Telepon masih tergantung di telinga Izora saat pikirannya berkecamuk, berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat. Suara Theo yang dingin dan tanpa emosi tadi menggema di benaknya, membuatnya tegang. Dia tahu bahwa inilah saatnya untuk membuat keputusan, dan waktu untuk merenung sudah berakhir.
Dengan napas yang berat dan bibir yang bergetar, Izora akhirnya menjawab, "Ya, Theo." Suaranya gemetar, tapi dia mencoba menguatkan dirinya. "Aku setuju dengan tawaranmu."
Theo tidak memberikan tanggapan yang panjang, hanya suara samar puas di ujung telepon. "Baiklah. Aku akan mengatur semuanya. Kamu akan menerima instruksi lebih lanjut dalam beberapa hari ke depan."
Setelah telepon terputus, Izora merasa tubuhnya melemah, seperti habis ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Ia tahu bahwa dengan persetujuannya itu, dia telah menjual hidupnya. Apa pun harga yang harus dia bayar, keputusan itu mengukuhkan jalan baru yang tak pernah ia bayangkan.
Rasa ragu terus menggelayuti benaknya. Apakah ini keputusan yang tepat?
Pikirannya sibuk memikirkan operasi wajah yang akan ia jalani—sebuah perubahan permanen yang tak bisa ditarik kembali. Bagaimana prosesnya? Bagaimana dia bisa menjalani kehidupan baru dengan identitas yang sama sekali berbeda? Dan yang lebih penting, apa yang akan terjadi setelahnya?
Theo memberikan instruksi singkat bahwa dia harus bersiap untuk pergi dalam beberapa hari. Tak ada detail lebih lanjut, tak ada penjelasan mengenai rencana itu. Semuanya begitu samar dan penuh ketidakpastian. Dan Izora, meskipun takut, tak punya pilihan lain.
Keid, suaminya, adalah ancaman nyata yang tak bisa diabaikan.
Keid adalah monster, tapi Theo?
***
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan perasaan cemas Izora semakin membesar. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah-olah hidupnya kini berada di tepi jurang.
Apa yang sebenarnya aku setujui? pikirnya berulang kali.
Suatu sore, ketika Izora duduk di ruang tamu apartemennya yang suram, sebuah ketukan di pintu membuatnya terjaga dari lamunannya.
“Iya, sebentar,” ucapnya pelan sambil berjalan menuju pintu.
Saat pintu dibuka, seorang kurir berdiri di hadapannya dengan sebuah paket kecil di tangan. “Paket untuk Izora. Tolong tandatangani di sini.”
Izora menandatangani tanda terima dengan tangan gemetar. Setelah kurir pergi, dia kembali ke ruang tamu dan membuka paket tersebut dengan hati-hati. Di dalamnya, ada sebuah botol kecil berwarna biru muda dan secarik kertas.
“Tuangkan cairan ini ke minuman Keid,” demikian perintah singkat yang tertulis di secarik kertas itu.
Jantung Izora berdetak lebih cepat saat dia menatap botol kecil tersebut. Apa ini? pikirnya. Cairan berwarna biru itu tampak tak berbahaya, tetapi dengan semua yang sudah terjadi, dia tahu bahwa apa pun yang diberikan Theo tak pernah sesederhana itu.
Namun, meski kebingungan meliputinya, Izora tahu bahwa ini adalah bagian dari rencana yang dia setujui. Dia menatap ruang tamu, di mana Keid sedang duduk di sofa, seperti biasa, dengan pandangan kosong menatap layar televisi. Dia harus bertindak cepat, tanpa menarik perhatian.
Dengan tangan gemetar, Izora menyimpan botol biru kecil itu di tasnya dan berjalan ke dapur. Keid tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya—dia jarang peduli. Ketika Izora membuka lemari es, dia mengeluarkan botol jus jeruk, salah satu minuman favorit Keid.
Ini cara yang paling aman. Dia menguatkan dirinya.
Dengan hati-hati, Izora membuka botol jus dan menuangkan beberapa tetes cairan biru dari botol kecil itu ke dalamnya. Cairan biru itu larut tanpa meninggalkan jejak, tidak terlihat dan tidak berbau. Izora menutup botol jus tersebut, menarik napas panjang, dan mencoba menenangkan dirinya.
Ini adalah langkah pertama menuju kebebasan, pikirnya.
Dia membawa jus itu ke ruang tamu, berusaha untuk tetap tenang. “Keid, aku membawakanmu minuman,” katanya dengan suara yang terdengar normal, meskipun di dalam dirinya ada badai kegelisahan.
Keid mengangguk tanpa menoleh, matanya tetap terpaku pada layar televisi. Izora meletakkan botol jus di meja depannya, merasa bahwa inilah momen yang menentukan. Dia duduk di sofa seberang, mencoba menutupi kecemasannya.
Setelah beberapa saat, Keid akhirnya mengambil botol jus itu, membuka tutupnya, dan meneguknya tanpa kecurigaan. Setiap detik rasanya seperti berjam-jam bagi Izora, yang menahan napas saat suaminya meminum cairan yang sudah dicampurnya. Apa pun yang terjadi setelah ini, sudah tidak ada jalan mundur.
Beberapa saat setelah meneguk jus itu, Keid terlihat mulai merasa tidak nyaman. Dia mengernyit, lalu meletakkan botol jusnya di meja. Tangannya perlahan-lahan meraih tenggorokannya, matanya membelalak, seolah-olah ada sesuatu yang aneh.
Izora bisa merasakan jantungnya berdebar kencang saat dia melihat perubahan di wajah Keid. "Keid... kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara bergetar, meskipun dia tahu pasti bahwa jawabannya tidak.
Keid memegang perutnya, tampak seperti berusaha mengusir rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Wajahnya semakin pucat, dan suaranya mulai serak ketika dia mencoba berbicara. "Apa yang... kau lakukan?" Dia tersedak, suaranya hampir hilang dalam erangan kesakitan.
Izora menatap suaminya dengan perasaan campur aduk—ketakutan, kelegaan, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? pikirnya, tetapi tidak ada waktu untuk merenung.
Keid berguling-guling di lantai, merintih dengan suara yang semakin pelan, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk dan dia jatuh pingsan. Izora menahan napas, menatap tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya di lantai ruang tamu. Semua terasa seperti adegan dalam mimpi buruk.
Pada saat yang sama, ponsel Izora berbunyi. Theo.
Dengan tangan gemetar, dia mengangkatnya.
Theo berbicara dengan suara yang tetap dingin dan tegas. “Tinggalkan tempat itu sekarang.”
Izora hampir tidak bisa mengeluarkan kata-kata. “Keid… dia—"
“Itu hanya efek sementara dari cairan. Dia tidak akan mati,” potong Theo cepat, tanpa nada emosi. "Sekarang, tinggalkan tempat itu sebelum dia sadar."
Dengan jantung berdebar kencang, Izora tahu bahwa dia tak punya pilihan. Apa pun yang terjadi setelah ini, dia harus mengikuti instruksi Theo.
Ini sudah menjadi bagian dari kesepakatan.
Izora menatap Keid sekali lagi, tubuhnya yang tergeletak tak bergerak. Setelah menarik napas panjang, dia meraih tas kecil yang telah disiapkan dan berjalan menuju pintu apartemen. Tanpa menoleh lagi, dia keluar, meninggalkan apartemen yang selama ini menjadi penjara baginya.
Begitu tiba di luar, hujan tipis mulai turun, membasahi jalanan yang gelap. Di bawah lampu jalan, sebuah mobil hitam sudah menunggunya di tepi jalan. Di dalamnya, Theo duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan ekspresi datar yang sama.
Dengan langkah berat, Izora membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Detik itu juga, hidup lamanya dengan Keid terasa seperti telah menghilang di balik tirai hujan.
“Apakah kamu siap?” tanya Theo, memandangnya sekilas dari cermin tengah.
Izora hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hatinya, dia masih merasakan ketakutan yang mendalam. Apa pun yang terjadi, ini adalah jalan baru yang telah ia pilih. Tidak ada jalan mundur lagi.
Mobil mulai bergerak, meninggalkan apartemen dan kehidupannya yang lama. Hanya ada hujan dan suara mesin yang mengiringi mereka menuju masa depan yang masih penuh misteri.