"Ngapain kamu kemari? Kamu buntutin saya?" tanya Manika sengit, setelah membuka pintu. Dengan sengaja ia tak membuka pintu ru,ah lebar-lebar, agar pria gagah di depannya yang sedang menyengir kuda itu segera pergi. Petunjuk bagi pria itu kalau dirinya tak menerima tamu.
"Buntutin kamu? Hmmm...." Rahadyan melipat tangan kanan di perut dan menumpukan tangan kiri, untuk kemudian mengusap-usap dagu, layaknya seorang pemikir yang sedang memastikan jawaban.
"Sejujurnya, itu adalah niat awal saya saat pertama kali kita bertemu. Tapi, melihat mukamu yang judes, saya jadi gak berani buntutin kamu."
"Trus, ini kenapa di sini?"
"Takdir, mungkin. Atau memang jodoh." Rahadyan membungkuk agar kepalanya sejajar dengan kepala Manika. Ia menangkap manik mata Manika dan memberikan senyum jailnya untuk si gadis yang masih saja berwajah tak ramah.
"Huh. Gak sudi saya berjodoh denganmu." Manika segera memalingkan wajah. Rasa hangat saat mata Rahadyan menatap dirinya, membuat Manika gelisah. Ia tidak suka dengan perasan itu, tetapi tergoda juga untuk melirik Rahadyan lagi.
"Awas, Nona. Penolakan bisa jadi adalah doa yang terbalik."
"Idih. Amit-amit." Manika merapatkan mata dan mengetuk kusen pintu, ritual menolak hal-hal yang tak diinginkan.
Rahadyan pun tertawa terkekeh. Sikap Manika mengingatkan Rahadyan pada ibunya, pada pembantu barunya, Mbak Min, yang jika ingin menolak hal tidak baik atau tidak diinginkan, mereka akan merapatkan mata, menggeleng-gelengkan kepala, mengetuk-ngetukkan tangan pada apa pun, lalu berujar yang sama seperti Manika.
"Pergi kamu. Saya gak mau punya tamu seperti kamu ada di sini," usir Manika tanpa sungkan.
"Lho, memangnya saya kenapa?" Rahadyan sedikit bergeser, berdiri di depan jendela kaca yang lebar. Ia bisa melihat pantulan dirinya dengan jelas. Ia mematutkan diri, merapikan rambutnya yang cepak, merapikan kemejanya, dan terakhir merapikan celananya. Sebenarnya tidak ad ayang kusut, Rahadyan hanya pura-pura merapikan diri saja.
"Saya gak buruk rupa. Saya tampan dan saya rapi. Jadi, kenapa Nona tidak izinkan saya bertamu di sini?"
Mimik wajah Manika mengekspresikan rasa jijik. Tetapi, dalam hati sulit mengingkari jika Rahadyan tak hanya gagah, tetapi tampan.
"Karena saya gak suka sama kamu. Jadi saya gak mau terima kamu bertamu di sini."
"Tapi saya suka kamu."
Manika mendelik mendengar pernyataan spontan Rahdyan. Kembali wajahnya terasa hangat. Hatinya bergetar ngilu. Manika menjadi kaku, tidak tahu harus bagaimana bersikap atau menanggapi.
Beruntung bagi Manika, karena terdengar bunyi sepeda motor vespa, masuk ke perkarangan. Suara mesin motor yang berat, membuyarkan kehangatan manis yang baru tercipta.
"Oeee.... Rahadyan!" teriak seorang gadis manis dengan rambut terurai bebas, yang baru saja mematikan mesin motor Vespanya.
Gadis itu terlihat sangat riang saat menatap Rahadyan. Dia bergegas turun dari motornya dan tertawa senang, mendekati Rahadyan.
"Saya tadi ke pasar sebentar. Nih...." Si gadis menyodorkan bungkusan kresek kecil di depan wajah Rahadyan. "Tercium tidak aromanya?" tanya si gadis riang.
"Klepon manis Yu Tik," jawab Rahadyan cepat.
"Benar!" seru si gadis kesenangan karena Rahadyan bisa menebak. "Saya sengaja belikan untukmu."
Si gadis kemudian mulai menyadari situasinya. Ia menatap Manika dan Rahadyan bergantian.
"Kalian sudah kenalan?" tanya si gadis.
"Halah, Ajeng, Jeng..., bagaimana bisa berkenalan kalau wajahnya merengut begitu. Kan saya jadi merinding."
Gadis yang disapa Rahadyan dengan nama Ajeng, tertawa lebar sembari menepuk keras lengan Rahadyan.
"b******k kamu. Kamu anggap sepupu saya ini sama dengan demit." Ajeng masih tertawa geli dan berdiri di sebelah Manika yang masih mempertahankan raut wajahnya. "Ini sepupu saya, namanya Manika. Manika, kenalin ini Rahadyan, calon kapten kapal pesiar."
***
Danica memandangi foto gadis dengan senyum lebar itu. Baru Danica tahu ternyata Tante Ajeng bukan hanya sekedar sahabat, melainkan sepupu Manika. Jika sepupu, artinya, keduanya adalah saudara yang memiliki aliran darah keturunan yang sama.
Tapi..., kenapa Mama tidak pernah bilang kalau Tante Ajeng adalah sepupu?
Danica merebahkan tubuhnya sembari memegang foto Ajeng. Semakin di pandangi, Dnaica merasa kalau wanitda dalam foto, sedangn ingin menyapanya. Senyumnya adalah senyum yang menyenangkan untuk dinikmati.
"Apa kamu mengenal ibumu dengan baik?"
Ucapan Agasta kemnbali mengiang. Danica kemudian menyadari bahwa ia tidak benar-benar mengenali ibunya. Ada sisi lain ibunya yang tidak Danica pahami, satu di antaranya adalah status hubungan sang ibu dengan wanita bernama Ajeng.
Saat Danica larut dengan pikirannya yang penuh tanda tanya, sayup-sayuo ia mendengar keributan di ruang tengah. Danica mengernyit dan ia mencoba menajamkan indera pendengarannya. Terdengar suara Agasta yang lemah, seperti seorang yang sedang memohon.
Danica yang penasaran turun dari tempat tidur besinya. Mengendap-endap seperti seorang pencuri dan mulai menempelkan telinga ke daun pintu. Kali ini lebih jelas, ia mendengar ayahnya yang marah-marah.
Karena ia msaih belum bisa secara jelas mendengar kata per kata, Danica pelan-pelan membuka daun pintu. Tidak lebar, hanya sampai seluas mata kanannya.
"Saya mau jemput Manika. Kamu kok ngatur-ngatur saya," ucap garang Rahadyan. Meskipun terdengar galak, tetapi tetap ada kata-kata yang tersampaikan setengah terbata-bata.
"Ini sudah malam, Pak. Di luar dingin." Suara Agasta terdengar memelas. Seperti seseorang yang sedang berjuang untuk meyakini sesuatu, tetapi gagal berulang kali.
"Mau malam, mau subuh, mau siang, gak ada urusan sama kamu! Kamu ini lama-lama sok ngatur, ya. Pikirin itu sekolahmu. Jangan bikin ribut terus. Memalukan."
Danica langsung tahu jika ayahnya sudah lupa banyak hal. Yang Rahadyan ingat hanyalah kejadian yang ingin pria itu ingat saja. Tapi, Danica keheranan dengan cara bicara ayahnya. Itu seperti seorang ayah yang bicara dengan putranya. Rahadyan bahkan tahu bagaimana Agasta di sekolah hingga perlu memberikan sang dokter sebuah ultimatum untuk serius dengan pendidikannya.
"Iya, Pak. Maafkan saya. Tapi Bapak tidak bisa keluar. Ini sudah malam. Di tunggu di kamar saja, ya, Pak."
"Enggak. Saya mau jemput Manika sama Danica. Minggir." Rahadyan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan cara yang aneh. Sesekali ia memukulkannya pada Agasta.
Terlihat sekali jika Agasta kewalahan. Rahadyan terus saja ngomel dan tetap ingin menjemput Manika. Sedangkan Agasta masih mencoba menahan. Rahadyan yang tidak terima, terus memukul-mukul lengan Agasta atau mengayunkan tangan, seperti mengusir.
Lambat laun, suara rahadyan semakin tersendat-sendat. Napasnya juga seperti seorang yang baru saja selesai maraton. Tapi, tekatnya kuat dan tetap ingin menjemput istri dan putrinya.
"Manika..., manika harus dijemput, Gasta...." Suara Rahadyan semakin serak. Napasnya naik turun dengan cepat.
"Saya saja yang menjemput Ibu, ya, Pak. Bapak tunggu di dalam," tawar Agasta dengan nada yang mulai khawatir.
"Tidak..., Manika akan marah."
Agasta mengembuskan napas kelelahan. Ia membungkuk dengan lemah. Rahadyan terlalu keras kepala.
"Saya yang akan jemput Ibu Manika."
***