Bab 6 : Wajah Baru, Hidup Baru

1179 Kata
Hari operasi akhirnya tiba, dan Izora merasakan gemuruh ketakutan yang menyesakkan di dadanya. Duduk di kamar rumah sakit, segala hal yang akan segera terjadi berputar di pikirannya. Ini benar-benar akan terjadi, pikirnya. Wajah, hidup, identitasnya—semuanya akan berubah selamanya. Ketakutan bercampur dengan kegugupan. Tidak ada jalan kembali. Serangkaian persiapan medis yang panjang telah dia jalani. Tubuhnya sudah dalam kondisi terbaik untuk menghadapi operasi besar ini, tapi pikirannya masih jauh dari siap. Pertanyaan-pertanyaan yang menggantung sejak awal belum menemukan jawabannya. Apa yang akan dia lihat ketika menatap cermin nanti? Apakah hidup barunya akan lebih baik, atau malah membawa lebih banyak penderitaan? Pintu kamar rumah sakit terbuka perlahan, dan Theo masuk dengan langkah tenang seperti biasa. Dia memandang Izora dengan tatapan datarnya, seolah tidak ada yang berubah atau akan berubah. "Sudah waktunya," katanya singkat, tanpa emosi, seperti mengumumkan acara biasa. Izora mengangguk dengan gugup. Dia berdiri perlahan, tubuhnya sedikit bergetar saat berjalan di belakang Theo, yang memimpin menuju ruang operasi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah kaki Izora menyeret beban yang tak terlihat. Pikiran tentang masa lalunya yang penuh dengan penderitaan bersama Keid, bercampur dengan bayangan akan kehidupan barunya yang masih begitu asing. Mereka tiba di ruang operasi, ruangan dingin yang penuh dengan alat-alat medis canggih. Tim medis sudah siap di sana, mengenakan pakaian operasi lengkap. Semua terasa begitu steril, begitu teratur—tetapi juga begitu jauh dari apa yang manusiawi. Izora diminta untuk berbaring di atas meja operasi yang keras dan dingin. Saat tubuhnya bersentuhan dengan logam dingin, getaran ketakutan di tubuhnya semakin terasa. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Para dokter mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Infus dimasukkan ke lengannya, detak jantungnya dipantau, dan wajahnya ditutupi dengan selimut steril. Ia terbaring tak berdaya, hanya bisa menatap lampu-lampu besar di atasnya. Saat napasnya semakin cepat, rasa takut menyelimuti pikiran. Dari ruangan di sebelah, Theo mengawasi. Dia bisa melihat seluruh proses dari balik kaca jendela besar, namun seperti biasa, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tidak ada simpati, tidak ada kegelisahan. Hanya ketenangan yang menakutkan. Salah satu ahli bedah mendekat, mengenakan masker bedah dan sarung tangan steril. Dia berbicara dengan tenang, mencoba menenangkan Izora. "Kami akan mulai operasi sekarang. Tetap tenang, semuanya akan baik-baik saja," ucap sang dokter dengan nada lembut yang berbeda dari kebanyakan orang yang ada di sekeliling Izora. Izora mencoba mengatur napasnya, meski rasanya sulit. Dia tahu bahwa operasi ini adalah bagian dari kontrak yang dia setujui, tapi rasa takut tetap menggerogoti hatinya. Apakah aku akan menjadi seseorang yang sama sekali tidak kukenal? *** Operasi dimulai, dan ruang itu dipenuhi suara alat-alat medis yang bekerja tanpa henti. Izora perlahan kehilangan kesadarannya saat anestesi mulai bekerja. Kepalanya terasa semakin ringan, tubuhnya semakin lemah, sampai akhirnya kesadarannya memudar sepenuhnya. Di dalam ketidaksadarannya, kilatan ingatan masa lalu muncul sesaat—Keid, kehidupan lamanya, dan harapan akan kebebasan yang membuatnya memilih jalan ini. Waktu berlalu tanpa Izora menyadarinya. Setelah beberapa jam yang panjang dan penuh ketegangan, operasi akhirnya selesai. Sang ahli bedah berdiri, melepaskan sarung tangannya dan menghapus keringat dari dahinya. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Operasi telah berhasil," ucapnya kepada Theo, yang tetap berdiri di tempatnya, mengamati dari kejauhan. Theo hanya mengangguk singkat, tanpa reaksi apapun, lalu berbalik untuk pergi. *** Saat efek anestesi mulai hilang, Izora perlahan-lahan kembali sadar. Tubuhnya terasa berat, lemah, seolah baru saja melewati sesuatu yang besar. Ketika dia membuka mata, pandangannya masih kabur, dan ada rasa bingung di dalam dirinya. Ruangan di sekelilingnya gelap, dan sesuatu tampaknya menutupi matanya. Perlahan, perawat di dekatnya membantu melepas perban yang menutupi wajahnya. Saat pandangannya mulai kembali, Izora melihat perawat itu tersenyum lembut. "Selamat datang kembali," kata perawat itu dengan nada ramah. "Operasimu berjalan lancar. Sekarang, yang perlu kamu lakukan hanya fokus pada pemulihan." Izora masih merasa pusing, tapi sedikit kelegaan muncul di hatinya. Operasinya berhasil. Namun, dia belum tahu bagaimana rupa wajah barunya. Masih ada rasa ketakutan yang belum hilang. *** Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi samar. Izora tinggal di ruang pemulihan, dikelilingi perawat yang merawatnya dengan baik. Tubuhnya masih lemah, dan seringkali ia merasa terbatuk-batuk karena efek anestesi yang belum sepenuhnya hilang. Setiap malam, dia terbangun dengan keringat dingin, mimpi buruk tentang kehidupan lamanya sering menghantui. Theo datang beberapa kali, tapi kunjungannya selalu singkat dan tanpa emosi. Dia hanya memberikan instruksi, memberitahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tak ada percakapan yang mendalam, tak ada kata-kata penyemangat. Theo tetap menjadi bayangan misterius yang mengendalikan semuanya dari kejauhan. Ketika Izora akhirnya diperbolehkan keluar dari ruang pemulihan, dia tahu bahwa waktunya telah tiba—waktu untuk melihat wajah barunya. Perawat membantunya berdiri di depan cermin besar di salah satu kamar. Izora menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan-lahan mengangkat penutup dari wajahnya. Wajah yang muncul di cermin bukanlah wajah yang ia kenal selama ini. Bekas luka operasi masih ada, tetapi itu hanya sementara. Dalam beberapa minggu ke depan, wajah itu akan berubah menjadi sempurna, menjadi wajah yang benar-benar baru. Tapi bagi Izora, wajah itu terasa asing. Siapa orang ini? pikirnya. Meskipun dia tahu perubahan ini diperlukan untuk melindungi identitasnya, tetap saja, rasanya seperti melihat sosok lain yang bukan dirinya. "Wajahmu akan sempurna dalam beberapa minggu," kata Theo, yang tiba-tiba masuk ke kamar tanpa suara. "Ini hanya masalah waktu sebelum kau sepenuhnya menjadi seseorang yang baru." Izora menatap cermin, mencoba membayangkan hidup barunya. Namun, dalam hati kecilnya, dia merasa seperti kehilangan sebagian besar dirinya. Apakah ini benar-benar kebebasan? Atau hanya penjara baru dengan wajah berbeda? *** Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan latihan yang melelahkan. Izora harus mempelajari identitas barunya—cara berbicara, cara bergerak, bagaimana cara bertindak sebagai seseorang yang sama sekali baru. Theo memberinya dokumen-dokumen, foto-foto, dan latar belakang palsu yang harus dia hafal. Izora tidak hanya harus hidup dengan wajah baru, tetapi juga dengan kehidupan yang sepenuhnya diciptakan oleh Theo. Waktu berlalu, dan wajah Izora mulai pulih sepenuhnya. Bekas luka memudar, dan penampilannya kini menjadi sempurna. Tapi meskipun dia terlihat sempurna di luar, di dalam dirinya, Izora masih merasa terjebak. Seolah-olah dia adalah boneka yang diatur oleh tangan-tangan yang tak terlihat. Suatu hari, Theo mendatanginya di kamar. "Kita akan pindah ke New York besok," katanya dingin, seperti selalu. Izora menatap Theo dengan mata terbelalak. "New York?" tanyanya, suaranya terdengar terkejut. "Kenapa harus ke sana?" Theo menatap Izora sejenak, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. "Ini bagian dari rencana. Kau akan aman di sana, dan itu yang paling penting." Izora ingin protes, ingin menanyakan lebih banyak, tapi dia tahu tidak ada gunanya. Theo bukanlah seseorang yang suka berbicara panjang lebar, apalagi menjelaskan alasannya. Dia hanya memberi perintah, dan Izora tak punya pilihan selain menurutinya. *** Malam sebelum keberangkatan ke New York, Izora duduk di tepi tempat tidurnya, merenungkan segalanya. Wajah barunya, identitas barunya, hidup barunya—semuanya terasa begitu cepat dan asing. Dalam hatinya, ada rasa takut yang tak bisa dia hilangkan. Dia tahu bahwa tak ada jalan kembali, tetapi apakah dia benar-benar siap untuk hidup seperti ini? Keid mungkin sudah berada di masa laluku, tapi bisakah aku benar-benar melupakan semuanya? Pikirannya terus berkecamuk sepanjang malam, memikirkan apa yang akan datang. Besok, di New York, kehidupan barunya akan dimulai. Tapi apakah ini akan menjadi kehidupan yang lebih baik? Atau hanya babak baru dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN