10. Sengaja Modus

1471 Kata
“Maaf, aku tidak bisa mampir.” Vei melotot pada Gama yang saat ini berada di atas motornya, di depan rumahnya. Gama mengantarnya sampai rumah. Melihat pelototan Vei justru membuat Gama terkekeh. “Kecuali jika kau memintaku mampir, sih. Aku akan sangat berterima kasih,” ucap Gama dengan penekanan di akhir kalimat. Vei membuang muka dan memilih segera masuk ke dalam rumah meski ia tahu, kalimat terakhir yang Gama ucapkan sengaja menyindirnya. Gama berdecak seraya menggeleng ringan. “Dasar,” gumamnya kemudian kembali memakai helm-nya lalu pergi dari sana. Di dalam rumah, Vei mengintip Gama dari jendela dan melihat Gama sudah pergi, ia pun bernafas lega. Namun, dirinya masih belum tenang memikirkan orang yang mengikutinya tadi. Tak ingin terus memikirkannya, Vei berjalan gontai ke kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia memijit kecil kepala dan teringat apa yang terjadi hari ini yakni dirinya membuka rahasianya pada Dena, dan lagi-lagi dirinya berhutang budi pada Gama. Vei menarik bantal digunakannya menutupi wajahnya. Setelah beberapa tahun dirinya hidup tenang meski tak bisa sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya, hari ini dirinya kembali merasa ketakutan dan entah hanya perasaannya saja atau memang kenyataan bahwa orang yang mengikutinya tadi adalah, dia. Tapi, kenapa? Untuk apa? Padahal dia sendiri yang memilih menghancurkan pernikahan mereka. Apakah itu tak cukup? Apakah pria itu ingin menghancurkannya kembali? Di sisi lain, Gama masih memikirkan siapa orang yang mengikuti Vei sebelumnya. Apakah Willy? Tapi, sepertinya tidak mungkin. Mungkinkah seseorang yang memiliki hubungan tidak baik dengan Vei? “Aku harus mencari tahu,” batin Gama. Dirinya tak akan membiarkan terjadi sesuatu pada Vei meski wanita itu terus saja menolaknya. Keesokan harinya, Vei tak bisa bangun dari ranjang. Dirinya tiba-tiba demam semalam, kepalanya begitu berat hingga ingin ke kamar mandi saja seakan tak mampu. Vei meraih ponselnya dan menghubungi Dena mengatakan bahwa dirinya tidak masuk kerja hari ini. “Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?” “Tidak apa-apa. Aku hanya demam. Tolong katakan pada Pak Willy, surat dokternya akan kubawa besok,” ucap Vei kemudian mematikan sambungan telepon. Dirinya tidak ingin memperbanyak pembicaraan dengan Dena merasakan kepalanya seakan mau pecah. Di sisi lain, Gama berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia ingin ke rumah Vei lebih dulu untuk memastikan dia baik-baik saja. Namun, belum jauh dari rumahnya, dirinya menemukan pemandangan mengerikan. Dua orang pria berusaha merampas tas wanita yang ia kenal. “Tolong! Tolong!” teriak wanita itu yang tak lain adalah Maudy, bos Gama di restoran tempatnya bekerja. Gama tak tinggal diam. Menghentikan motornya, ia menendang punggung salah seorang begal itu membuat tubuhnya membentur body mobil cukup keras. Melihat itu, rekan begal berambut plontos itu tak tinggal diam. Pria berambut gondrong itu berusaha menyerang Gama. Namun, Gama berhasil menghindari setiap serangan dan membalasnya dengan bogem mentah serta tendangan. Dua begal itu mengerang kesakitan. Merasa tak akan mampu melawan Gama, dua begal tersebut pun segera kabur lari menyelamatkan. Gama tak mengalihkan pandangan dari dua begal yang mulai tak terlihat. Meski jalanan itu sepi, ia tak mengira akan ada begal di sana terlebih saat waktu masih sangat pagi. Gama tersentak, terkejut saat Maudy tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Terima kasih, terima kasih,” ucap Maudy dengan membenamkan wajahnya pada punggung Gama. Tangannya pun memeluk Gama erat bagai tentakel gurita. “Mereka sudah pergi,” ucap Gama dan berusaha melepas pelukan Maudy. Maudy melepas pelukan. Namun, ia masih bersembunyi di balik punggung Gama seolah benar-benar ketakutan. “Anda baik-baik saja? Apa yang anda lakukan di sini?” tanya Gama. Tak lagi memunggungi Maudy, saat ini mereka telah berdiri berhadapan. Maudy mengangguk. “Aku baik-baik saja, terima kasih. Aku ingin pergi ke suatu tempat dan mengikuti maps. Tapi, entah bagaimana bisa sampai di tempat ini," jawab Maudy yang masih tampak ketakutan. Gama menghela nafas berat. “Dasar wanita,” batinnya. Dirinya sama sekali tak menaruh curiga pada Maudy berpikir Maudy sama seperti perempuan-perempuan lainnya saat mengikuti maps. “Anda mau ke mana? Aku akan antar jika tidak jauh dari sini,” tawar Gama. Sebenarnya ia ingin segera ke rumah Vei tapi, mungkin tidak ada salahnya menolong bosnya terlebih dahulu. “Apakah tidak merepotkan?” tanya Maudy dengan wajah tersipu. Gama menggaruk belakang kepala dan mengatakan, “Yah, sebenarnya aku sedang terburu-buru tapi–” “Tolong antar aku. Aku masih takut dengan kejadian tadi,” sela Maudy. “Ya, baik lah. Anda masih bisa menyetir? Aku akan mengikuti di belakang.” “Kita tidak sedang bekerja, jangan terlalu formal. Lagi pula, kita ini seumuran, kan,” ucap Maudy dengan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Gama merasa ada yang aneh. Saat bekerja Maudy seperti macan, tapi kenapa sekarang berubah 180 derajat? Apa karena dirinya telah menyelamatkannya? Tapi menurutnya, perubahan itu terlalu cepat. “Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan mobilku,” ucap Maudy kembali dengan mengarah pandangan pada ban mobilnya yang kempes. “dan aku juga tidak bawa ban serep,” lanjutnya seakan menegaskan, dirinya membutuhkan tumpangan. Gama tampak berpikir hingga akhirnya menawarkan tumpangan. “Jika tidak keberatan, mau kuantar pakai motor?” tawar Gama dengan menunjuk motornya menggunakan dagu. Maudy mengangguk setuju. Memang ini lah yang ia mau. Dirinya sampai sengaja menyewa begal palsu menciptakan skenario yang sempurna. Sekarang, dirinya tidak perlu malu dan ragu jika ingin bersikap manis pada Gama. Ia punya alasan bahkan bisa menggunakan alasan itu saat menyatakan perasaannya pada Gama nanti. Mengatakan jika ia jatuh cinta pada Gama karena telah menyelamatkannya dari begal. “Lalu, bagaimana dengan mobilmu?” tanya Gama. “Aku akan panggil bengkel.” Beberapa saat kemudian, Gama telah dalam perjalanan mengantar Maudy ke tempat tujuan. Lagi-lagi ia merasa aneh dengan wanita yang saat ini duduk di belakangnya dan memeluknya. Dalam hati dirinya bertanya-tanya, apakah Maudy terkena amnesia? “Ma– maaf, apa kau merasa tidak nyaman jika aku memelukmu seperti ini? Aku tidak pernah naik motor jadi aku takut jika jatuh,” ucap Maudy sebagai alasan. Padahal, dirinya hanya ingin mengambil kesempatan. “Bagaimana jika pegangan pada bahuku?” ucap Gama. Sebenarnya ia risih merasakan tekanan gundukan kenyal di punggungnya. Jika itu Vei, mungkin ia akan melakukan sebaliknya. Mendengar itu, perlahan Maudy melepas tangannya pada perut Gama dan berpegangan pada bahunya. “Ba– baik lah, seperti ini?” “Bisa lebih ke belakang sedikit?” jawab Gama. Karena meski Maudy berpegangan pada bahunya, wanita itu tetap menempel di punggungnya seperti siput. “Ba– baik lah. Kau yakin aku tidak akan jatuh, kan?” “Jadi, ke mana kita pergi?” Bukannya menjawab, Gama justru mengatakan demikian karena sejak tadi Maudy tak jelas mengatakan ke manakah tujuannya. “Ah, itu dia. Di sana,” ucap Maudy menunjuk sebuah ruko. Gama segera menepi dan berhenti di depan ruko yang lokasinya cukup jauh dari tempat Maudy dibegal. Dengan hati-hati Maudy pun turun dan mengucapkan terima kasih. “Sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkanku tadi,” ucapnya. Gama hanya mengangguk. “Kalau begitu aku pergi,” ucap Gama dan segera tancap gas berputar arah menuju rumah Vei. Maudy masih berdiri di tempat tanpa mengalihkan pandangan dari Gama hingga mulai tak terlihat sampai tiba-tiba ia melompat-lompat kegirangan karena berhasil menjalankan rencananya. Maudy menghirup jejak parfum Gama yang menempel di tubuhnya. Dihirupnya dalam-dalam seakan membuatnya mabuk kepayang. “Aaah … aku masih bisa mencium aroma tubuhnya. Harum, harum sekali ….” Maudy melenguh menghirup sisa aroma tubuh Gama. Gambar bentuk hati warna pink seolah bersinar dalam kedua iris matanya. Penyakit cinta buta sepertinya tengah hinggap di hatinya. Di sisi lain, Gama mengendarai motornya dengan kecepatan penuh hingga tak butuh waktu lama akhirnya ia sampai di rumah Vei. “Apa dia sudah pergi?” gumam Gama seraya turun dari motornya. Melirik jam tangannya, sepertinya dirinya memang sudah terlambat. Namun, ia merasa Vei masih di rumah. Gama mengintip dari jendela dan melihat motor Vei di dalam rumah. Itu artinya, Vei memang masih di rumah, belum berangkat. Di saat bersamaan, tiba-tiba pintu rumah Vei terbuka. “Apa aku kuat beli obat?” batin Vei. Dirinya berniat membeli obat ke apotek tak tahan dengan kepalanya yang sekaan mau pecah. Ia lupa meninggalkan obat pemberian Willy di laci meja kemarin. Andai saja ia membawanya pulang, ia tak perlu ke apotek dalam keadaan seperti ini. “Kau sakit?” Vei tersentak kaget. Kepalanya yang terlalu berat membuatnya tak menyadari Gama berdiri di luar di sisi pintu. “Apa yang kau lakukan di sini?!” Gama menghampiri Vei berdiri tepat di hadapannya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama. Wajah Vei tampak pucat dengan pandangan tampak sayu. Ia menempelkan punggung tangannya dan merasakan dahi Vei sangat panas. Vei menepis kasar tangan Gama dan melotot padanya. “Pergi dari sini!” Ia segera berbalik hendak mengeluarkan motor dari dalam rumah. Akan tetapi, dirinya terhuyung nyaris jatuh jika saja Gama tak menahan tubuhnya. “Jangan keras kepala. Kau tidak baik-baik saja.” Pandangan Vei mulai kabur, dirinya bahkan tak mendengar lagi apa yang Gama katakan hingga akhirnya ia pun jatuh pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN