapi malah bergerak untuk bernegosiasi dengan pemilik pulau lain, atau mengambil pula tidak berpenghuni lalu menjualnya secara illegal. Tua Bangka itu sudah keterlaluan, seluruh darahnya mengalir darah uang haram,” tutur Hasbie, dia sudah memamata-matai guna mendapatkan informasi pergerakan dari sang pembantai itu. Andrean ingin mengucapkan sesuatu kembali tapi dering ponsel miliknya mengalihkan perhatiannya dan orang yang ada di ruangan itu. “Sebentar,” kata Andrean kemudian dia sedikit menyingkir dari meja makan dan berdiri sedikit lebih jauh untuk menerima panggilan telpon itu, dari seseorang yang dia kenal dan dia percaya. “Ya?” “….” “Sungguh?!” “….” “Pastikan, aku akan memeriksanya nanti. Baiklah.” Setelah itu Andrean menutup panggilan tersebut dan menyimpan kembali ponselnya. Andrean kembali menghampiri meja makan yang masih terdapat Hasbie, Annie, dan Aliana. Menatap tiga orang itu lalu berkata, “sepertinya aku harus pergi sekarang, semakin lama pun aku berada di sini tidak membuat tempat ini menjadi semakin aman. Tua Bangka itu kali ini harus aku hentikan lagi.” Hasbie paham maksud dari Andrean tapi tidak dengan Annie dan Aliana, dua orang itu hanya menatap bingung Andrean tapi ikut menganggukkan kepala seperti yang kepala keluarga lakukan. “Hati-hati Nak,” ucap Hasbie. “Jaga dirimu juga,” ujar Annie sambil melemparkan senyum lembutnya. Andrean tersenyum, tatapan orang tua anggat Aliana seakan membuatnya kembali menatap senyuman dari orang tuanya yang sudah lama meninggal dunia. “Baik, terimakasih Paman Bibi, aku pergi dulu,” pamit Andrean. Aliana berdiri. “Aku akan mengantarmu ke depan,” seru Aliana dan mendapat angguakan kepala dari Andrean. Mereka pun pergi beriringan menuju pintu utama keluar dari rumah besar itu. “Apa kau akan menemuiku lagi nanti?” tanya Aliana sambil melangkah berada di samping Andrean beriringan. “Aku ingin memastikan, kuharap aku dapat bisa. Tapi akan aku usahakan tetap bisa menemuimu jika tidak paling aku akan mengawasimu saja,” jawab Andrean. Dahi Aliana berkerut. “Muncullah jangan selalu hanya mengawasiku saja,” tutur Aliana dengan nada sedikit kesal. Andrean terkekeh mendengar Aliana kesal padanya. “Kau mengkhawatirkanku ya?” goda Andrean sambil tersenyum lebar memandang kesampingnya. “Ck diam.” Aliana kesal bercampur malu, memang ada rasa khawatir pada dirinya tapi dia tidak pandai mengungkapkannya secara langsung, tapi bagusnya Andrean memahami Aliana yang mengkhawatirkannya. Andrean terkekeh membuat Aliana ingin menutup wajahnya tapi tidak dilakukannya karena tentu saja itu akan membuat Andrean semakin gencar untuk menggodanya. “Ulu-ulu-ulu Nona Aliana malu, coba lihat telinganya seperti terbakar, merah sekali ck ck ck.” Tapi Andrean tetap menggoda Aliana walau Aliana sudah menunjukkan raut kesalnya. “Akukan hanya tidak ingin dibuntuti saja, dimata-matai apa enaknya,” seru Aliana untuk mengelak dari godaan-godaan Andrean padanya. “Kamu tidak iri dengan Kakakmu? Dia aja yang mengjaga loh Al,” goya Andrean lagi. Kali ini mereka berhenti karena tepat di ambang pintu utama dan di depan mereka ada Brian dan Erisa yang baru saja akan masuk ke dalam rumah. “Tidak,” jawab singkat Aliana. “Sudah sana pulang, hati-hati di jalan.” Kemudian Aliana mendorong pelan Andrean untuk pulang segera. “Aku akan menemanimu besok.” Andrean tersenyum pada Aliana. “Jaga dirimu aku pulang dulu,” pamit Andrean yang dibalas anggukan kepala oleh Andrean. “Aku pulang dulu Bri, Ris.” Andrean pun berpamitan pada Brian dan Erisa saat melewati dua orang itu. Erisa membalas Andrean dengan senyuman dan anggukan berbeda dengan Brian yang hanya melihat Andrean sekilas lalu menatap ke ambang pintu yang masih ada Aliana berdiri di sana melihat Andrean yang sudah berlalu pergi menuruni tangga menuju pintu keluar pajar tanaman pembatas jalan. Setelah Andrean keluar dari pintu putih jalan keluar dari pagar, Aliana pun segera masuk ke dalam rumah lagi meninggalkan dua orang yang lebih tua darinya itu begitu saja tanpa menyapa atau berbicara sedikitpun. … (a)   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN