Dua pria dengan tingkat emosi yang berbeda, berdiri berhadap-hadapan, seperti posisi duel. Duel yang kurang seimbang karenna perbedaan fisik yang nyata. Gelegak perang, menjadi aura mengerikan bagi siapa saja yang melihat, yang untungnya tak ada yang melihat.
Agasta, berdiri santai, dengan kedua tangan terlipat di d**a, dan menatap Prasaja dengan tatapan datar saja. Posisinya berada di ambang pintu depan. Karena bagian dalam rumah dibuat sejengkal lebih tinggi dari pada teras, maka Agasta yang tinggi terlihat semakin tinggi melampaui Prasaja.
Agasta bersikap bak seorang penjaga pintu. Bergeming seici pun. Menghadang Prasaja.
Posisi Agasta terkesan sebagai si pemilik rumah yang sedang menghalangi orang asing masuk. Itu memuakkan bagi Prasaja yang terpaksa harus sedikit mendongak hanya agar bisa saling beradup mata dengan Agasta. Untuk menunjukkan pada pria di hadapannya bahwa ia punya power.
Namun tetap saja, ini posisi yang menjengkelkan karena Prasaja merasa rendah. Terlebih sikap Agasta begitu santai tanpa beban.
Prasaja marah dengan situasi ini. Ia tak mengenal pria dihadapannya itu dan Danica tidak memberitahukannya apa-apa. Lebih marah lagi, karena ia merasa jika pria tersebut akan menjadi pesaing kuatnya untuk mendapatkan Danica.
Prasaja tidak suka persaingan dan ini membuatnya kesal.
"Siapa Anda?" tanya Prasaja yang membuka percakapan terlebih dahulu dengan pertanyaan. Ia merasa tidak perlu memberi salam atau mengulurkan tangan sebagai adab perkenalan. Apalagi melihat pria di ambang pintu itu yang seperti seorang yang sombong.
"Anda sendiri siapa?" tanya balik Agasta dengan tetap santai. Ia tak peduli jika pun pria di hadapanya menunjukkan ketidaksukaannya.
"Lho, kan Anda tamu di sini, jadi harusnya saya yang tanya," ucap kesal Prasaja. Tanda-tanda kalau dirinya sedang diremehkan oleh lawannya.
"Yang namanya tamu itu, yang kedatangannya dari arah dalam keluar atau dari arah luar ke dalam?"
Kening Prasaja langsung berkerut. Tak menduga mendapat pertanyaan yang sangat menyindirnya. Jelas sekali jika tamu adalah siapa saja yang kemunculannya dari arah luar rumah dan dirinya dari arah luar, sedangkan pria tinggi itu muncul dari arah dalam.
"Kamu ini kurang ajar, ya. Jelas-jelas kamu yang tamu di sini. Minggir." Prasaja mendorong tubuh Agasta.
Dengan mudah Agasta terdorong ke samping. Wajar saja, karena Agasta memang tidak sedang menahan diri. Dibiarkannya lelaki itu masuk. Praduganya, lelaki tersebut adalah orang terdekat Danica. Jika perkiraannya salah dan meleset, tidak sulit juga bagi Agasta menyingkirkannya.
Saat Agasta melihat pria tak dikenalnya itu melangkah lebih ke dalam, Agasta bergegas menghampiri. Sebelum lelaki itu masuk ke ruang tengah, Agasta menarik lengannya. Mencegah Prasaja mendekati pintu gebyok yang menjadi pintu penghubung antara ruang depan dan ruang tengah.
"Apa?!" bentak Prasaja kesal karena dihalangi. Terlebih sekarang Prasaja berdiri tepat di depan pintu gebyok, pintu perbatasan antara ruang depan dan ruang tengah.
"Anda ini siapa? Kok, malah main selonong masuk begitu saja."
"Kamu itu yang harusnya memperkenalkan diri. Kamu itu siapa? Kok jadi sok-sokan menghalangi orang masuk. Keluarga bukan, apa bukan," sahut Prasaja semakin sewot.
Prasaja semakin tidak suka dengan posisinya yang beda tinggi dengan Agasta. Apalagi, meski sekarang tak ada undakan, semakin terlihat jelas jika Agasta lebih tinggi dari Prasaja. Prasaja tidak pendek dengan tinggi seratus tujuh puluh. Tetapi Agasta jauh lebih tinggi dengan tinggi tubuh seratus delapan puluh lebih.
"Saya tamu keluarga. Tapi karena saya ada di dalam rumah, dan saya tidak mengenal Anda, maka wajar harusnya saya bertanya Anda siapa? Dan lagi, saya sudah menjawab pertanyaan Anda," jawab santai Agasta dengan senyuman.
"Saya calon suami Danica," tegas Prasaja. Ada senyum terurai di wajah Prasaja saat melihat perubahan di raut wajah Agasta. Prasaja suka melihat wajah Agasta yang berubah. Ia seperti mendapat kemenangan.
"Jadi, saya mau masuk. Saya mau lihat Nica. Calon istri saya." Dengan sengaja Prasaja mempertegas ulang hubungannya dengan Danica.
"Kan masih calon. Dan lagi saya tetap tidak tahu siapa Anda. Kalau memang bertamu, tunggu di sana." Dengan kepalanya Agasta menunjuk kursi-kursi di ruang tamu.
"Kamu ini orang asing, jangan banyak lagak. Saya bisa jadiin ini perkara kalau saya sudah kesal," ancam Prasaja.
"Silahkan. Yang jelas, sebagai tamu keluarga, saya juga akan menjaga keluarga ini dari kemunculan orang asing yang tidak saya kenal."
"Br3ngsek kamu, ya! Udah gak punya tata krama, sok-sokan bergaya sebagai pelindung. Kamu nginap di sini sudah lapor RT atau RW, hah?"
"Belum."
"Berarti kamu bisa saya laporin warga dan diusir." Prasaja memandang Agasta dengan senyum sinis kemenangan.
Sayangnya, Agasta justru biasa saja. Lelaki itu memandangi Prasaja dengan senyum meremehkan. Wajar jika Agasta kemudian meremehkan Prasaja. Cara pria itu menghadapi masalah adalah cara anak kecil yang merengek karena tidak mendapatkan sesuatu. Bedanya, lelaki di hadapan Agasta menggunakan suara tinggi dan ancaman tidak penting.
"Silahkan."
Prasaja melongo. Hatinya makin meletup kesal. "Kamu nantangin?!"
Agasta hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Sebenarnya ia malas saja berhadapan dengan orang yang perilakunya seperti anak kecil. tetapi, dia tak mungkin juga minggir. Agasta tidak mengenali pria itu dan Agasta tak ingin orang tak dikenal masuk lebih dalam.
"Ngajak ribut, ya!"
"Saya gak ngajak ribut. Saya justru tanya baik-baik. Anda siapa?"
"Kan tadi saya sudah bilang saya adalah calon suami Danica!"
"Saya dengar dan ingat itu. Tapi kan saya tidak tahu nama Anda."
"Nama saya Prasaja!"
Agasta tersenyum lebar dan mengangguk-anggukan kepala. Dalam posisi ini, Prasaja sudah kalah. Agasta lebih dulu mampu mengungkap jati diri Prasaja sedangkan Prasaja belum dapat apa-apa perihal Agasta, terutama nama.
"Oke, Pras. Silahkan duduk di sana. Saya akan sampaikan sama tuan rumah kedatanganmu." Agasta mengulurkan tangannya mengarahkan lagi Prasaja ke kursi di ruang tamu.
Prasaj yang sudah tidak tahan, berniat mendorong Agasta. Tapi, dengan sigap Agasta menangkap tangan Prasaja dan memelintirnya ke belakang. Rasa sakit di bagian sendi tangan membuat Prasa berteriak kasar.
"Anjing! Lepaskan! Kurang ajar!"
"Anda yang kurang ajar. Sudah mau main fisik." Dengan kasar Agasta melepaskan Prasaja sembari sedikit mendorong punggung Prasaja.
Prasaja cepat berbalik dan berniat melakukan kekerasan sekali lagi tetapi kali ini dengan keseriusan. Ia melayangkan tinjunya, yang langsung ditangkis Agasta. Sekali lagi Prasa mencoba meninju, namun kali ini Agasta menangkap tangan Prasaja, memelintirnya lagi dan mendorong lagi.
Tubuh Prasaja terhuyung maju. Karena tidak seimbang, tubuhnya menabrak kendi hias.
Terdengar bunyi barang pecah yang nyaring.
"Hoeee! Apa-apaan ini!"
Dan kedua pria itu langsung menoleh ke arah asal suara dengan kespresi wajah yang berbeda.
***