Yasmin membuka jendela membiarkan udara pagi pedesaan yang masih terasa segar untuk masuk ke kamarnya yang kecil. Ia tersenyum dan duduk di sebuah kursi yang menghadap jendela. Ia mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit dari balik gaun sederhana yang diberikan Iis padanya. Kehamilannya memang sudah menginjak usia empat bulan. Itu artinya, terhitung sudah dua bulan Yasmin diusir oleh keluarganya dan hidup di tempat yang baru.
Jangan pikir Yasmin menjalankan semua ini tanpa merasa berat. Tentu saja Yasmin merasa ini sangat berat, dan bertanya-tanya kenapa semua ini bisa terjadi pada kehidupannya? Apa mungkin dirinya sudah membuat sebuah kesalahan hingga Tuhan menghukumnya dengan ini? Tapi setelah bertanya seperti itu, Yasmin pun sadar jika ini adalah takdirnya. Ia tidak berhak untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan untuknya.
Meskipun semuanya terasa begitu berat, Yasmin masih bersyukur karena Tuhan masih menunjukkan kasih sayangnya. Karena kejadian ini, akhirnya Yasmin menemukan keluarga baru yang mau menerima dirinya apa adanya. Yasmin kembali mengusap perutnya dengan sayang. Satu hal yang Yasmin dapatkan lainnya adalah, Yasmin mendapatkan calon anggota keluarga baru yang tengah tumbuh dengan tenang dalam rahimnya.
Yasmin memang tidak tahu, siapa ayah dari anak yang ia kandung. Yasmin juga tidak terpikir untuk mencarinya, karena ia rasa pria yang menghamilinya pastilah orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah menghamili Yasmin tanpa sepengetahuan Yasmin sendiri, ia malah meninggalkan Yasmin begitu saja. Terlepas dari semua itu, Yasmin telah menerima keberadaan janin ini. Yasmin tidak patut mengalamatkan kebenciannya padanya. Ia hanya makhluk yang dikirimkan tuhan sebagai karunia-Nya pada Yasmin.
Yasmin mendesah, apa salah Yasmin sampai dirinya harus menanggung semua ini? Setelah dipermalukan karena hal yang tidak pernah Yasmin rasa lakukan, Yasmin juga harus menanggung tanggung jawab sebagai calon orang tua dengan tiba-tiba. Yasmin menunduk dan membisikkan doa bagi janin yang berada dalam kandungannya. Walaupun terasa berat, Yasmin sudah belajar untuk menerima janin yang tak ia harapkan ini. Yasmin tahu, jika ia tak memiliki dosa apa pun, hingga dirinya harus menerima kebencian. Yasmin bersandar nyaman pada sandaran kursi.
Hari ini, Yasmin tidak memiliki pekerjaan. Ya, Yasmin mendapat libur khusus tiap minggunya untuk memeriksakan kondisi kandungannya. Yasmin benar-benar bersyukur karena Tuhan telah mempertemukannya dengan Iis dan Aan. Karena keduanyalah, Yasmin mendapatkan tempat berteduh yang berupa gubug sederhana di dekat kebun, tepat di belakang kediaman Iis dan Aan. Sebenarnya, rumah ini sebelumnya diperuntukan sebagai gudang.
Awalnya, Iis dan Aan mau Yasmin tinggal bersama keduanya di rumah utama. Keduanya tentu ingin merawat Yasmin apalagi dengan kondisi Yasmin yang tengah mengandung. Tentunya Yasmin memerlukan perhatian yang lebih. Tapi Yasmin tidak mau lebih membebani orang tua angkatnya itu. Alhasil, Yasmin meminta gudang di area belakang rumah Iis dan Aan, sebagai tempat tinggalnya. Tentunya, Yasmin tidak mendapatkan izin. Iis dan Aan tidak mungkin membiarkan putri dan calon cucu mereka tinggal di sebuah gubug bekas gudang.
Untungnya, Yasmin berhasil membujuk kedua orang tua angkatnya itu dengan baik. Karena merasa jika Yasmin tidak akan mau mengalah, maka kedua orang tuanya itu meminta beberapa orang untk membersihkan dan memperbaiki gudang tersebut agar layak diinggali oleh manusia. Setelah dibersihkan, gudang ini berubah menjadi rumah sederhana yang nyaman. Hanya ada dua ruangan dalam gubug ini. Ruangan yang lebih luas Yasmin gunakan sebagai kamar, dan satu ruangan lainnya ia gunakan sebagai ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Sedangkan tempat mandi terpisah berada di belakang gubug.
Yasmin juga tidak mau menumpang tinggal begitu saja, ia bekerja di kebun untuk mendapat uang untuk membayar sewa tiap bulan gudang tersebut. Yasmin juga harus mencari uang untuk kebutuhan kehamilannya. Tentu saja Iis dan Aan terus mencoba mengulurkan tangannya untuk membantu Yasmin. Keduanya bahkan menolak uang sewa gudang yang diberikan Yasmin. Selain itu, keduanya juga selalu mencoba untuk memberikan nutrisi terbaik untuk Yasmin. Seperti saat ini, Iis masuk ke kamar Yasmin tanpa permisi dengan sebuah nampan berisi sarapan untuk Yasmin.
“Sayang, ayo makan dulu,” ucap Iis sembari mendekat pada Yasmin yang masih duduk di dekat jendela.
Yasmin tersenyum lalu meraih notesnya dan menuliskan sesuatu. “Ambu tidak perlu seperti ini. Yasmin bisa masak sendiri. Kemarin Yasmin mendapat beberapa sayur dari kebun Ambu.”
Iis menggeleng dan meletakkan nampan di atas meja kecil yang menempel pada dinding, tepat di samping kasur yang digelar begitu saja di atas lantai. Iis melihat sekeliling kamar Yasmin dan mendesah. “Yasmin pindah ke rumah Ambu ya, tinggal bersama Ambu dan Abah,” ucap Iis sedih. Meskipun sudah memberikan izin pada Yasmin untu tinggal di sini, Iis masih merasa tidak rela melihat Yasmin tinggal di tempat yang menyedihkan seperti in.
“Tidak Ambu, Yasmin sudah nyaman di sini. Lagipula, ini juga rumah Ambu bukan?” tanya Yasmin melalui tulisannya.
Iis dengan gemas mencubit kedua pipi Yasmin yang berisi. “Setidaknya biarkan Ambu mengisi rumah ini. lihat, kamu bahkan tidak memiliki ranjang. Kasurmu saja sudah sangat tipis dan keras. Tiap malam, tidurmu pasti tidak nyenyak. Itu tidak baik untuk perkembangan janinmu.” Iis menatap kasur yang berada di kamar sempit Yasmin. Kasur itu selain berukuran kecil, kasur itu juga sudah kehilangan kenyamanannya untuk ditiduri. Itu sudah terlalu keras untuk disebut sebagai kasur.
“Ambu, ini sudah lebih dari cukup. Aku punya kamar, kasur, selimut, meja, kursi dan lemari.” Yasmin kembali mencoba meyakinkan ibu angkatnya ini. Tentu saja, Yasmin tidak ingin dirinya kembali membuat orang tua angkatnya ini menjadi repot dan mengeluarkan uang lagi hanya untuk memanjakannya.
Iis kembali mendesah. Sampai kapan pun, ia memang tak akan bisa menang melawan kekeras kepalaan Yasmin. “Ya sudah, tapi kamu tidak boleh menolak makanan yang telah Ambu bawa. Ayo makan,” ucap Iis sembari mengusap puncak kepala Yasmin dengan sayang.
Yasmin tidak bisa menolak dan memakan apa yang dibawakan oleh Iis. Untungnya, Yasmin tidak memiliki gangguan makan seperti ibu hamil yang lainnya. Bahkan Yasmin hampir tidak pernah merasakan mual selama ini. Yasmin bisa makan dan minum seperti biasanya. Hal yang berbeda mungkin dari porsi makannya yang sedikit lebih banyak dari biasanya. Ya, nafsu makan Yasmin memang sedikit bertambah dari biasanya. Jadi, hal itu sering memaksa Yasmin untuk makan lebih banyak.
Setelah meminum susunya, Yasmin berniat untuk mencuci piring dan gelas yang telah ia gunakan. Sayang, Iis yang memang masih berada di situ untuk memastikan Yasmin menghabiskan makananya, menahan kepergian Yasmin. “Sudah biar Ambu yang membereskannya nanti. Sekarang kita harus pergi memeriksa kondisi kandunganmu. Ambu dengar, ada dokter dan perawat dari kota yang baru tiba. Katanya ada beberapa dari mereka yang memang spesialis kandungan. Itu artinya, kita bisa memeriksa kondisi kandunganmu lebih akurat,” ucap Iis.
Selama ini, kondisi kehamilan Yasmin memang diperiksa seadanya oleh bidan tua yang bekerja di puskesmas. Karena tidak ada tenaga medis lain yang bisa dipercaya, akhirnya Yasmin harus rela diperiksa oleh bidan tersebut. Toh selama ini Yasmin sama sekali tidak mengalami gangguan apa pun mengenai kehamilannya. Baik Yasmin dan janinnya sama-sama sehat dan dalam kondisi yang baik.
Jadi, ketika Iis mendpaat kabar jika tenaga medis dari kota telah tiba di desa mereka, tentu saja Iis merasa antusias untuk membawa Yasmin segera memeriksakan kondisinya. Iis ingin Yasmin benar-benar diperiksa oleh orang yang berkompeten. Sebenarnya Iis dan Aan lebih dari mampu untuk bisa membawa Yasmin ke kota untuk memriksakan kondisi kandungannya ke kota, tapi kehamilan Yasmin yang masih rentan memaksa keduanya untuk mengurungkan niat mereka. Jadi, sebisa mungkin keduanya memercayakan kondisi Yasmin pada bidan tua. Tapi sekarang berbeda, mereka bisa memeriksakan kondisi Yasmin pada orang yang memang dapat dipercaya sertat berpengalaman.
Yasmin mengangguk. Ia mengikuti Iis yang melangkah ke luar rumah. Yasmin sendiri mengunci rumah sebelum benar-benar mengikuti Iis. Ternyata Aan sudah menunggu di depan rumah dengan sebuah delman yang akan membawa mereka menuju puskesmas, pusat medis satu-satunya di desa tersebut.
Yasmin naik delman yang selanjutnya dikemudikan sendiri oleh Aan. Sepanjang perjalanan, Iis berbincang dengan suaminya, sedangkan Yasmin sibuk mengamati jalanan. Yasmin sendiri bingung, kenapa dirinya bisa sampai ke desa yang sangat jauh dari sentuhan modernisasi ini. Di sini, hanya ada beberapa orang yang memiliki ponsel dan sinyal pun terkadang hilang. Hanya segelintir orang yang memiliki kendaraan bermotor, itu pun hanya digunakan untuk transportasi ke luar desa. Bahkan katanya, listrik baru saja masuk ke desa ini beberapa tahun ke belakang.
Beberapa saat kemudian delman yang dikendarai oleh Aan tiba di puskesmas. Aan membantu Yasmin untuk turun dari delman. “Hati-hati, perhatikan langkahmu!” Yasmin mengangguk saat Aan terus menuntunnya untuk menapakki jalan setapak yang cukup terjal menuju puskesmas.
Iis melangkah lebih dulu dan masuk ke puskesmas untuk bertemu dengan dokter. Begitu Yasmin tiba di puskesmas, ia disambut oleh dokter tampan bernetra cokelat madu. Dokter tersebut tersenyum ramah dan menyapa Yasmin dengan sopan. “Halo, saya dokter baru yang ditugaskan di sini. Perkenalkan saya Dokter Revin.”
***
Bina melempar kertas yang sejak tadi ia remas dengan kuat tepat pada wajah Agam. Kini keduanya memang tengah berada di ruang rektor yang tak lain adalah ruang kerja Agam. Kemarahan Bina bukan tanpa alasan, ia baru saja mendapatkan surat pernyataan DO. Tentu saja, Bina merasa sangat marah dengan surat tersebut. Ia tidak menahan diri untuk menyemburkan kemarahannya.
Awalnya, Agam bersikap tenang walaupun Bina berteriak bak kesetanan. Tapi begitu Bina membuat egonya terluka, Agam tidak bisa lagi bersikap tenang. Diam-diam Agam mengambil cangkir di atas mejanya lalu melemparkan cangkir tersebut tepat ke arah Bina. Tapi rupanya, Agam tidak benar-benar membidik Bina sebagai targetnya, karena cangkir tersebut tidak mengenai Bina, melainkan hampir mengenai sisi wajahnya. Setelah suara pecahan cangkir terdengar, Bina baru bisa bereaksi kembali.
Ia mengepalkan kedua tangannya dan menatap penuh kebencian pada Agam. “Dasar berengsek! Aku menyesal telah memercayaimu,” desis Bina tanpa segam mengumpat pada pria yang seharusnya ia hormati. Tentu saja, Agam memang patut dihormati mengingat posisinya sebagai seorang rektor di universitas tersebut.
Agam bersandar tenang pada kursinya dan berkata, “Aku tidak pernah memintamu menilaiku sebagai orang baik. Dan aku juga tidak pernah memintamu memercayaiku.” Agam tersenyum tipis seakan-akan tengah menertawakan kebodohan Bina.
“Dasar sialan! Lalu kenapa aku di DO? Aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun.” Bina benar-benar tidak mengerti kenapa dirinya tiba-tiba mendapatkan surat pemberitahuan jika dirinya telah dikeluarkan. Tentu saja Bina tidak mengerti, dirinya sama sekali tidak melakukan kesalahan yang bisa menyebabkan dirinya mendapatkan sangsi hingga dikeluarkan seperti ini.
“Hanya ingin,” jawab Agam singkat.
“Kurang ajar! Jangan pernah berpikir jika aku adalah orang yang mudah. Kau tidak mungkin menyingkirkanku dengan semudah ini. ingat, jika bukan karena bantuanku, kau tidak mungkin bisa mengusir Yasmin!”
Agam menatap aneh pada Bina. “Memangnya apa yang telah aku lakukan, aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan.”
Bina semakin geram mendengar penuturan Agam. “Kau turut serta dalam kejadian yang berkaitan dengan Yasmin.”
“Ah maksudmu yang itu.”
“Ya, aku mempunyai bukti jika kau turut andil dalam penjebakan Yasmin. Kau bahkan menyiapkan lelaki yang akan memerkosa Yasmin. Aku mempunyai bukti kuat tentang itu. Jadi, jangan macam-macam, atau kubuat hidupmu hancur,” ancam Bina sembari mencengkram sisi meja Agam.
Sedikit banyak, suasana hati Agam membaik karena sadar jika Bina masih belum mengetahui siapa orang yang telah menggauli Yasmin saat pesta di rumahnya. Untuk sekarang, Agam akan membiarkannya seperti ini. Ia akan memikirkan langkah selanjutnya. Agam menyatukan kedua tangannya di atas meja lalu menyangga dagunya dengan santai. “Kau sedang mengancamku?” tanya Agam.
“Bagus jika kau sadar. Aku memegang rahasia besarmu saat ini. Kau tidak boleh bertingkah, atau aku akan membuat hidupmu seperti di neraka,” ucap Bina seakan-akan berada di atas angin. Ya, Bina memang memegang bukti percakapannya dengan Agam yang meminta dirinya untuk membuat Yasmin tertahan di rumahnya ketika pesta ulang tahun Bina tempo hari.
Agam menyeringai. “Aku tidak menyangka akan mendapatkan ancaman seperti ini dari seorang wanita, terlebih wanita itu adalah dirimu. Ancaman yang menarik. Tapi perlukah aku ingatkan sesuatu? Kau mengancam untuk mengungkapkan semua yang terjadi? Memangnya apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku, tidak mengerti dengan apa yang kau katakan.”
“Jangan main-main. Jangan pula berpura-pura bodoh. Kau telah membuat jebakan hingga nama baik Yasmin hancur begitu saja hingga kau dengan mudah menendangnya dari kampus ini. Saat pesta ulang tahunku, kau secara khusus memintaku untuk membuat Yasmin tidak sadarkan diri dengan obat yang kau berikan. Kau juga memintaku untuk menyiapkan sebuah kamar yang jauh dari keramaian, dan tidak mungkin didekati oleh orang-orang. Karena itulah aku membawa Yasmin untuk tidur di paviliun.
“Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi karena paginya, semua masih seperti semula. Aku tidak melihat tanda-tanda aneh kecuali rasa sakit yang disebutkan oleh Yasmin. Aku menanti-nanti kelanjutan dari rencanamu, tapi hari berganti menjadi minggu kau juga belum menunjukkan kemajuan. Hingga akhirnya aku paham dengan rencanamu setelah kau memajang foto-foto itu di mading. Lalu, sekatang kau mau mengatakan jika kau tidak memiliki kaitan apa pun dengan masalah ini? Kau sedang mencoba membodohi siapa, hah?!”
Agam terkekeh. “Dongeng yang indah. Jika kau merasa tidak adil dengan tindakanku yang mengeluarkanmu dari kampusku, kau mungkin bisa melakukan ancamanmu itu. Cemarkan saja nama baikku. Tapi kau harus ingat, tidak akan ada yang percaya perkataanmu. Kemungkinan besar orang-orang malah akan berpikir jika kau memiliki masalah pada ini,” ucap Agam sembari mengetuk pelipisnya sendiri.
“Persetan! Aku memiliki bukti akurat yang memberatkanmu!” teriak Bina terasa cukup menusuk telinga Agam.
“Silakan saja tunjukkan bukti itu, sekaligus buktikan jika dirimu juga terkait dengan penjebakan ini. Aku tidak memiliki masalah jika hal itu terjadi, aku memiliki dukungan kuat yang bahkan tak akan pernah bisa kau bayangkan. Tapi jika hal itu terjadi, apa yang akan kau lakukan? Apa kau siap dengan sanksi yang akan kau terima dari masyarakat, terlebih sanksi yang akan kulakukan? Aku akan membuat hidupmu benar-benar hancur. Bahkan lebih hancur daripada kehidupan Yasmin saat ini,” ucap Agam tenang tapi sarat akan ancaman yang sangat kental.
Bina tak bisa menahan diri untuk bergetar ketakutan. Ia mundur beberapa langkah. Sepertinya Bina salah bekerja sama dengan Agam. Pria ini sama sekali bukan orang yang mudah. Bina tidak mampu untuk mengintimidasi atau mengaturnya. Agam tentu saja berada di posisinya yang tidak bisa Bina sentuh. Tanpa permisi Bina berbalik dan pergi begitu saja dengan ketakutan yang masih melekat erat padanya.
Saat tiba di ambang pintu, ia bertemu dengan Tio yang membawa sebuah nampan. Tio masuk dan meletakkan nampan di atas meja kerja Agam. “Ini nasi goreng kaki lima yang Tuan inginkan, sudah satu paket dengan acar, emping dan kerupuk udang.” Tio mengabsen satu persatu isi nampan yang ia bawa. Ini semua adalah pesanan yang diminta oleh Agam padanya.
Agam menelan ludah dan segera menyantap makanan tersebut dengan antusias. Tio sendiri tidak berkomentar dan menyediakan air minum untuk Agam. sebenarnya, Tio merasa agak aneh dengan keinginan Aga mini. Biasanya, Agam sama sekali tidak mau memakan makanan yang tidak jelas. Maksudnya, Agam biasanya hanya mau makan makanan dari restoran berbintang, buatan chef pribadi, atau buatan ibunya. Agam memang sangat rewel mengenai apa yang ia konsumsi, Agam bahkan sangat memperhatikan asupan kalori setiap harinya. Jika dipikirkan, tingkah Agam yang seperti itu bahkan melampaui tingkah perempuan.
Tio berkedip saat sadar tuannya selesai makan. Tio terlihat takjub karena semua makanan di atas piring sudah tandas. Ini juga terlihat aneh, karena Agam tidak pernah makan selahap ini. “Tio, cari resep acar ini. Lalu buatkan untukku,” ucap Agam tiba-tiba.
“Maaf?” tanya Tio spontan karena kurang paham dengan perintah tuannya. Ia bertanya untuk memastikan diri jika dirinya tidak salah mendengar perkataan tuannya itu.
“Aku memintamu untuk mencari resep acar ini. Aku ingin memakannya lagi, tapi aku ingin kau yang membuatnya. Jika kau tidak sanggup, kau akan mendapatkan hukumannya.”
Tio ternganga. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tuannya bertingkah sangat aneh hari ini? Bagaimana bisa Agam meminta hal seperti itu padanya? Apa mungkin, Tio melewatkan sesuatu yang penting?