Bab 1: Suara di Kamar Sebelah

990 Kata
“Ris, kamar sebelah sudah dibersihkan belum? Lia soalnya sejam lagi sampai.” Perintah Mas Bayu membuatku berpaling dari wajan berisi gulai kepala ikan. Kutoleh wajah suamiku. Terlihat resah mimiknya.              “Sudah, Mas.” Kujawab dengan senyum. Padahal, sebenarnya hatiku agak dongkol. Sudah lebih dari lima kali dia mengingatkan untuk membereskan kamar tamu yang berada di sebelah kamar kami.              “Alat mandinya sudah kamu taruh juga, kan?”              “Sudah, Sayang. Pasta dan sikat gigi, sabun cair, dan puff-nya. Semua sudah siap.” Nadaku sudah agak sengak. Seharian ini aku hanya direpotkan oleh permintaan Mas Bayu. Demi adik semata wayangnya yang akan berlibur di rumah kami. Lia namanya.              “Kamu jangan cemberut gitu, dong. Kan, udah aku kasih lebihan belanja.” Mas Bayu mengedipkan sebelah matanya. Pria yang berdiri di ambang pintu penghubung antara dapur dengan ruang makan tersebut lalu kabur.              “Alah, cuma dilebihin seratus ribu pun!” gerutuku.              Entah mengapa, aku tak pernah suka apabila Lia datang ke mari. Ada saja yang akan membuatku repot. Harus membereskan kamarlah, harus masak makanan kesukaannyalah. Belum lagi menuruti request lain seperti minta dipasangkan sprei warna merah atau sabun cair aroma rose. Sudah dua kali dia datang ke rumah kami sejak aku dan Mas Bayu menikah enam bulan lalu. Berarti, kalau dia jadi datang hari ini, total sudah tiga kali. Apa dia punya waktu luang sebanyak itu? Kan, dia harus kuliah. Jarak sini dengan rumah orangtua Mas Bayu juga lumayan. Ditempuh dengan perjalanan darat empat jam lamanya. Kurang kerjaan, pikirku. ***              “Mas Bayu! Aaa aku kangen!” Lia memeluk erat tubuh Mas Bayu saat kami menjemputnya ke terminal bus. Perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna putih dengan motif bunga-bunga itu tampak menggelayut manja di tubuh suamiku. Aku muak melihatnya. Dia sudah dewasa, apa perlu semenempel itu pada kakak laki-lakinya.              “Sayang, aku juga kangen. Gimana kabarmu? Sehat?” Mas Bayu mencuil dagu lancip perempuan berambut lurus panjang itu. Adegan yang cukup membikinku gerah.              “Kangen banget, Mas. Mas, di rumah udah siap kan, gule kepala ikannya?”              Deg! Enak sekali dia bertanya begitu. Seperti punya pembantu yang siap melayani segala inginnya saja!              “Sudah, dong. Mbak Risti sudah masak yang enak-enak buatmu. Kita pesta malam ini!” Mas Bayu lalu merangkul Lia. Membawa perempuan itu menuju parkiran. Aku cukup tersentak. Bisa-bisanya mereka melewatiku! Bahkan Lia tak berbasa-basi. Sekadar menoleh dan bertanya kabar pun tidak. Yang benar saja?!              “Mas,” tegurku sambil menjawil bahu suamiku.              Lelaki itu menoleh. Agak dingin tatapannya. “Ya?”              “Nggak. Nggak jadi!” dengusku dongkol.              Suamiku malah berpaling. Semakin mengeratkan rangkulannya pada sang adik. Aku sukses dicuekin oleh keduanya. Sungguh menyebalkan! ***              Tepat pukul 17.50 kami tiba di rumah. Lia dengan santainya melenggang kangkung ke arah ruang makan. Sama sekali tak berbasa-basi kepadaku sedikit pun. Aku kesal. Namun, apa daya. Dia kesayangannya Mas Bayu. Mana mungkin aku melarang atau menegurnya.              “Wanginya udah keciuman dari depan! Aaa enak banget, nih!” Gadis berkulit langsat dengan tubuh ramping itu segera menyibak tudung saji. Aku yang tengah dilanda kesal, hanya bisa memperhatikannya sambil melipat tangan di depan d**a. Kapan kira-kira anak ini pulang? Baru datang saja sudah bikin gerah!              “Mbak, ayo makan!” serunya sambil duduk di kursi.              Giliran makan, dia baru mau menegurku.              “Mau Magriban dulu,” ucapku acuh tak acuh sambil hendak balik badan.              “Alah, makan dulu, Mbak. Salatnya ntar aja. Aku udah laper.”              Kupingku merah mendengarnya. Dasar nggak ngerti agama!              “Duluan aja.” Aku mlengos. Berjalan ke depan hendak masuk ke kamar menyusul Mas Bayu. Dia sudah duluan masuk ke kamar setibanya dari rumah. Katanya mau mandi. Aneh. Seingatku, sore jam 15.00 tadi sudah mandi. Ngapain sih, pakai acara mandi berulang kali? Nggak takut masuk angin?              “Mbak, sebentar! Aku bawa oleh-oleh. Bikinan Mama, nih. Jamu penyubur.” Terdengar bunyi ritsleting tas yang dibuka. Aku terpaksa menoleh. Lia sudah mengacungkan sebuah botol plastik dengan tutup bundar hitam di atasnya. Botol berisi cairan jamu berwarna kuning pekat itu dia acung-acungkan ke udara. “Enak, lho, Mbak.”              Aku pun berjalan mendekat. Menyambar botol tersebut. Sengaja tak kuucapkan terima kasih padanya. Aku pergi meninggalkan Lia seorang diri saking jengkelnya. Memangnya, cuma kamu yang bisa bikin orang naik darah? Aku juga bisa! ***              “Hoam!” Aku menguap setelah makan malam selesai. Sisa jamu oleh-oleh Lia yang kubawa ke meja makan kuteguk habis. Memang enak jamu bikinan mertuaku. Rasanya nikmat di lidah. Namun, anehnya mataku terasa makin berat saja. Tak biasanya jam segini sudah terasa mengantuk luar biasa.              “Ris, kamu ngantuk?” tanya Mas Bayu.              “Iya,” jawabku sambil menoleh ke samping.              “Tidurlah. Kamu pasti capek. Seharian nyiapin semuanya, kan? Kasihan.” Mas Bayu memijat pundakku. Enak sekali. Mataku sampai pengen merem rasanya.              “Ah, masih awal,” kataku sambil menguap lebar lagi.              “Tidurlah, Mbak. Biar aku yang beresin semua. Nggak apa-apa.” Lia tersenyum. Gadis manja itu cekatan mengumpulkan piring-piring kotor. Cepat dia membawanya ke dapur belakang buat dicuci. Tumben sekali, pikirku.              “Nggak apa-apa emangnya?” tanyaku pada Mas Bayu. Takutnya, dia malah marah gara-gara aku tidur awal dan membiarkan adik kesayangannya itu beres-beres segala.              “Iya, Sayang. Nggak apa-apa.”              Mas Bayu pun bangkit. Dia menuntun tanganku untuk menuju kamar. Entah mengapa, mataku kian berat saja. Ketika tiba di atas tempat tidur, tanpa sadar mataku telah terlelap. Astaga, kenapa aku jadi pelor begini? ***              Sebuah suara berisik membuat mataku tiba-tiba terbuka sedikit. Namun, kepalaku berat sekali. Suara itu lambat laun semakin menusuk telinga. Membuatku merinding luar biasa.              “Umm … jangan, Mas!” Terdengar seperti rintih dan erangan kecil. Membuatku sontak ingin terbangun, tetapi sulit sekali tubuh ini bergerak. Mataku pun berat untuk sekadar membuka.              Susah payah aku menoleh ke samping. Mencari-cari di mana Mas Bayu berada. Sementara itu, desah di kamar sebelah semakin kentara saja terdengar.              Nihil. Sosok Mas Bayu tak ada di sampingku. Aku gemetar hebat. Ingin sekali tubuhku untuk bangkit. Namun, sial. Mataku terkatup lagi dan ragaku seperti dipaksa untuk kembali terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN