3.Cobaan untuk menguatkan

1661 Kata
Syahilla harus menelan kenyataan pahit saat tahu mata kirinya tidak lagi sejelas dulu. Kini matanya mengalami buram sebelah akibat cairan berbahaya yang mengenai matanya. Kata dokter yang menanganinya, matanya iritasi akibat cairan berbahaya dan masih bisa sembuh kalau rutin meminum obat. Untungnya, Syahilla tidak kehilangan semua fungsi matanya, walau begitu tetap saja rasanya tidak enak. Mata yang biasa terlihat jelas, kini harus buram, belum lagi proses penyembuhannya sampai harus melewati enam bulan. “Tenang, Syahilla. Saya pastikan kamu sembuh,” ucap Dokter Aro yang kebetulan spesialis mata yang menangani Syahilla. Syahilla yang matanya masih diperban pun, hanya bisa mengangguk. “Maaf, Dok. Apakah tidak ada keluarga yang mencari pasien atas nama saya?” tanya Syahilla pelan. Syahilla sudah cukup lama di rumah sakit, tapi sampai saat ini pun tidak ada tanda-tanda keluarganya akan datang. “Belum ada.” “Soal administrasinya, Dok? Apakah saya bisa langsung pulang dan melunasi Administrasinya?” “Maaf, kamu masih membutuhkan perawatan khusus,” jawab Dokter. Syahilla menautkan jemarinya, kegelisahan soal biaya itu jelas ada. Mengingat tak ada satu pun keluarganya yang datang. Dokter Aro yang melihat kegelisahan Syahilla, hanya mengangguk paham. Tadi saat Aro berada di ruang gawat darurat, krasak-krusuk dari beberpa orang yang mengantar Syahilla terdengar di telinga Aro. Aro paham, kalau pun Syahilla tidak bisa melunasi administrasi, Aro lah yang akan membayar. Aro, dokter muda berusia tiga puluh tahun, dia mengabdi di Irian Jaya sebagai Dokter umum yang menangani orang-orang kurang mampu. Aro tidak pernah mematok tarif alias gratis. Dia yang keturunan orang kaya serta mempunyai perusahaan industri pangan, seakan tidak berniat memperkaya diri lagi. Aro mendedikasikan dirinya untuk orang-orang yang kurang mampu. Namun, dirinya harus kembali ke kota asalnya lantaran untuk mengambil program spesialisnya, hingga akhirnya dia memutuskan bekerja di rumah sakit ini. Sedangkan Di Irian Jaya, dia merekrut seorang dokter wanita yang dia suruh menjadi Dokter yang dia gaji khusus, tapi tidak boleh meminta tarif pada pasiennya di sana. Soal obat-obatan juga, Aro sudah membangunkan apotik dan menyetok banyak obatnya. Sekarang melihat kasus Syahilla yang sepertinya tidak mampu, membuat Aro dengan sukarela membayar semua administrasi Syahilla. Bukan hal yang baru untuk Aro membiayai pasien, beberapa kasus serupa juga pernah ada. “Kamu jangan memikirkan administrasi, administrasinya sudah lunas,” ucap Aro. Syahilla melirik dokter Aro dengan mata kanannya yang masih normal. “Siapa yang membayar, Dok?” tanya Syahilla bingung. Dokter itu mengedikkan bahunya. “Dok, apa dokter yakin?” tanya Syahilla lagi. Syahilla pun bingung siapa yang membayar administrasi dirinya, mengingat dia tidak pernah dekat dengan orang lain selain keluarga dan tetangganya. Dan Syahilla yakin kalau perawatan di rumah sakit sangat mahal. “Saya tidak salah, Syahilla. Memang begitulah kenyataannya. Entah siapa yang melunasinya, mungkin orang ganteng, dermawan, baik hati dan tidak sombong,” ucap Dokter Aro terkekeh. “Kenapa saya merasa kalau dokter tengah membanggakan diri dokter sendiri?” tanya Syahilla tertawa. Aro mengatupkan bibirnya malu. “Sudah-sudah, yang penting kamu jangan mikir apa-apa lagi. Saya ada visit setelah ini,” ujar Aro menepuk tangan Syahilla. Syahilla mengangguk mengiyakan, mempersilahkan Dokter Aro untuk pergi, walau dalam benaknya masih memikirkan siapa gerangan orang baik yang sudah membayar administrasinya. Syahilla menghela napas berkali-kali, perutnya sangat lapar minta diisi, tapi tidak tau mau makan apa. Melirik meja nakas pun tidak ada makanan. Orangtuanya pun juga tidak datang. “Eh mbak … mbak ….” Panggil seorang ibu-ibu mendekati Syahilla. Syahilla menepati kamar kelas tiga, yang satu ruangan berisi enam orang. “Iya, Bu?” “Maaf saya mencuri dengar perbincangan mbak sama dokter Aro. Saya dengar administrasi mbak sudah lunas, ya. Sama seperti suami saya, suami saya sakit katarak dan semua administrasi lunas. Saya kaget padahal belum menyelesaikan p********n sepeser pun, ternyata Dokter Aro tau kalau suami saya tukang becak, dan Dokter Aro yang melunasinya.” Ibu itu bercerita dengan menggebu-gebu. Tampak binar kebahagiaan di mata wanita paruh baya itu ketika menceritakan kebaikan Dokter Aro. Syahilla membuka bibirnya kagum, ternyata masih banyak orang baik di sekitarnya. Pipi Syahilla tiba-tiba memanas, laki-laki impiannya seperti Dokter Aro. Namun, sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya, Syahilla tau itu tidak akan terjadi. Malam harinya, Syahilla hanya bisa menatap pasien sekelilingnya yang dirawat oleh keluarganya masing-masing. Sedangkan dia? Syahilla menguatkan hatinya, apakah dia sama sekali tidak berarti apa-apa bagi keluarganya? Syahilla menghembuskan napasnya berulang kali, ia sadar diri kalau menjadi beban keluarga, wajar kalau keluarganya tidak mempedulikannya. Tiba-tiba di depan pintu terdengar suara riuh, Syahilla mendudukkan dirinya. Matanya mendelik saat melihat kedua orang tuanya memasuki ruangan dan bertanya pada satu orang keluarga pasien. “Ibu, Syahilla di sini!” ucap Syahilla. Farihna dan Rahman menghampiri Syahilla. Tampak wajah mereka sangat khawatir dengan keadaan putri semata wayangnya. “Nak, maafkan ayah, ya. Ayah baru bisa ke sini karena sepeda motonya dibawa Narenda,” ujar Rahman mengusap kepala Syahilla. Syahilla tersenyum, harusnya dia sadar dari awal, mereka hanya punya satu sepeda motor yang dibuat gentian. “Matamu kenapa? Dan apa kata dokter?” tanya Farihna. “Mata Syahilla mungkin tidak akan normal lagi, Bu. Kata dokter penyembuhannya bisa memakan waktu enam bulan, tapi ibu tenang saja, semua biayanya gratis,” jelas Syahilla. “Walau gratis tetap saja ini menyusakan Ibu, Syahilla. Dengan keadaanmu yang cacat begini, tidak akan ada perusahaan yang mau menerimamu sebagai karyawan, hidup kita akan terus seperti ini gak bakal ada kemajuan,” sentak Farihna memijtit keningnya yang pening. “Ibu berharap banyak kamu bisa mengubah ekonomi keluarga kita, tapi lagi-lagi kamu menghancurkannya. Pertama, kamu yang sehat malah membuang waktu untuk melukis, dan saat kamu cacat begini kamu bisa apa? Tambah stress ibu lama-lama, Syahilla!” teriak Farihna dengan geram. Orang-orang yang mendengar ucapan ibu Syahilla, langsung membatin dalam hati kalau ibu Syahilla bukan ibu yang baik. Syahilla sungguh malu mendengar ucapan ibunya sendiri. Sakit hati jelas ada, saat keadaannya sakit tetap saja ibunya hanya memikirkan uang, uang dan uang. “Syahilla, jangan dengarkan ibumu. Biarkan saja anggap seperti angin,” bisik Rahman. “Ayah sudah makan?” tanya Syahilla mengalihkan pembicaraan. Rahman menatap anaknya, di saat sakit begini anaknya masih saja memperhatikan yang lain. “Kalau belum, ada dompet Syahilla di rumah, ayah bisa pulang beli makan,” ucap Syahilla lagi. “Kamu sudah makan apa belum?” tanya Rahman. Syahilla ingin menjawab sudah, tapi suara perutnya tidak bisa diajak kerjasama. “Kamu lapar kan? Ayah belikan makanan dulu, kamu masih bisa nahan kan?” tanya Rahman. “Ngapain beli, sebentar lagi ada jatah makan,” ucap Farihna. “Iya, Yah. Lebih baik nunggu makanan dari rumah sakit saja,” ujar Syahilla dengan suaranya yang sedikit bergetar. Syahilla tengah menahan tangisnya karena ucapan-ucapan ibunya. Rahman pun mengangguk, memilih menunggu makanan dari rumah sakit saja. Sudah Syahilla duga, meski dia dalam keadaan sakit begini, masih saja ibunya tidak memperhatikannya. Apakah dia harus mati agar ibunya merasa kehilangan?. Kadang Syahilla akan berpikir sempit untuk mengakhiri hidupnya. Namun, itu bukan lah jalan yang baik. Yang keadaannya lebih di bawahnya sangat banyak. Syahilla percaya kalau beban masalahnya berat, Allah akan menguatkan pundaknya untuk menyelesaikannya. Kedua orangtua Syahilla memutuskan pulang saat Keamanan sudah memberikan pemberitahuan kalau selain penjaga pasien, harus pulang karena pasien membutuhkan istirahat. Saat Rahman ingin menjaga putrinya, Farihna menentang keras. Farihna mengatakan kalau Rahman harus bekerja besok agar bisa menyambung makan, kalau Rahman di rumah sakit siapa yang akan mendapatkan uang. Sedangkan Farihna juga tidak mau menjaga anaknya. Syahilla iklas bila jalan hidupnya seperti ini. “Aku anak kandung, tapi serasa anak tiri,” ucap Syahilla pada dirinya sendiri. Perih di matanya tiba-tiba terasa, ingin rasanya Farihna menggaruknya. Namun, seorang ibu-ibu mencegah tangannya. “Jangan digaruk, nanti perbannya lepas,” ucap Ibu itu. Syahilla melihat penampilan ibu itu dari atas sampai bawah, terlihat sekali kalau dari kalangan orang berada. “Panggil saja Ibu Manda!” ucap Ibu itu. Syahilla tersenyum kikuk, dengan sebelah matanya dia seperti tidak asing dengan Ibu Manda, tapi siapa Syahilla lupa. “Kamu jangan khawatir, kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja saya, ya! Saya menunggu anak saya di sana, korban tabrak lari,” ujar ibu itu. Aku berusaha melihat branker yang ditunjuk ibu Manda. Walau tidak terlalu jelas, aku bisa tau kalau yang sakit anak kecil. “Terimakasih banyak ya, Bu. Ibu Manda baik sekali,” puji Syahilla. Syahilla tidak menyangka masih banyak orang baik di sekelilingnya. Yang sering melihat berita artis di infotaiment, mungkin sudah tidak asing dengan sosok Ibu Manda. Sosok yang selalu dibanggakan seorang Bintang muda bernama Reza. Nama Reza yang melejit membuat pemburu berita mengorek informasi tentang pria itu. Dan nama Bu Manda yang kerap disebut Reza sebagai mama yang paling berjasa di sepanjang karirnya. Wajah Manda pun juga seliweran di layar kaca. Hari ini saat Bu Manda baru pulang dari Mall, dia menemukan pengamen kecil yang menjadi korban lari. Dengan penuh rasa kemanusiaan, Bu Manda menolongnya dan membawanya ke rumah sakit, tapi sayang ruangan VVIP sedang penuh, membuatnya harus memberikan kamar seadanya. Bu Manda ikut sakit hati saat tadi mendengar ucapan ibu Syahilla, diam-diam dia menyimak walau terkesan tidak sopan. Manda mengelus wajah Syahilla, wajah cantik yang membuat Manda menaruh hati meski baru pertama kali melihatnya. “Kamu sudah punya pacar atau belum?” tanya Manda pada Syahilla. Syahilla tertawa sebentar sebelum menjawab ‘tidak. “Ibu berdoa, kamu akan menemukan pria yang bisa membuatmu bahagia,” kata Bu Manda. “Aamiin, terimakasih, bu!” Sedangkan di taman rumah sakit, Dokter Aro berdiri di sana, pria itu menerawang ke beberapa orang yang tampak berlalu Lalang. Terdengar beberapa kali pria itu menarik napasnya dalam-dalam. Dia tidak pernah begini kepada pasien perempuan lainnya. Namun saat melihat wajah Syahilla untuk pertama kali, ada debaran asing yang masuk di hatinya. Bak orang sinting, Dokter Aro senyum-senyum seorang diri. Harusnya, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, dia sudah menikah. Namun selama beberapa tahun dia berkelana dalam karirnya, belum ada satu pun wanita yang berhasil menarik perhatiannya. “Syahilla, nama yang indah,” ucap Aro seorang diri. “Aku sudah dalam perjalanan panjang mencari calon istri. Kalau penantianku yang panjang berujung menemukanmu, Syahilla. Aku tidak akan berlama-lama lagi meyakinkan hatiku,” kata Aro.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN