14 - Sulit untuk Ungkapkan

1251 Kata
Alea dan Bian sepakat mengosongkan jadwal mereka hari ini untuk pindahan ke rumah Bu Intan. Mereka tiba pukul sebelas siang, dan langsung di bantu Bi Inah beres-beres. “Udah, Den, Neng, sisanya biar Bibi aja. Si Ibu pasti udah nunggu di bawah buat ngobrol,” kata Bi Inah, berniat mengambil alih sisa pekerjaan. “Nggak apa-apa, Bi. Lagian ini tinggal baju-baju sama alat mandi aja,” balas Alea. “Nggak apa-apa atuh, Neng. Biar Bibi aja. Memang Neng Alea nggak capek apa? Eneng istirahat aja, temani Ibu ngobrol di bawah!” Bian menatap Alea, memberi isyarat agar gadis itu menurut. Setelah itu, pasangan pengantin yang masih dapat dikatakan baru itu pun pamit untuk menuju ke lantai bawah. Mereka menghampiri Bu Intan yang tampak sedang bersantai di rung tengah. “Bian, Alea, sini sini! Ibu sudah tungguin kalian dari tadi,” ucap Bu Intan. Beliau menarik lengan Alea agar gadis manis itu duduk di sebelahnya. Televisi di hadapan mereka, menampakkan drama yang sedang ditonton oleh Bu Intan. “Nih, Ibu udah siapkan camilan sama minum buat kalian. Cepat dimakan!” kata Bu Intan. “Makasih, Bu,” ungkap Alea. Bu Intan tersenyum sambil mengusap punggung Alea. “Sudah lama sejak Ibu pengen punya anak perempuan, atau setidaknya menantu. Akhirnya sekarang Ibu punya satu,” ucap Bu Intan lembut. “Memang Ibu mau nambah lagi?” tawar Bian. Alea langsung melemparkan tatapan mematikannya pada sang suami. Jika Bu Intan beneran minta nambah, kan Alea yang repot. Secara, anak Bu Intan hanya Bian seorang. Jika Bu Intan mau nambah menantu, itu artinya Alea yang akan jadi pihak paling dirugikan. “Hush! Aneh-aneh kamu! Awas saja kamu sampai berani menyakiti anak gadis Ibu! Eh … sudah nggak gadis, ya, gara-gara Bian? Oke, Ibu ralat. Maksud Ibu, anak perempuan kesayangan Ibu,” canda Bu Intan, sengaja ingin menggoda Alea dan Bian. Namun, Alea justru menelan salivanya kasar. Ia jadi diingatkan kembali dengan sebuah fakta bahwa Bian bahkan sama sekali belum pernah menyentuhnya. “Usia Bian sudah jalan empat puluh. Ibu sudah hampir enam puluh lima. Kalian nggak ada ide gila dengan menunda momongan, kan? Ibu juga pengen ngerasain gendong cucu Ibu sendiri, selagi Ibu masih dikasih umur sama Tuhan,” kata Bu Intan. Alea hanya bisa menunduk. Melihat bagaimana hubungannya dengan Bian hingga saat ini, rasanya, memiliki buah hati terasa begitu mustahil. Alea sendiri juga belum punya pikiran ke arah sana. Apalagi ia masih aktif kuliah, dan ingin fokus menyelesaikan studinya itu terlebih dahulu. “Sedikasihnya aja, Bu,” balas Bian. “Ya jangan begitu, dong! Kalau bisa, diprogram. Kamu mau kapan punya anak, Bi? Nggak kasihan sama anak kamu nanti? Dia masih kecil, kamunya udah tua,” kata Bu Intan. Bian menoleh ke arah Alea. “Lagi pula Alea juga masih kuliah. Jadi nggak usah buru-buru lah.” Bu Intan menatap anak semata wayangnya itu dengan tatapan jengah. “Dari jawaban kamu, Ibu malah curiga kalau kamu memang sengaja menunda.” “Bukan begitu, Bu-” “Bukan Ibu mau ikut campur masalah rumah tangga kalian. Tapi soal keturunan, Ibu merasa perlu mengingatkan. Apalagi waktu terus berjalan, kondisi Ibu juga semakin menurun. Ibu pengen memastikan dulu kalau kebahagiaan anak Ibu sudah lengkap sebelum Ibu pergi. Meski kamu laki-laki, Ibu pengen kamu tetap ada yang jaga. Istri kamu, anak-anak yang akan menjaga kalian di masa tua kelak,” terang Bu Intan. Alea menghela napas panjang. Ia ragu bisa mengabulkan harapan sederhana dari seorang ibu di hadapannya. Ia sendiri belum terlalu memikirkan kapan ia siap untuk menjalani peran baru itu. Namun, Alea tidak keberatan jika harus memiliki keturunan dari Bian. Hanya saja, ia ingin lebih dulu memastikan kalau kelak, anak itu bisa tumbuh dengan baik dan mendapat kasih sayang yang lengkap. *** “Omongan Ibu tidak usah terlalu dipikirkan!” kata Bian tiba-tiba. Alea yang sedang sibuk dengan laptopnya pun sontak menoleh. Ia merasa, dirinya biasa saja. Dari sikapnya selama di kamar, sepertinya ia tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang sedang merenungkan sesuatu. Justru sebaliknya, Bian yang tampak demikian. “Enggak, kok. Aku lagi nyicil tugas ini. Kan kamu yang dari tadi banyak bengong. Jangan-jangan kamu mikirin ucapan Ibu, ya?” tebak Alea. Sebenarnya ia hanya berniat bercanda. Ingin menggoda Bian. Bian menoleh, menatap Alea yang masih betah di meja belajarnya. “Iya.” Alea terperangah. Ia merasa ada yang tidak beres dengan telinganya. Apa tadi telinganya sempat berdengung atau sebagainya? Sepertinya hal itu membuatnya salah mendengar ucapan Bian. “Hah? Apa? Kamu tadi bilang-” “Beberapa waktu ini kesehatan Ibu memang menurun. Ibu sudah harus rajin check up ke rumah sakit sebulan sekali,” kata Bian tiba-tiba. Alea mendadak gugup. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Bian saat ini. Ke arah masa depan pernikahan mereka. “Sebenarnya bisa saja aku mengabaikan ancaman kamu buat menikah. Aku punya seribu satu cara buat membela diri jika kamu benar-benar berniat memviralkan fitnahan itu. Tapi Ibu … sore setelah aku pulang waktu itu, kebetulan Ibu juga membahas soal pernikahan. Jadi …” Bian menghela napas gusar, tampak enggan melanjutkan kalimatnya. Namun, sejauh ini Alea sudah mengerti. Ancaman yang ia tujukan pada Bian waktu itu ternyata bukan satu-satunya alasan yang membuat mereka akhirnya menikah. Namun memang Bian yang saat itu juga menginginkannya - atau lebih tepatnya membutuhkan seorang perempuan untuk segera ia ajak menikah. “Waktu itu, memang kamu belum punya pacar? Kamu bekerja di dunia hiburan. Pasti lingkup pergaulan kamu juga luas,” heran Alea. Bian menggeleng. Saat kerja, aku berusaha profesional aja,” jawab Bian. Alea terdiam. Ia merasa sudah kehabisan topik pembicaraan, meski ia tahu sebenarnya obrolan mereka belum selesai. Suasana berubah menjadi hening selama beberapa saat. Namun, keduanya sama-sama belum memutus kontak. “Kamu sendiri, apa?” tanya Bian. Alea mengangkat dagunya, bermaksud meminta Bian mengatakan yang lebih jelas arah pembicaraannya. “Alasan kamu memaksaku buat nikahin kamu. Apa saat itu kamu masih virgin? Kalau iya, bukannya seharusnya kamu tahu kalau aku tidak menidurimu?” tanya Bian. “Tentu saja aku masih virgin. Kamu pikir aku perempuan apaan?!” sentak Alea. Bian terkekeh. “Santai saja! Di sini hal seperti itu sudah bukan hal yang aneh. Kesucian seorang perempuan dianggap sesuatu yang memang harus dipertanyakan, karena memang faktanya tidak sedikit di antara mereka yang masih berstatus lajang, tapi sudah tidak perawan,” terangn Bian. Alea mengangguk paham. Di kota tempat tinggalnya dulu, pergaulan remaja masih bisa dikatakan normal. Perzinahan, atau bahkan skin ship yang berlebihan masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. “Jadi?” Bian menagih jawaban yang seharusnya segera Alea berikan. “Ah itu … “ Alea bingung harus menjawab apa. Ia masih merasa jika alasannya saat itu tidak layak diketahui orang lain. “Kamu pasti bisa merasakan kalau aku sudah mengambil kesucianmu. Tapi saat itu, kamu kelihatan baik-baik saja, kan?” desak Bian. Alea masih tidak bisa menjawab. Maka dari itu, ia memutar otak untuk bisa kabur dari pembicaraan ini. “Bi, maaf tapi ini tugasku harus aku selesaikan malam ini. Boleh kita tunda obrolan kita dulu? Soalnya ini penting banget, dan aku rasa kalau obrolannya dilanjutin, pasti butuh waktu yang lama.” Bian menghela napas. Ia tidak menjawab, tapi langsung menyibukkan dirinya dengan ponsel. Secara tidak langsung, Bian setuju dengan permintaan Alea, meski tampak tidak terlalu menyukainya. ‘Maaf. Tapi aku pikir sebaiknya kamu nggak perlu tahu. Aku nggak mau kamu tambah benci sama aku kalau kamu tahu aku cuma memanfaatkan kamu untuk kepentingan pribadiku. Tapi aku janji. Aku akan jadi istri yang baik buat kamu. Aku cukup tahu diri buat balas budi, kok,’ batin Alea sambil berpura-pura fokus dengan laptop di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN