Setelah sarapan, Danica memutuskan masuk ke kamar saja. Berpikir untuk bersikap seperti kesehariannya jika pulang, yaitu berkutat dengan bacaan dan tulisan. Biasanya juga ia akan menghubungi beberapa teman, kemudian melakukan pertemuan, atau jalan-jalan sendiri, sekedar untuk menikmati suasana kota tanpa gangguan.
Di kamar tamunya, Danica bertekad untuk melanjutkan tulisannya. Agak lucu situasinya. Danica harus tidur dan bekerja di kamar tamu, di rumahnya sendiri. Sedangkan si tamu justru tidur di kamarnya. Entah apa saja yang diam-diam dilakukan Agasta di kamarnya. Danica akan memeriksanya nanti saat Agasta tidak ada.
Ada dua kursi anyaman rotan yang saling berhadapan dengan dibatasi oleh meja bulat dari kayu mahoni yang diplitur hitam gelap. Tinggi kursi dan meja hanyalah sebatas lutut Danica jika berdiri. Kursiya sendiri memiliki kemiringan sampai ke sandarannya. Pilihan yang pas kalau untuk duduk-duduk santai, sembari membaca buku atau koran, ditemani secangkir kopi atau teh. Dan begitulah kegunaannya.
Namun, Danica butuh meja dan kursi untuk bekerja. Ia tak punya pilihan dan malas meminta bantuan Agasta untuk memindahkan meja dan kursi belajar dari kamarnya ke kamar tamu.
Setelah menyalakan laptop, membuka buku catatan kecil, membaca beberapa preferensi yang dibutuhkannya untuk bahan tulisan, Danica terpikir untuk menelepon editornya, Wulan. Ada hal-hal yang mengganjal pikirannya yang memang sudah diniatkan bertanya.
"Nica!" seru Wulan dari seberang telepon. Membuat telinga Danica sakit hingga ia perlu menjauhkan ponselnya sejenak dari telinga.
"Berisik! Suaramu bikin sakit ini telinga. Semoga aja gak seketika menjadi budek," omel Danica yang hanya disambut tawa lebar dari Wulan.
"Gimana, gimana? Saya lupa mau telpon kamu. Tapi, karena kamu gak telpon balik, saya kira semuanya baik-baik saja. Bagaimana orangnya?"
Danica mengernyit. Sepertinya Wulan sedang membicarakan sesuatu yang lain yang bahkan topiknya belum dilempar. Danica bingung karena tidak mengerti arahnya. Namun, anehnya, di bagian lain dari dirinya, merasa kalau ia mengerti, hanya saja tidak tahu apa.
"Orangnya...?" tanya Danica, berharap Wulan aka menjelaskan orangnya siapa yang akan jadi topik pembicaraan mereka.
"Iya. Bagaimana dia? Dari suaranya, keliatan banget kalau dia itu dewasa. Penasaran saya ama tampilannya yang asli. Kalau lihat profilnya di f*******:, dia benar-benar lelaki idaman!"
"Idaman siapa?"
"Idaman saya, idaman ibu saya, dan..., idamanmu, hahaha...."
"Sebenarnya kita lagi ngomongin siapa, sih?" Akhirnya Danica bertanya juga. Meski ia merasa memahami, namun tetap saja ia tak menemukan jawaban siapa dan apa yang dibicarakan. Ini seperti seorang yang mengerti tapi juga tidak mengerti. Bodoh.
"Lho? Memangnya dia gak nemuin kamu?"
Danica sepertinya sudah mulai memahamui siapa yang dimaksud ketika kata temu ditanyakan.
"Agasta?"
"Nah!"
Kembali Danica harus menjauhkan ponselnya karena Wulan memekik. Seolah-olah dirinya baru saja lolos ujian dan perlu selebrasi.
"Gak perlu harus teriak gitu, 'kan, Lan?" tegur kesal Danica.
"Hahaha.... Jadi, bagaimana orangnya?"
"Bagaimana dia bisa menghubungimu?" tanya Danica balik, mengabaikan pertanyaan Wulan.
"Ya, melalui fan base kita yang di f*******:. Dia bilang kalau ayahnya menyukai semua ceritamu. Dia bahka menunjukkan foto-foto novelmu dari terbitan pertama. Dia juga bilang kalau ayahnya sedang sakit keras dan sangat ingin bertemu penulis n****+ idolanya. Sebenarnya agak aneh gimana, yah. Seorang yang berbeda jauh jamannya, bisa menyukai n****+ karyamu. Tadinya saya mengira kal...."
"Tunggu."
Danica menghentikan cerocos Wulan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Agasta yang berjalan dari balakang rumah melewati samping rumah. Agasta mengenakan helm, artinya pria itu akan keluar.
Sebuah kesempatan.
Sesuatu yang Wulan sampaikan, meremas hatinya. Ada sakit yang begitu pedih.
"Nica! Nica! Kenapa?" tanya Wulan yang terdengar penasaran sekaligus tidak sabaran dari seberang telepon.
Danica mendengar gerbang pagar dibuka dan mesin sepeda motor menyala. Suaranya lambat laun menjauh. Danica langsung berdiri.
"Siapa yang koleksi n****+-n****+ saya?" tanya Danica sembari keluar dari kamar tamu.
"Ayahnya. Kenapa?"
"Kirim ke saya nama f*******: Agasta, ya. Lan, nanti kita telponan lagi."
Sempat terdengar nada protes dari Wulan, tetapi Danica mengabaikan dan langsung mematika sambungan teleponya.
Langkahnya semakin perlahan bahkan terkesan diseret saat ia semakin dekat dengan kamar orang tuanya. Sama seperti sebelumnya, ia melihat bagian kaki ayahnya yang ditutupi selimut milik ibunya. Kaki itu tak bergerak sama sekali. Tanda ayahnya sedang tidur.
"Dia bilang kalau ayahnya menyukai semua ceritamu. Dia bahka menunjukkan foto-foto novelmu dari terbitan pertama."
Suara Wulan menggema di dalam kepalanya. Pernyataan itulah yang tadi sudah meremas hatinya kuat-kuat hingga menimbulkan perasaan sakit.
Ayahnya, yang selama ini ia kira mengabaikannya, melupakannya, ternyata mengikuti perjalanan hidupnya. Bahkan ayahnya tahu kalau ia adalah seorang novelis. Bahkan ayahnya mengkoleksi semua karyanya. Pernyataan yang antara percaya tidak percaya.
Danica kemudian pun bertanya-tanya, dari mana ayahnya tahu ia seorang novelis? Sejak kapan ayahnya mengikuti dirinya? Mungkinkah sebenarnya ayahnya tak pernah jauh darinya? Tapi kenapa? Kenapa Rahadyan tak benar-benar menemuinya?
Ibunya sudah hampir lima tahun meninggal. Jika Rahadyan tak menemuinya karena ada ibunya, Manika, kenapa setelah ibunya tiada, Rahadyan tidak kunjung datang?
Di saat-saat Danica berkutat dengan pertanyaan, gadis itu kemudian melihat pergerakan dari kaki Rahadyan. Seketika langkahnya terhenti. Jantungnya seperti mau copot saat melihat kaki Rahadyan seperti sedang mendorong-dorong sesuatu dengan kepayahan.
Tak lama, selimut yang tadi menutupi kaki Rahadyan, bergeser sedikit demi sedikit. Rahadyan sendiri belum berhenti menggerak kedua kakinya dengan cara yang tidak jelas. Sampai kemudian selimut itu tak lagi menyelimuti kaki Rahadyan. Sebagiannya bahkan menjuntai ke bawah.
Kedua kaki Rahadyan yang mengenakan celana panjang kain bermotif garis horizontal, kembali lurus. Diam saja, tak melakukan pergerakan apa pun.
Jantung Danica semakin berdebar kuat. Pertanyaan lain berkelebat, mungkinkah Rahadyan sekarang pingsan karena kelelahan berkutat dengan selimutnya?
Danica khawatir tetapi enggan. Ia maju lagi tetapi langkahnya setengah diseret, seolah-olah ada yang memegangi kakinya dan mencegahnya berjalan lebih dekat.
Kembali Danica melihat kaki itu bergerak. Kali ini lebih lemah. Hampir serupa dengan langkah kaki Danica, kaki Rahadyan seperti dipaksa bergeser. Terus bergeser ke tepi tempat tidur. Sangat lambat, sampai akhirnya kaki itu menjuntai ke lantai.
"Ahhh...."
Terdengar erangan yang sangat lemah.
"Gas...."
Suara ayahnya menggetarkan perasaan Danica yang seketika tubuhnya kembali lagi kaku. Suara itu sangat lemah dan seperti seorang yang kepayahan.
"Gas...."
Kali ini, di panggilan kedua, ada helaan napas yang keras, dan disambung erangan lagi. Jelas sekali jika Rahadyan sedang kesusahan atau mungkin juga kesakitan.
Danica gamang. Tubuhnya, pikirannya, dan hatinya, tidak memiliki kesamaan ingin.
"Gas..., tolong...."
Kata tolong, mengabaikan semua yang berkecamuk di benak Danica. Gadis itu ketakutan dan melangkah cepat menuju kamar ayahnya. Sampai di ambang pintu, semuanya menjadi hentakan tersendiri.
Danica dan Rahadyan saling pandang dengan ekspresi masing-masing yang sulit dijabarkan.
"Ni...ni...nica...."
***