6. Seseorang dari masa lalu

1614 Kata
"Rey, kenapa sebanyak ini sih. Kamu kira ini bakalan perang apa!" aku menatap Reynand, berbicara dengan perasaan kesal. Bahkan dia saja sampai memelankan laju mobilnya. Ah apakah aku salah nada bicara? Tapi bodo amatlah, aku begitu kesal padanya. "Iya, inikan timku. Kamu tahu gak? Dibelakang juga ada mobil yang ngikutin kita. Mereka semua timku, jadi harus ikut." jelasnya yang membuat aku menghela nafas pasrah. Ah baiklah, untuk kali ini saja aku akan mengalah kembali dengan Reynand. "Kita jalan ke hutan deket TOL yang ada di perbatasan" Reynand sepertinya terkejut dengan ucapanku. "Kamu gak becanda kan?" tanyanya memastikan. Pasti mereka sulit mempercayaiku, ah aku tak akan memaksa mereka untuk percaya. Aku menatap Putri yang ada di belakangku. Dia menunduk lalu membenarkan kata-katanya barusan. Malas sekali berbicara dua kali, tetapi ini demi meyakinkan Reynand yang sepertinya mulai ragu padaku. "Iya Rey, Putri beneran bicara seperti itu. Kalau kamu gak percaya, gak apa-apa. Kita gak usah kesana. Tetapi kalau gak mencoba kesana, tugasmu mau sampai kapan? Putri gak akan ditemukan dalam waktu dekat, mengingat jika hutan itu jarang sekali dilewati oleh orang-orang." Aku melihat ke arah Reynand, wajahnya terlihat ragu namun sepertinya dia menimang-nimang terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Terbukti, sampai detik ini dia belum mempunyai keputusan. "Kita bisa nyampe malem kesana. Kamu gak papa Rey?" tanyanya. Lah jadi dia mengkhawatirkan aku? Aku tidak apa-apa kali selagi masih ada kamu di sisiku. Ingin sekali menjawab seperti itu tetapi aku masih mempunyai malu. Tak perlu bersikap agresif, terlihat anggun lebih baik bukan? "Gak apa-apa. Aku pengen cepet kelar aja. Males di gentayangin mulu," jawabku. Reynand mengangguk, "Vin kabarin mobil belakang." Terlihat dari ekor mata, Alvin mengangguk dan mulai berbicara dengan handphone digenggamannya. Aku kembali bersender dijok. Sampai suara seorang perempuan terdengar di pendengaranku. "Lo Reyna kan?" Ah dia masih ingat rupanya. padahal aku barusan sudah menahan diri untuk pura-pura lupa, "Si cewek kekanakan itu?" tuturnya yang membuat aku memutar bola mata jengah. "Gue udah dewasa. Bukan anak kecil dan enggak kekanakan ya!" jawabku ketus. Reynand dan yang lainnya hanya menyimak saja tanpa berniat bertanya dan ikut campur sedikitpun. "Reyna, gue masih inget sama umur lo, dua puluh tahun." Ah shitt, dasar VALENCIA s****n! Semua mata tertuju padaku termasuk Reynand, seketika tawa Alvin terdengar memuakkan di telingaku. "Ternyata masih Bocah. Kenapa udah jadi dokter? Lo gak nyogok pihak rumah sakitkan?" aku menatap Alvin kesal. "Pantas aja kemaren gagal operasi." Aku semakin menatap dirinya kesal. Itulah adalah kegagalan operasi yang pertama setelah melakukan berpuluh kali operasi. Itu juga bukan aku yang menggagalkannya! Tunggu saja pembalasan dariku Alvin! "Bertambah dua tahun setelah pengkhianatan itu." "Kamu gak becandakan?" lagi-lagi pertanyaan Reynand membuat aku jengah. Ingin sekali membanting apa saja yang ada di hadapanku, tetapi aku tak seberani itu. "Memangnya aku terlihat setua itu ya?!" Reynand malah terkekeh dengan jawabanku. Hei! Apa nya yang lucu?! "Lo dari dulu emang gak pernah diajarin sopan santun ya?" aku menggertak Valen. "Gue keceplosan. Maafin gue," sepertinya rasa kesal yang kurasakan dua tahun yang lalu kembali muncul. Bayang-bayang pengkhianatan itu membuat Reyna tersenyum kecil dalam diamnya. "Lo tahu kan sampai kapanpun juga gak ada maaf buat lo!" bohong! Karena nyatanya aku telah memaafkan Valen, aku berbicara seperti itu hanya ingin membuat Valen semakin menyesali perbuatannya. "Reyna, waktu itu gue gak sengaja." ujar Valen yang membuat ku ingin sekali berdecih, namun ini bukanlah waktu yang pas untuk mengeluarkan kekesalanku. Tahan Reyna, tahan! "Gak sengaja jadi jalang maksud lo!" Aku terpancing emosi, tak kuat menahan mulut cabeku. Keadaan dimobil semakin panas, Valen saja tak mengeluarkan suaranya kembali. "Ada Apa?" aku menggeleng pelan lalu menatap ke arah jendela. Tak ingin memperpanjang masalah ini. Aku sadar kata-kataku barusan terlampau kasar dan kotor. Sedikit cerita tentang aku dan Valencia. Dua tahun yang lalu aku mempunyai kekasih berfropesi sebagai tentara AD, dia adalah teman kakak pertamaku-Revan ah lebih tepatnya bawahan yang dianggap teman. Kebetulan kak Revano juga Tentara sama seperti Ayah. Kekasih yang kumaksud bernama Adit, aku sangat mencintainya karena dia selalu melindungiku. Sampai pada satu hari, duniaku seakan-akan runtuh dan berhenti. Aku melihat Adit dan Valencia sedang berpelukan mesra didalam kantor Adit bahkan aku juga melihat Adit mencium Valen. Mereka terlihat intim. Siang itu aku akan mengajak Adit makan siang malah tidak jadi, karena melihat seorang polwan dan tentara sedang berduaan sembari melakukan hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya di ruangan pribadi Adit. Aku sempat adu mulut dengan Valen. Hingga aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Adit secara sepihak. Awalnya Valen adalah sahabatku, aku juga yang mengenalkan dia kepada Adit. Sejak kejadian itu aku tidak ingin membuka hati untuk siapapun lagi, hatiku sudah sangat sakit karena pengkhianatan dari seorang sahabat sekaligus kekasih. Banyak yang singgah tapi aku tak sungguh, hanya menjalin pertemanan saja dengan banyak pria yang terang-terangan menyatakan perasaannya. Satu hal yang aku benci. Aku tidak dapat membaca pikiran orang-orang yang sudah sangat aku percayai, termasuk dengan pikiran Valen. Aku tidak dapat fokus dan membacanya, sampai saat ini aku tidak pernah bertemu kembali dengan Adit. Dan aku tidak peduli lagi dengan hubungan mereka berdua. "Lo bakal nyesel bilang gitu kalau lo tau yang sebenarnya." "Sayangnya gue gak mau tau. Hati gue udah beku sama pengkhianatan yang lo kasih!" "Baiklah! Gue tau kesalahan gue gak akan bisa di maafkan, tapi kalau suatu saat nanti lo tahu ini salah lo. Tenang aja gue gak akan marah dan gak akan pernah benci sama lo Rey." aku mencoba mencerna dengan baik perkataanya, namun emosi menguasai benakku, sehingga aku tak memikirkannya terlalu dalam, aku hanya menganggap ucapan Valen sebagai pembelaan diri dihadapan rekan-rekannya. "Reyna lupakan dulu masalah ini, aku berjanji akan menjelaskan semuanya, tapi bukan sekarang, mari kita fokus dulu pada hal ini." Aku tersenyum kecut, senyum yang sudah lama tidak pernah aku tampilkan. Aku tidak boleh egois kali ini, Reynand membutuhkanku, aku tidak peduli dengan Valen maupun Adit karena mereka berdua sudah ku anggap orang asing yang sama sekali tak aku kenal. Namun, nyatanya Tuhan belum lelah mengujiku. Aku harus bertemu kembali dengan orang yang selama ini aku benci akan kehadirannya. Untuk apa Tuhan mempertemukan kita kembali? Padahal aku sudah tidak ingin berhubungan dengan Valen maupun Adit. Bahkan aku sudah muak melihat wajahnya. Bibir itu selalu mengingat kan aku pada pengkhianatan, pengkhianatan yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Aku menatap jendela, dan ternyata mobil sudah memasuki jalan tol. Harus melewati tiga jam sampai kita dapat berada di hutan tersebut. Hmm kenapa sejauh ini ya? Padahal aku sudah muak semobil dengan Valen. Ya Allah, kenapa harus seperti ini sih. "kamu gapapa kan, Rey?" suara Reynand mengagetkan ku. Aku hanya membalas dengan senyuman lalu menggeleng pelan. "Ndan, kalau capek nyetirnya bisa gantian. Masa sih anak buah yang enak." suara dari arah paling belakang yang kuketahui bernama Doni berbicara, mencoba mencairkan suasana yang hening setelah adu mulut antara aku dan Valen. "Iya nanti aja pulang nya lo yang bawa," jawab Reynand dengan suara yang cukup keras. "Kalau lo bohong dan jasadnya gak di temuin, gue gak akan ajak lo pulang." kata Alvin dari arah belakang. Aku tahu Alvin hanya bercanda saja, terlihat dari nada bicaranya yang ingin mencairkan suasana antara aku dan Valen. Namun percuma saja, aku tidak akan pernah mau berdamai dengan Valen. Aku memaafkan Valen tetapi kalau untuk kembali seperti dulu rasanya tak akan pernah aku lakukan. Ibaratnya seperti menonton film yang sama dua kali, tak akan merubah ending kecuali menonton season selanjutnya. "Kalau jasadnya ditemukan, gue bakalan buang lo ke segita bermuda, gimana Vin?" Ucapanku barusan sontak mengundang tawa beberapa orang termasuk Reynand. Tapi tidak dengan Valen, dia memejamkan matanya seperti sedang tertidur dan berpikir sesuatu karena keningnya berkerut. s**l banget sih kenapa aku tidak dapat membaca pikiran semua orang. Hanya beberapa saja orang saja yang dapat aku baca pikirannya. Huft menyebalkan! "Ide bagus bu dokter!" seru Doni dari arah belakang. Memang Doni orangnya cepat akrab sama seperti Alvin dan Reynand. Sedangkan dua orang di samping kiri dan kanannya hanya tersenyum saat aku melihat ke arah mereka berdua, mungkin mereka masih canggung karena ada aku. "Ck, s****n kalian!" Alvin berdecak. "Emang lo beneran bisa liat dia, ya?" tanya Alvin. Pembicaraan nya kali ini mulai serius. Aku menatap Putri sejenak lalu berbicara, Put lo bisa kan gangguin Alvin sebentar, seperti tiup telinganya. Tidak ada jawaban dari Putri, selain menganggukkan kepalanya saja. "Gimana? Ada yang lagi tiup telinga lo gak?" tanyaku pada Alvin. Raut wajah Alvin berubah, bahkan tubuhnya tampak menegang. "Makannya lo gak usah nantangin gue, katanya polisi, tapi penakut, jangan ngompol ya, Vin!" aku tertawa puas. Tak sia-sia ternyata menyuruh Putri untuk menjahili Alvin ditukang jahil. Aku sedikit terhibur, berangsur-angsur mood ku kembali, walau tak sepenuhnya. Alvin menatapku dengan tajam lalu pandangan matanya seketika berubah, "s****n lo!" gertaknya, "Gue minta maaf. Bisa gak setan ini jangan ada di deket gue." Pinta Alvin, aku mengedikkan bahu seolah-olah tak peduli dengan ucapannya. "Kayaknya dia suka deh sama lo" aku terkikik geli, begitu juga dengan Reynand. "Dek putri, ataupun hantu Putri jangan suka sama saya ya. Saya gak jomblo soalnya, pacar saya galak banget. " Tawa di dalam mobil ini seketika meledak akibat ucapan dari Alvin yang terkesan lucu. "Namanya Putri, dia masih sekolah. Dan yang ngebunuh dia adalah pacarnya sendiri. Dia di bunuh karena tidak ingin melakukan making love bersama pacar nya. Jadi akhirnya Putri di perkosa dan jasadnya dibuang jauh dari kota agar polisi gak mencium jejaknya. Dan sepertinya kalian melupakan sesuatu," ujarku. Seketika semua orang meantapku penasaran. "Kok bisa tahu Rey? Aku kan gak pernah ngasih tahu," tanya Reynand seperti orang kebingungan. Aku menghela nafas jengah. Tuhkan mereka tidak sepenuhnya percaya padaku. "Aku kan udah bilang aku indigo. "Kamu gak percayaan banget sih!" jawabku ketus. Kali ini aku kesal dengan Reynand yang kadang percaya kadang juga meragukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN