Air mata tidak bisa dibendung. Meski tak ada suara isak, tetapi air mata Danica meluruh deras. Ayahnya begitu dingin dengan senyum yang begitu hangat. Tatapan mata Rahadyan bahkan bersinar-sinar. Rahadyan tak mengenali Danica, namun kedua matanya tak beralih dari wajah Danica.
"Manika belum pulang."
Rahadyan bicara dengan suara gemetar. Suara seorang yang sudah sangat kedinginan.
"Pa..., kita masuk, ya." Danica tidak tega lagi melihat bagaimana pucatnya wajah sanga ayah. Dirinya saja yang masih muda, mengenakan baju tidur yang sedikit tebal, masih dilapisi sweater dan kaos kaki, saat di luar begini, rasa dingin masih tembus ke dalam daging. Apalagi ayahnya yang hanya mengenakan piyama . Bahkan Ayahnya tak mengenakan sandal.
Saat Danica akan berdiri, jemari Rahadyan menangkap jemari Danica. Hati Danica tersentak dengan perasaan yang baru. Membelai lembut rasa marah yang membatu. Tangan yang dirindukannya, benar-benar memegangi jemari Danica.
Gurat-gurat dari urat yang menyembul, hanya membuat Danica tak berdaya. Di sana kenangan ayahnya yang tak bersama dirinya, yang hilang hingga seperti sudah tak berasa, kini justru menyentuh Danica dengan nyata. Kerinduan.
"Manika belum pulang. Kasihan Danica."
Suara rahadyan yang gemetaran karena dingin, kini dibarengi air mata. Danica tidak tahu bagaimana menajwab. Ayahnya tidak tahu akan dirinya yang sudah betumbuh. Ayahnya juga tidak tahu jika ibunya tiada.
"Kita.... Kita..., masuk ya...., Pa...." Danica digulung kesedihan. Amarah dan dendam entah sedang ada di mana. Ketegarannya hilang. Air matanya tidak susut juga.
"Manika sudah di dalam bersama Danica. Kita masuk ya, Pa." Danica memberi dusta yang menusuk hati.
Tangisan Danica yang tadinya hanya untaian air mata, kini ditemani suara sesenggukan yang sekuat-kuatnya ditahan Danica, saat ayahnya berkata dengan senang, "Ayo, ayo, kita ke kamar Nica."
Saat itulah, Danica merasakan jika ayahnya meremas kuat jemarinya. Meski senyum masih ada di wajah Rahadyan, tetapi tubuh pria itu mulai gemetar dengan hebat, bahkan kursi rodanya berderak kuat, seperti akan patah.
Napas Rahadyan juga mulai pendek-pendek. Kedua mata meredup seperti seorang yang akan tidur.
Ada yang salah dan Danica tahu, ia harus memanggil Agasta.
Danica mulai bingung bagaimana ia memegang gagang kursi roda sedangkan salah satu jemarinya dipegang kuat oleh ayahnya. Danica juga tidak mungkin teriak-teriak memanggil Agasta, saat ia dan ayahnya di ambang pintu. Orang luar, tetangga akan dengar, dan ada kemungkinan sebagiannya akan datang.
Danica kemudian berdiri di depan ayahnya. Membungkuk sampai kepalanya dekat dengan kepala Rahadyan. Pipinya dan pipi Rahadyan menempel saat Danica mencoba mendorong kursi roda mundur agar masuk ke dalam rumah. Dinginya pipi sang ayah, semakin menyesakkan d**a Danica.
"Pa, sebentar, Pa." Danica mencoba melepaskan tangannya dari genggaman ayahnya. Berhasil dengan keadaan ayahnya yang semakin buruk.
Rahadyan memejamkan mata, tangannya jatuh lunglai. Begitu juga tubuhnya yang langsung ambruk di pundak Danica. Gadis itu langsung panik. Ketakutannya akan kematian membuat napasnya memburu. Jika tadi karena tangannya yang diremas, yang membuat Danica tidak bisa memegang gagang kursi roda, kini tubuh ayahnya yang bersandar di pundaknya, menghalangi Danica berdiri.
Akhirnya Danica tetap pada cara semula. Ia terus mendorong kursi roda ayanya, sampai ke ruang tengah. Langsung Danica membawa ke depan kamar Agasta yang terbuka.
"Gasta! Agasta. Agasta bangun, Gasta!" Danica memanggil dengan suara memekik dan panik. Pita suaranya seperti tercekik. "Gasta! Bangun, Ya Tuhan, Gasta!"
Suara bentakan terakhir Danica, membuat tubuh Agasta yang tadinya berbaring telentang, langsung terbangun dan duduk. Ia mengeluh, dan memijit pelipisnya yang terasa sakit karena bangun dengan tiba-tiba.
"Gasta! Tolong ini, Gasta. Cepat!"
Agasta menoleh ke arah pintu dan untuk kedua kalinya, tubuh Agasta terlonjak. Ia bangun dengan panik. Ia tak memedulikan diri sendiri yang baru bangun, yang bahkan nyawanya saja belum terkumpul semua.
"Bapak kenapa, Nica? Kenapa bisa turun dari tempat tidur? Ada ap...."
"Gasta, Stop! Tolongin!"
Agasta langsung membenahi posisi Rahadyan agar Danica terbebas. Setelah Dnaica minggir, cepat-cepat Agasta membopong Rahadyan masuk ke dalam kamar. Sedangkan Danica setengah berlari, kembali ke ruang depan untuk menutup dan mengunci pintu. Lalu, Danica berlari lagi kembali ke kamar ayahnya.
Ia melihat Agasta yang melucuti pakaian ayahnya dengan cepat dan berlanjut ke celana ayahnya. Danica makin trenyuh mendapati tubuh telanjang ayahnya yang hanya tinggal tulang dengan kulit saja. Danica menangis. Dirinya berduka atas derita ayahnya.
"Nica, kamu masak air. Tapi, air yang ada di mesin pemanas, tuangkan semua sampai habis ke baskom dan bawa kemari dengan handuk kecil. Cep...."
Lagi-lagi Agasta tak menyelesaikan ucapannya. Danica langsung berbalik dan bergerak cepat mengikuti instruksi Agasta. Danica sudah memasukkan panci berisi air ke atas kompor yang menyala. Ia kemduian membawa baskom berisi air panas yang diambil dari mesin pemanas air elektrik, disertai handuk kecil.
Sampai di kamar, Danica melihat kalau ayahnya sudah berpakaian piyama yang baru. Danica mendekat, tetapi bingung harus apa.
"Nica."
Tatapan Danica teralih pada Agasta yang baru saja mengeluarkan stetoskop. Agasta terlihat prihatin tetapi dirinya tak punya pilihan.
"Nica, Ini mungkin akan menyakitkan. Tapi sebentar saja, bisakah kamu menguatkan diri untuk mengimpres kaki ayahmu?"
Tak ada penolakan. Danica langsung meletakan baskom di sisi lain kaki ayahnya. Danica meringis menahan sakit dan menahan aduhannya saat pertama kali tangannya masuk ke dalam air hangat. Ia mencoba mengambil handuk kecil yang sudah terendam dan mencoba memerasnya, baru kemudian digulungkan di kaki ayahnya. Merasa kurang, Danica keluar kamar menuju kamar pribadinya, dan mengambil handuk kecil lainnya. Ia mengulangi yang sama, pada salah satu kaki ayahnya yang belum terbungkus.
Agasta sendiri sibuk memeriksa Rahadyan. Memberikan suntikan. Memasang kembali jarum infus.
"Nica, tunggu di sini. Saya mau ambil tabung oksigen di mobil."
Danica mengangguk dan terus berkutat mengompres kaki ayahnya.
"Pa.... Papa.... Jangan pergi dulu, Pa...." Danica tergugu.
Ia belum mengenal ayahny. Kebenciannya karena ditinggalkan tanpa tahu ada masalah apa sebenarnya, beumlah tuntas terbayar. Impiannya bercengkerama dengan ayahnya, juga belum terlaksana.
Jika bersama ibunya, ia memiliki waktu bersama selama delapan belas tahun, maka dalam hatinya, Danica menuntut yang sama untuk ayahnya. Ia meminta pada Tuhan, agar ayahnya diberikan umur panjang untuk besama dirinya.
Agasta yang baru masuk, mendapati Danica yang menangis tergugu. Demi menjaga harga diri Danica yang tentunya malu jika ketahuan menagis olehnya, Agasta mundur beberapa langkah dan berseru, "Napas Bapak bagaimana?"
Danica buru-buru menghapus air matanya. Gadis itu mendengar langkah Agasta yang mulai memasuki kamar. Karena Danica yakin suara seraknya akan ketahuan habis menangis, Danica memilih diam, tak menjawab.
Agasta sendiri pura-pura tidak memerhatikan. Dia sibuk menyiapkan selang oksigen untuk Rahadyan. Setelah beres semua, kembali Agasta memeriksa d**a Rahadyan, memastikan keadaan Rahadyan sudah terkontrol.
Tanpa banyak bicara, Agasta keluar kamar. Ia menuju dapur. Sesuai dugaan, air yang dimasak Danica sudah memanas. Rupanya Danica memasak air dalam volume yang banyak. Agasta menempatkan sebagianya di baskom. Menambahkan sedikit dengan air biasa agar suhu tak terlalu panas, baru membawanya masuk.
Agasta membuka kopernya dan mengeluarkan tiga handuk kecil. Direndamnya ketiga handuk, baru ia kembali ke kamar Rahadyan. Agasta lalu mengompres masing-masing kemari Rahadyan, baru kemudian mengompres kening Rahadyan.
"Nica, tolong kompres kedua tangan Bapak dan juga kening Bapak, ya." Agasta meletakkan baskom ke meja kecil di samping tempat tidur. "Saya akan mengganti air yang untuk kompres kaki beliau."
Dengan wajah pucat, Danica menurut. Ia mendekati Agasta yang berdiri mengamati dirinya yang lunglai.
Agasta trenyuh melihat bagaimana pilunya keadaan gadis itu. Ia bahkan melangkah dengan tatapan kosong. Sepertinya, setengah nyawa Danica melayang. Kedua bola motanya memerah, begitu pula ujung hidungnya.
Gadis itu sedang syok. Danica sedang dipaksa keadaan untuk menerima ayahnya yang dalam keadaan sekarat. Danica pasti tidak akan kuat, gadis itu hanya menguat-nguatkan diri saja. Tangisannya sedang disembunyikan.
Agasta tidak tega melihat Danica. Ia kemudian melakukan yang memang seharusnya dilakukan. Agasta langsung memeluk Danica erat. Membelai lembut punggung gadis itu. Mengabaikan bahwa ada kemungkinan Danica marah dan mengamuk.
"Nica..., ada saya. Menangislah, Nica. Jika kamu tidak mau membaginya dalam bentuk kata-kata, bagilah dengan saya tangisanmu. Yang sabar, ya. Bapak pasti sembuh. Dan kamu kuat dengan kenyataan hidupmu."
Suara bariton Agasta yang lembut. Dibarengi dengan debaran jantung Agasta yang sampai di telinga Danica yang menempel di d**a pria itu, seketika menjadi obat mujarab bagi Danica yang membutuh ruang dan tempat untuk menangis.
Danica pun menangis. Tidak lagi sendiri.
***