Agasta masih tertawa geli saat memasuki ruang tengah. Ia suka membuat Danica emosi. Membuat gadis itu marah untuk hal-hal sepele, sepertinya akan menjadi hobi barunya yang menarik sembari merawat Rahadyan.
Ekspresi riang Agasta tiba-tiba berhenti berganti dengan ekspresi terkejut, saat ia melihat Mbok Min keluar dari kamar Rahadyan, sembari menunduk dan menangis tanpa suara. Mbok Min berdiri di belakang kursi roda Rahadyan, dengan tubuh ringkih Rahadyan yang sudah duduk di atasnya. Sudah dipastikan Mbok Minlah yang memindahkan Rahadyan dari tempat tidur ke kursi roda.
Agasta benar-benar terkejut dan bergegas menghampiri Mbok Min dan Rahadyan yang tersenyum lebar. Kekhawatiran dan kebingungan terpancar di wajah Agasta. Meski begitu, ia bersyukur karena sekang infus tidak dilepas atau terlepas.
"Gas...." Rahadyan mengulurkan salah satu tangannya dengan gemetaran.
Agasta segera memegang tangan kanan Rahadyan dengan tatapan paniknya terarah pada Mbok Min.
"Bapak kenapa? Apa dadanya sakit lagi?" tanya Agasta lembut dengan tubuh dibungkukkan mendekat wajah Rahadyan.
Rahadyan tidak menjawab selain tetap tersenyum dan meremas jemari tangan Agasta. Karena dipastikan tidak mendapat jawaban, lalu Agasta menegakkan tubuhnya dan bicara setengah berbisik pada Mbok Min, sembari mengusap lembut lengan gempal wanita tua itu.
Agasta yakin jika Rahadyan sedang tidak menjadi dirinya. Dan itu pasti membuat Mbok Min terkejut sekaligus kebingungan. Rasa sedih karena merasa dilupakan, pastilah yang membuat Mbok Min menangis.
"Sudah, Mbok. Jangan menangis." Agasta memohon dengan suara berbisik.
"Bapak ndak ingat saya, Mas," jawab Mbok Min berbisik juga. Suaranya bergetar karena tangis yang ditahan-tahan tak menjadi suara sedu sedan.
"Bapak Cuma kadang-kadang lupa, Mbok. Sudah, gak pa-pa. Ini kenapa Bapak diturunkan, Mbok?"
"Gak sudi saya cemburuin kamu dengan siapa pun, ya! Dasar buaya!" bentak Danica dengan suara nyaring. Langkah gegas Danica yang emosi, seketika berhenti. Sama seperti Agasta, ekpresi Danica terkejut bukan kepalang mendapati ayahnya sudah keluar dari kamar.
Wajah Rahadyan tak menunjukkan kesakitan. Menatap Danica dengan senyuman bersahaja.
"Istrimu, Gas?" tanya Rahadyan terbata-bata.
Pertanyaan lirih yang masih bisa di dengar Danica. Yang membuat wajah Danica seketika terasa hangat dan begitu juga wajah Agasta.
"Cantik, Gas. Kasih saya cucu."
Perlahaan Agasta menoleh dan menatap Danica. Ia bingung bagaimana menanggapinya.
"Tapi, masih cantik Danica. Kamu cocok dengan putri saya."
***
Tadinya Rahdyan ingin makan di meja makan. Ia yakin Manika; istrinya sudah menunggunya makan di meja makan. Tapi, tak lama berselang, napas Rahadyan kembali tidak beraturan. Efek hipotermia subuh tadi, belumlah benar-benar pulih. Paru-parunya yang sudah banyak berlubang, membuat saluran pernapasannya menjadi sedikit berat karena katup yang melambat.
Agasta terpaksa berbohong jika Manika akan lama memasak dan Rahdyan diminta menunggu di dalam kamar. Untungnya Rahadyan menurut. Ia mau menunggu di dalam kamar.
Di saat Agasta sedang bicara dan meyakinkan rahadyan untuk mau kembali ke kamar karena keadaannya yang belum stabil, Danica justru diam mematung di kursi makan. Menatap Rahdyan dengan perasaan yang kosong.
Ayahnya tidak ingat akan dirinya. Ayahnya tidak tahu jikalau gadis yang sedang dipandangi Rahadyan tadi, gadis yang diberi senyuman teduh, gadis yang ia kira istri Rahdyan, adalah putri Rahadyan yang sudah bertumbuh dewasa. Ingatan ayahnya di saat-saat Dementia menyerang, berhenti di saat Danica masihlah seorang bayi kecil, yang masih sempat dipeluknya. Pelukan yang tak bisa dirasakan dan diingat Danica, namun sangat bisa dirasakan dan membekas di Rahadyan.
Pernah di suatu masa, Danica berpikir bertemu dengan ayahnya adalah sesuatu yang akan lain dalam hidupnya. Seseorang yang akan datang, meminta maaf, memeluk, dan meleburkan semua sakit, lalu menjalani hari-hari normal bersama. Danica juga berpikir, bahwa saat ayahnya kembali, akan nostalgia yang mengalir, yang mana Danica bisa saja terlibat, tetapi tidak tahu apa-apa karena usia yang masih bayi.
Ternyata tidak.
Ayahnya pulang dengan kenangan masa lalu yang masih berjalan di sekeliling kehidupannya. Hidupnya berkahir di masa Manika hidup bersama Danica yang baru dilhairkan. Amarah yang menggumpal menjadi kebencian yang dipersiapkan, perlahan mengikis. Namun, di saat pengikisan, emosi Danica menjadi labil.
Dan saat Agasta berdiri di hadapan Danica dan bertanya, "Nica, kamu tidak apa-apa?"
Bendungan itu bobol juga. Danica memeluk pinggang Agasta dan menangis. Mbok Min, yang tadi ada di belakang Agasta dan akan ke belakang untuk menyiapkan makanan bagi Rahdyan, ikut menangis, Ia tak tega melihat anak embannya sedih.
"Bukan begini. Bukan begini seharusnya," ucap Danica di sela-sela deru tangisnya. "Harus tidak seperti ini."
Agasta membelai kepala Danica dengan kelembutan. Agasta diam saja, ia bergeming dan membisu. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi Danica bicara.
"Seharusnya saat datang.... Entah kemarin.... Entah saat Mama masih hidup.... Atau bahkan datang sekarang.... Papa tidak dalam keadaannya yang begini. Yang tidak ingat.... Bukan! Yang tidak tahu..., jika ini adalah saya.... Saya Nica.... Danica yang ditinggalkannya saat saya bahkan belum mengucapkan satu huruf pun.... Tidak begini, Gas. Tidak seperti ini!"
Danica menangis semakin jadi. Ia memeluk pinggang Agasta dengan semakin erat.
"Kenapa, Gas? Kenapa baru sekarang pulang? Kemarin, kemarin dan kemarin dulu, ngapain? Dan sekarang saya harus apa?"
Dan seterusnya, Danica bicara memuntahkan semua yang ia rasakan dan pikirkan. Keluhan-keluhannya akan pertemuan antara dirinya dan sang ayah yang tidak ia persiapkan sama sekali. Sampai akhirnya, Danica mengakui kalau dirinya tidak bisa menerima keadaan ayahnya yang kehilangan memori dan ada di rumahnya. Ia merasa tidak adil.
"Bawa Papa pulang ke rumah sakit, Gas." Danica melepaskan pelukannya. Ia mendongak, serius menatap Agasta yang mengernyit. Kini ganti Agasta yang terkejut.
"Maksudnya?" Agasta menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Danica. Ia memajukan kursi sekaligus memajukan tubuhnya agar bisa lebih dekat lagi dengan Danica.
"Bawa Papa kembali ke rumah sakit. Di sini bukan tempatnya."
Agasta melongo. Tak menduga jika Dnaica akan mengeluarkan keputrusan tersebut.
"Kenapa, Nica?"
"Kenapa? Apanya kenapa?" tanya balik Danica kesal. Tatapan Agasta sudah menyiratkan jika lelaki itu tidak terima. Danica merasa bahwa ini akan menjadi pembicaraan sengit. Danica terima pokoknya ayahnya keluar dari rumah ini.
"Kenapa kamu bicara begitu, Nica?" Agasta mencoba melembutkan nada bicaranya. Ia menahan diri agar tidak terjadi kemlut berkepanjangan.
"Apa ada yang salah? Papa sakit. Papa butuh perawatan. Papa butuh perhatian dari tenaga medis dua puluh empat jam nonstop. Jadi, apanya yang kenapa?"
"Kenapa kamu bicara seolah-olah, Bapak itu beban bagimu jika ada di rumah ini? Kamu sadar gak, sih. Beliau itu papamu. Beliau pulang ke rumahnya sendiri untuk kamu. Gak sepantasnya kamu begini."
"Lalu apa Papa pantas melakukan itu smeua ke saya?!"
***