Chapter 34

1179 Kata
Surya memandangi istri yang diam saja menatap layar ponselnya, padahal ponselnya berdering. Dahinya mengernyit dalam, karena tak biasanya, Yuni mendiamkan panggilan telepon. Kalau tidak suka, ia akan langsung memblokir kontak orang tersebut agar tak bisa menghubungi. Semudah itu Yuni. Jadi kalau sampai mendiamkan saja, tidak diblokir, pastinya karena sesuatu. "Siapa, Ma?" tanya Surya begitu dering ponsel berhenti. "Farah." Yuni mencomot sebut anggur dan mengunyahnya dengan kesal. "Kenapa gak diangkat?" "Palingan nanya si Pras atau malah curhat." "Biasanya kan kamu curhatin balik." Surya terkekeh geli. Istrinya selalu memanfaatkan kegalauan Farah setiap kali ribut dengan Prasaja. Di tengah-tengah si Farah berkeluh kesah, Yuni akan menimpali dengan keluh kesah yang terkait materi. Dari yang harusnya periksa ke dokter, jadwal periksa salon, ada tas baru yang paling ingin dibeli, sampai merasa sakit dan perlu berlibur. Setelahnya, sejumlah dana masuk ke rekening Yuni. "Lagi males. Saya lagi pusing dengan nasib Pras dengan adanya Agasta. Mana itu Agasta ngurusin Rahadyan. Nilainya pasti tambah-tambah." "Halah, ngurusin orang sakit sama ngurusin dan jaga harta dia, pasti beda poinlah, Ma. Udah untung itu aset-asetnya aman. Ditambah anak istrinya kita jaga sebaik mungkin tanpa kekurangan." "Tapi, tetep aja itu.... Duh, nih anak." Yuni tak melanjutkan kalimatnya karena Farah kembali menelepon. "Terima ajahlah, Ma. Cadangan kita itu." Dengan berat hati, Yuni menerima panggilan telepon dari Farah. Nadanya pun dibuatnya sebiasa mungkin. Lembut dan ramah. Tak lupa Yuni membuka mode suara terbuka agar pembicaraan dirinya dan Farah, juga bisa didengar suaminya, Surya. "Halo, Sayang. Maaf ya, tadi saya di toilet." "Tante, Mas Pras apa ada perempuan lain?" Suara Farah terdengar panik. Suara yang sering kali keluar setiap kali keduanya bermasalah. "Ah, enggak, kok. Dapat gosip dari mana lagi kamu?" elak Yuni. "Prasaja sulit dihubungi, Tan. Alasannya sibuk terus." Yuni melirik suaminya yang tak henti memakan buah anggurnya. "Ya itu artinya memang Prasaja sibuk." "Sibuk apa sih, Tan. Kan Cuma ngawasi perkebunan dan peternakan saja." Yuni geram, Surya yang akan memasukan sebiji buah anggur ke mulut, jadi urung dan memandangi Yuni dengan tatapan kesal. Cara farah bicara terlalu meremehkan. Mentang-mentang baoaknya seorang berpangkat, jadi pekerjaan di kaki gunung dianggapnya pekerjaan ecek-ecek. "Kasih pelajaran, Ma." Surya mengatakannya tanpa suara. Ia hanya menggerakan mulutnya dengan tegas dan mimik wajah marah. "Nak Farah..., kita ini petani. Orang ndeso. Pekerjaannya ya cuma onkang-onkang kaki. Peternakan sapi perah, dikerjakan dengan manual saat memerah, ndak pakai mesin modern yang harus dipahami mesinnya kayak gimana. Panen cengkeh, cokelat, kopi, dan lain-lain, ndak usah diawasi hamanya. Intinya kita ini Cuma pura-pura sibuk biar dikira kerja." Hening. Tak ada sahutan. Yuni sendiri mengatur napasnya yang ngos-ngosan seolah abis maraton. Sedangkan Surya justru tersenyum lebar sembari mengacungkan kedua ibu jarinya. Di seberang telepon, Farah memukul-mukul bantak dan tempat tidur dengan gemas. Ia langsung menyadari kesalahannya begitu mendapat ceramah penuh sindiran untuknya. Dirinya dalam keputuasasaan hingga tidak bisa mengerem mulutnya mengeluarkan kata-kata meremehkan. "Maaf, Tante. Maafkan saya. Saya gak bermaksud merendahkan usaha Tante Yuni dan Om Surya, yang dijalankan Prasaja. Maafkan saya ya, Tante," ucap Farah dengan tulus. Yang Farah tahu, usaha peternakan dan perkebunan yang begitu besar dan luas, adalah milik keluarga Prasaja. Jadi, pastilah wajar jika Yuni begitu murka pekerjaan anaknya diremehkan. "Kamu itu kalau mau tetap bersama Prasaja, harus belajar memahami keadaannya. Dia itu banyak turun di lapangan. Ke Perkebenunan satu ke lainnya. Ke pertenakan satu, ke lainnya. Belum lagi bertemu dengan supplier dan lain-lain. Ritmenya Prasaja itu sibuk. Ya, kamu harus mulai belajar memahami keadaannya," ceramah Yuni. "Maafkan saya, Tante. Saya kesal dan panik, Tante. Prasaja sulit sekali dihubungi. Padahal ada hal penting yang harus saya bicarakan dengannya." Yuni dan Surya saling pandang dengan penasaran. Tetapi masing-masing memberi sinyal pada pertanyaan yang sama. Masalah apa? "Memangnya ada masalah apa? Mungkin saya bisa bantu," tawar Yuni yang sekaligus berupa pancingan. Farah tak langsung menyahut. Ia menimbang dulu apakah baik untuk menyampaikannya datau tidak. "Farah, ada apa sih?" desak Yuni. "Tidak, Tante. Biar nanti saya sendiri omong sama Prasaja." "Sesuatu yang penting?" "Begitulah, Tante." "Apa?" "Nanti aja, Tante. Nanti saya coba hubungi Prasaja lagi. Terima kasih Tante dan sekali lagi maaf karena ucapan saya tadi." Tak lama telepon pun ditutup dari pihak Farah. "Masalah apa, Ma, kira-kira?" Surya berpindah duduknya di sisi istrinya. "Gak tau, Pa?" "Apa bapaknya maksa mereka kawin? Kan kapan itu kata Prasaja, bapaknya udah mulai nanya-nanya keseriusan Prasaja." "Gimana, Pa, kalau ternyata memang begitu?" "Saya sebenernya gak ada masalah kalau Pras sama Farah. Mana anak itu royal ke kita. Berbanding terbalik ama Danica. Dia mana pernah sekedar bawa oleh-oleh dari Jogja. Rasanya si Nica ini perhitungan. Tapi, harta Danica ini gak akan habis tujuh turunan, sedangkan harta Farah, ya..., saya gak yakin gimana kalau bapaknya setelah pensiun." "Jadi piye?" tanya Yuni tidak sabar. "Suruh sabar ajalah dulu si Farah. Nanti setelah Pras nikah ama Danica, baru diem-diem nikahin si Farah ini." *** Danica masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Ia ingin mencari Agasta dan membuat perhitungan. Dongkol hati Danica karena dijebak berduaan dengan Maya. Danica merasa frustasi karena dalam waktu berdekatan, berhadapan dengan orang-orang menyebalkan di situasi tidak mengenakkan. Dari Prasaja yang menuntut perasaan Danica sama dengan perasaan pria itu terhadap Danica. Menempatkan Danica dalam posisi sulit karena hubungan kekeluargaan yang terjalin sangat lama. Lalu berlanjut dengan Maya. Yang bahkan meskipun bertetangga dan satu sekolah, tak pernah ia dan Maya memiliki batas keakraban layaknya teman perempuan sebaya, bertetangga, satu sekolah. Untungnya Maya merasakan juga ketidaknyamanan berdua dengan Danica. Setelah sedikit berbasa-basi, Maya berpamitan pulang. Masuk ke ruang tengah, Danica terkejut mendapati Agasta sedang makan. Ia memeriksa jam tangannya, dan sudah memasuki pukul setengah empat sore. Danica sudah keluar rumah sejak pukul satu siang, berarti selama kurang lebih dua jam setengah, Agasta baru ini makan. "Kamu baru makan?" Danica menarik kursi dan duduk di dekat Agasta. Memerhatikan keseriusan Agasta makan yang seperti seorang kelaparan. Cepat dan lahap. "Ya." Agasta menambah porsi nasinya. Menuang sayur beningnya dengan semangat. Menambah lauk pauk lainnya dan sambal. Penuh piring Agasta. "Kok, bisa? Bukannya tadi saya pergi harusnya kamu sudah makan." "Saya urus makan Bapak dulu." "Urus makan Papa, memangnya butuh waktu sampai berjam-jam? Pasti kamu kelamaan ngobrol sama Maya, ya?" Agasta melirik sejenak ke arah Danica sebelum suapan nasinya masuk ke mulut. "Cemburu?" "Idih!" Danica menggeliatkan tubuhnya seperti seorang yang jijik. "Ngapain cemburu? Gak ada urusan kamu ama dia bagaimana." "Gak urusan tapi nanya. Pakai memperkirakan lamanya interaksi." "Kan cuma nanya. Gak dijawab juga gak masalah." Danica sewot. Ia mengambil piring kecil dan akan mengambil Lemet singkong. Tetapi matanya menangkap ada wadah transparan setengah bulataan yang isinya seperti puding buah. "Mbok Min bikin ini juga?" Danica membuka penutupnya dan dugaannya benar itu adalah puding buah dengan siraman fla. "Itu dari Maya." Sontak Danica menghentikan kunyahannya. Ekspresinya langsung jelek saat mengetahui siapa yang membawakan puding. "Makan ya makan aja. Itu kan namanya rejeki. Gak berkah hidupmu kalau kamu menjelekkan makanan hanya karena kamu tidak suka dengan yang membuatnya." Danica mencebikkan bibir. Tapi, ia menyetujui kata-kata Agasta apalagi pudingnya memiliki tingkat kemanisan yang pas juga segar karena dingin. Sepertinya Maya sempat menyimpannya dulu di lemari pendingin. Sembari mengunyah, Danica berujar, "Harusnya kamu jadi ustadz saja ketimbang dokter. Kebanyakan ceramah." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN