Chapter 1

1463 Kata
Musik pop mengalun nyaring dari alat pemutar lagu di dalam mobil. Kaca jendela sudah diturunkan sampai hampir penuh ke bawah. Membiarkan angin pagi menyapa dan kemudian menguasai ruang kosong dalam mobil. Mengganti dinginnya AC mobil dengan dinginnya kesejukan khas pagi, yang mana udara masih ditemani embun. Jalan lintas kota masih tidak ramai. Ini masih jam setengah lima subuh. Keadaan masih gelap meski tidak terlalu gelap karena cahaya timur sudah membias samar. Namun, udara dari pegunungan, hanya membuat sebagian besar manusia melilitkan diri dalam kehangatan selimut. Itu kenapa aktifitas belum padat. Kecuali pasar, mungkin. Ibunya meninggal tak lama setelah pengumuman kelulusan Danica. Sempat keduanya berbincang perihal ke mana nantinya Danica melanjutkan pendidikan. Keduanya tidak membincangkan biaya, melainkan jarak. Sang ibu tak ingin Danica pergi terlalu jauh. Keinginan sang ibu adalah Danica kuliah di dekat-dekat saja. Jika ada apa-apa, mudah untuk saling menemui. Belum juga pilihan ditetapkan, sang ibu sudah keburu meninggal karena penyakit paru-paru yang sudah lama dideritanya. Penyakit yang timbul bukan karena bekerja terlalu keras demi penghidupan Danica, melainkan karena luka hati. Sejak itu Danica memutuskan pindah ke Jogja dan hanya pulang setahun sekali di akhir tahun untuk ziarah ke makam ibu dan juga makam sahabat ibunya. Beberapa malam lalu, selama tiga hari berturut-turut, ibunya datang dalam mimpi dengan wajah sendu. Tak ada kata yang keluar. Hanya tatapan sedih. Ibunya duduk diam di teras rumah, tempat biasa ibunya menanti dirinya pulang sekolah. Jika semasa hidup, ibunya akan berdiri dan tersenyum lebar setiap ia pulang sekolah, kini dalam mimpinya, sang ibu hanya diam saja dan tetap duduk. Tahun belum berakhir, tetapi sepertinya sang ibu memanggilnya untuk pulang. Danica tak mengerti kenapa ibunya tampak berduka. Ia juga tak bisa menelaah makna mimpinya. Wulan, seorang teman yang juga adalah editornya, berkata kemungkinan sebenarnya di hati terdalam, Danica rindu sang ibu dan begitu juga sebaliknya. Wulan menyarankan Danica pulang saja sekalian mengerjakan n****+ terbarunya. Sekali-kali membuat 'anak' di rumah kelahiran, tentu auranya beda dan hasil tulisan pasti lebih segar. Begitu yang Wulan sarankan dan Danica menurut. Danica mengulurkan tangan kanannya keluar mobil. Membiarkan setiap jemarinya merasakan angin yang bergerak. Kerinduan yang butuh pelepasan. Danica jarang pulang ke rumahnya. Paling kalau memang ada acara terkait kampus atau terkait dengan pekerjaannya sebagai penulis, yang diadakan di Jawa Timur, ia baru akan menyempatkan pulang ke kota kecilnya itu. Danica menyadari kalau ia sudah memasuki kota kecilnya. Ia sudah melihat perkebunan kopi dan cokelat yang begitu luas. Pemberian ayahnya untuk ibunya dan kini menjadi miliknya. Pemberian terakhir ayahnya sebelum benar-benar pergi dan menghilang. Tak hanya perkebunan. Harta yang dimiliki Danica juga adalah peternakan sapi perah. Sungguh pemberian yang sangat berfaedah, batin Danica miris. Setidaknya dengan peninggalan yang begitu besar dan menghasilkan, ibunya dan dirinya bisa hidup tenang. Sepanjang hidupnya, Danica tidak kekurangan. Jika ada yang diinginkan, dalam sekejap ada. Kekayaan yang dihadiahkan ayahnya untuk Danica dan ibunya sangat melimpah. Pun begitu, sejatinya bukan sekedar harta yang dibutuhkan. Melainkan kelengkapan dan Danica tidak pernah memiliki itu. Orang-orang yang mengenali Danica, memberi salam dengan ramah. Mereka juga sedikit membungkuk sebagai penghormatan pada pemilik pekerbunan dan peternakan. Beberapa kali Danica berhenti karena beberapa yang menyapa Danica, mendekati mobil Danica yang melambat dan menanyakan kabarnya. Akhirnya sampai juga Danica di rumahnya. Pintu pagar sudah dibuka lebar, memudahkan Danica memasukkan mobilnya langsung menuju garasi terbuka. Sempat ia melihat wanita berumur dengan kebaya sederhananya dan sepasang suami istri yang sudah Danica anggap sebagai kerabat dekat. Turun dari mobilnya, Danica langsung dihampiri wanita berkebaya itu. Ia terkekeh, menampilkan bagian-bagian giginya yang sudah tanggal. Danica langsung menyambut wanita itu dan memeluknya hangat. Seketika kekehan si wanita berubah menjadi tangis kerinduan. "Aduh, Mbok Min kok nangis." Ganti Danica yang terkekeh geli sembari mengelus punggung renta asisten rumah tangganya yang sudah tua dan tetap setia. "Mbak Danica sudah lama ndak pulang," ucap Mbok Min dengan tergugu. "Baru juga setahun saya gak pulang" "Setahun lima bulan," ralat Mbok Min. "Hehehe.... Sebulan lagi jadi genap satu setengah tahun, ya?" goda Danica. Semua tertawa, termasuk pasangan suami istri yang sudah mendekat. Mbok Min melepaskan pelukannya, memberika kesempatan Danica menyapa yang lain. Danica langsung menghampiri pasangan suami istri yang bersahaja itu. Diciumnya tangan si pria dan kemudian si wanita. "Bude Yuni. Pakde Surya," sapa Danica. Yuni dan Surya adalah teman keluarga dan juga adalah orang yang membantu mengurus perkebunan dan peternakan keluarga. Sudah sejak kecil Danica mengenal keduanya dan kemudian menganggap keduanya adalah orang tua kedua. "Ini lama banget, Nica. Sampai setahun lebih tidak pulang. Padahal setiap setahun sekali kamu pulang. Betah amat di Jogja," ujar Yuni dengan tawa kecil. "Sudah punya pacar, Ma. Jadi malas pulang," goda Surya. "Ck.... Gak ada pacar-pacaran. Kerja." Danica pura-pura cemberut. Yuni menowel dagu Danica. "Buat apa kerja capek-capek. Jauh lagi. Udah di sini aja. Nikah sama Prasaja." Danica hanya tersenyum tak lagi menanggapai. Yuni dan Surya sejak dulu selalu ingin menjodohkan Danica dengan putra bungsu mereka. Tapi, dulu saat ibunya masih hidup, ibunya menyerahkan semua pada Danica dan tidak memaksa. "Prasaja mana, Pakde?" tanya Danica basa-basi. Rasanya tak sopan saja jika tak menanyakan orang yang dikenal sedangkan namanya sudah tersebutkan. "Kerjalah. Dia itu kerja keras untuk jaga perkebunan dan peternakan ini. Biar makin berkembang," ujar Surya dengan nada jumawa. Membangga-banggakan putranya sedemikian rupa. "Tapi, nanti setelah kerja, dia akan ke sini temui kamu. Yang sabar ya nahan rindunya." Perkataan Yuni disambut tawa renyah si suami. Menganggap itu ada gurauan yang menyenangkan. Sedangkan Danica memilih diam saja tak menanggapi. "Udah-udah. Malah omongi jodoh. Kasihan Danica menyetir dari Joga ke sini. Biar dia masuk dulu. Ayo, masuk Nica." Danica bersyukur atas penyelaan yang dilakukan Surya. Ia memang letih sekaligus malas jika pembicaraan mengarah pada perjodohan. Ketiganya bersamaan masuk ke da;am rumah. Mbok Min sempat bertanya perihal tas Danica, tetapi Danica melarang Mbok Min mengambil tas kopernya yang besar. Ia sendiri yang akan menurunkannya nanti. Alasannya karena Mbok Min sudah tua dan nurani Danica tidak tega jika membiarkan Mbok Min membawa tas kopernya. *** Agasta keluar dari ruang direktur dengan wajah datar. Setelah menutup pintu ruang direktur dan yakin pintunya sudah benar-benar tertutup, Agasta langsung memberikan selebrasi tanpa suara untuk dirinya sendiri. Hal yang berlebihan, mungkin. Tapi, Agasta merasa perlu untuk itu. Butuh hampir enam bulan ia merayu atasannya agar bisa mendapatkan ijin cuti besarnya. Atasannya tak rela melepas dokter spesialis muda itu meninggalkan rumah sakit untuk waktu yang lama. Apalagi, Agasta adalah spesialis penyakit dalam atau internis muda yang menjadi favorit pasien. Dengan terpaksa, Agasta kemudian mengancam, kalau ia tak diberi ijin cuti, maka ia akan mengajukan pengunduran diri saja. Tentu pihak rumah sakit mulai serius memikirkan cuti Agasta. Setelah ditimbang, dari pada melepas dokter terbaik, lebih baik memberikan kelonggaran ijin. Hanya saja dari yang sebelumnya tiga bulan menjadi dua bulan. Tak masalah bagi Agasta, yang penting ia bisa membawa ayahnya pulang. Menuntaskan rindunya. Menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya saat ia pergi keluar meninggalkan keluarga. Agasta melangkah cepat dan ringan meninggalkan ruang diterktur menuju ruangannya. Hari ini ia akan menyelesaikan semua pekerjaannya dan memberikan catatan untuk dokter yang akan menggantikan dirinya sementara. Agasta memanggil perawat yang sekaligus adalah asistennya, Risa, masuk keruangannya. "Bagaimana, Dok? Dari wajahnya, sepertinya diijinkan, ya?" tebak Risa yang masuk dengan senyum manis. Agasta menyukai Risa karena wanita itu sangat profesional. Sejak pertama menjadi asisten Agasta, perawat Risa tak pernah bersikap genit atau berlebihan memberikan perhatian. Tak ada sikap mencari perhatian bak wanita yang jatuh hati. Karena itu, Agasta mempertahankan Risa menjadi asistennya selama hampir tiga tahun terakhir ini. "Akhirnya, Ris. Oh,ya, ini beberapa catatan penting pasien saya yang masih butuh kontrol. Serahkan nanti ke Dokter Budi, beliau yang akan menggantikan saya sementara waktu ini." Risa mengangguk-angguk. Tak ada keberatan darinya jika nanti ia menjadi asisten sementara dokter lain. "Untuk pasien lain, jika memaksa harus dengan saya, informasikan saja kapan saya ada. Oh, ya, kalau Dokter Budi perlu data lengkap, kamu kasih aja kunci kabinetnya. Tapi sepertinya beliau kesusahan mencari, kamu tau kan, saya gak rapi simpan berkas. Kamu bantu beliau." "Siap." "Mmm...." Agasta tiba-tiba bingung mau mengarahkan apalagi. Ia mengedarkan pandangannya di atas meja. "Saya paham semuanya, Dok. Pokoknya, Dokter di sana tenang-tenang saja mengurus dan menjaga Bapak." Risa menenangkan dokternya yang gelisah. Agasta adalah seorang yang perfeksionis, apa-apa harus tertata dan teratur. Ini juga pertama kalinya ia bepergian meninggalkan pekerjaan. Ada kekahwatiran atas keadaan pasien-pasiennya. "Dokter jangan banyak pikiran. Dokter Budi adalah dokter terbaik juga. Pasien Dokter Agasta pasti aman di tangan beliau," ujar Risa yang memahami karakter dokternya itu. "Iya, Ris. Kamu benar. Titip pasien-pasien saya, ya." Risa mengangguk. "Dokter yang tenang. Mengurus orang sakit itu berat. Jaga kesehatan diri sendiri, jangan lupa, Dok." "Pasti, Ris." "Oh, ya. Dokter ke Jogja jadi pakai mobil?" "Iya, Ris. Dengan kondisi Bapak seperti itu, lebih nyaman dan santai dengan mobil. Saya sudah modifikasi bagian tengah agar Bapak bisa tidur." "Semoga perjalanan Anda aman. Hati-hati nanti, ya, Dok." Semoga saya dan Bapak bisa menemuinya, harap dalam hati Agasta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN