4

2614 Kata
    Sepulang dari rumah Bina, Yasmin disambut oleh ceramah panjang dari Tini dan Heru. Keduanya tentu menceramahi Yasmin mengenai dirinya yang berakhir menginap di rumah orang lain. Yasmin memang dididik untuk jangan terbiasa menginap di rumah orang lain, walaupun mereka sudah sangat akrab. Meskipun Yasmin menginap di rumah Bina tanpa disengaja alias terpaksa karena kondisinya yang tidak bisa pulang karena sakit, Yasmin tetap mendapatkan ceramah.     Menurut orang tuanya, jika Yasmin merasa tidak sanggup untuk menghadiri sebuah acara, terutama saat Yasmin pergi denga orangn lain, Yasmin seharusnya tidak pergi saja. Yasmin tidak boleh membuat orang lain repot, apalagi yang direpotkan oleh Yasmin adalah keluarga dari atasan Heru. Untungnya, karena ada jadwal kuliah Yasmin, bisa melepaskan diri dadri ceramah berkelanjutan tersebut. Bina yang menunggu di depan rumah Yasmin, melambaikan tangan dan meminta Yasmin untuk segera masuk ke dalam mobil yang ia kendarai.     “Apa Om dan Tante marah?” tanya Bina ketika mobil yang ia kendarai sudah melaju di jalanan kota. Bina memang sudah memiliki mobil pribadi sejak masuk kuliah. Bahkan Bina tidak hanya memiliki satu, melainkan tiga mobil yang ketiganya adalah mobil mahal yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan orang-orang yang berada di atas.     Yasmin menggeleng. Ia tidak mungkin menjawab dengan tulisannya, karena kini Bina tengah berkendara bahaya untuknya membaca tulisan Yasmin. Jadi, Yasmin hanya menjawab dengan isyarat yang mudah dimengerti oleh Bina.     “Bagaimana kondisimu? Apa bagian itu masih terasa sakit?” tanya Bina penuh perhatian.     Yasmin terdiam untuk sesaat guna merasakan rasa sakit yang ditanyakan oleh Bina. Yasmin menggeleng karena rasa sakit itu tidak ada lagi. Ini semua berkat obat pereda nyeri yang sebelumnya Bina berikan padanya. Nanti, Yasmin harus mengucapkan terima kasih pada sahabatnya ini. Tapi nanti, sekarang percuma saja Yasmin mengungkapkan ucapan terima kasihnya yang kompleks menggunakan isyarat, karena Bina tidak akan mengerti. Bina hanya mengerti isyarat yang sederhana saja.     Merasa jika keterbatasan untuk berkomunikasi ada di antara mereka, Bina dan Yasmin pun memilih untuk diam dan mendengarkan lagu yang diputar di dalam mobilnya. Tak lama, mobil yang ia kendarai tiba di area kampus. Setelah terparkir rapi, Bina dan Yasmin turun dari mobil. Ternyata, Vero telah tiba lebih dahulu. Jadi, begitu melihat Bina dan Yasmin, ia segera berlari mendekat pada kedua temannya itu.     “Siang semuanya!” Seru Vero semangat.     Tapi ketika dirinya melihat wajah Yasmin yang pucat, Vero berubah menjadi cemas. “Apa yang terjadi dengan wajahmu? Kenapa sampai terlihat sepucat ini? Apa sakit yang kemarin berlajut? Kita ke dokter saja, ya?” Vero menangkup wajah Yasmin yang memang terlihat pucat, sangat pucat malahan. Jelas sekali terlihat betapa Vero peduli pada Yasmin.     Yasmin tersenyum manis. Ia menggeleng dan melepaskan tangan Vero sebelum memberikan isyarat tangan. “Aku hanya sedikit tidak enak badan. Ini akan sembuh dalam beberapa hari. Mungkin saja, besok aku bahkan sudah kembali sehat. Jangan terlalu cemas seperti itu.”     Vero mengerutkan keningnya lalu bertanya pada  Bina, “Apa tadi malam ada yang terjadi? Kenapa Yasmin bisa tiba-tiba tidak enak badan?”     “Kenapa bertanya seperti itu padaku? Kau mencurigaiku melakukan sesuatu pada Yasmin?” tanya balik Bina dengan nada tajam.     “Aku tidak mencurigaimu. Aku hanya bertanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa tadi malam Yasmin sakit lebih parah? Dan ada apa denganmu, kenapa kau terdengar tidak bersahabat seperti itu?” Nada bicara Vero meninggi, dan membuat Bina tersentak mundur.     Yasmin yang merasa hal ini tidak boleh dibiarkan lebih lama lagi, segera menahan tangan Vero. “Aku hanya sedikit pusing dan pegal-pegal. Itu semua tidak ada hubungannya dengan Bina atau pestanya. Kamu jangan bicara yang aneh-aneh, dan sekarang minta maaf pada Bina. Kamu meninggikan suaramu, dan itu tidak sopan.”     “Aku bukannya bertindak tidak sopan, aku hanya tidak suka dengan sikap Bina yang seperti itu. Ia selalu berpikiran negatif pada orang-orang termasuk pada kita yang notabenenya adalah temannya sendiri,” ucap Vero.     Bina yang melihat interaksi antara Yasmin dan Vero mengepalkan tangannya erat. “Teman? Aku tidak merasa menjadi teman kalian di sini. Karena yang terlihat berteman, hanya kalian berdua saja. Aku hanya orang lain, bukan? Maka teruslah bersikap seperti ini.” Bina berbalik setelah menumpahkan kekesalannya.     Yasmin terkejut saat mengetahui isi hati Bina. Ia berniat untuk mengejar sahabatnya itu, tapi Vero menahan tangan Yasmin dengan sigap. “Biarkan saja dulu. Dulu Bina juga sering bersikap seperti ini. amarahnya mudah meledak-ledak, jadi, biarkan dia sendiri untuk meredakan marahnya.”     Yasmin menggigit bibirnya cemas. Melihat hal itu, Vero kembali meyakinkan Yasmin. “Tidak perlu cemas, tak lama lagi Bina pasti kembali seperti semula.”     Yasmin pada akhirnya mengangguk dan melangkah bersama Vero. Kebetulan hari ini, Yasmin dan Vero memiliki kelas yang sama. Keduanya melalui hari seperti biasanya, seakan-akan melupakan kemarahan Bina tadi. Vero dengan terampil membuat pikiran Yasmin terallihkan dari masalah Bina. Tentu saja hal ini Vero lakukan, karena tidak ingin Yasmin sampai memikirkan masalah yang sebenarnya sama sekali tidak penting.     Kelas terakhir baru saja selesai, dan itu tepat pada jam tiga sore. Yasmin memiliki sebuah tugas yang harus ia kerjakan sekarang juga di perpustakaan, agar esok hari tugas bisa dikumpulkan tepat waktu. “Mau kutemani?” tanya Vero saat Yasmin bersiap menuju perpustakaan.     “Tidak perlu. Kamu juga harus mengurus mengenai magangmu, bukan? Jadi, kamu lebih baik pergi mengurusnya. Aku bisa mengerjakan tugasku sendiri.”     “Begitukah?” tanya Vero.     Yasmin mengangguk. “Ah, jika kamu ada waktu luang, lebih baik kamu berbicara dengan Bina. Aku masih khawatir tentangnya.”     Vero mengerutkan dahi tapi tak berkomentar jauh. Ia memilih mengalihkan pembicaraan. “Ya sudah, aku pergi dulu ya. Jika nanti pulang terlalu larut, hubungi aku. Aku pasti menjemputmu.”     Yasmin kembali mengangguk dan melambaikan tangannya pada Vero yang kini melangkah pergi. Yasmin sendiri segera beranjak menuju perpustakaan. Ternyata banyak juga mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas mereka di perpustakaan, entah mengerjakan tugas individu atau kelompok, mereka kebanyakan menggunakan satu meja bersama-sama.     Karena Yasmin merasa kurang nyaman jika harus bergabung dengan yang lain, jadi, ia memutuskan untuk menuju area dalam perpustakaan dan mengerjakan tugasnya di salah satu lorong. Dengan cara ini, Yasmin tidak perlu berjalan jauh untuk mengembalikan buku ke tempatnya. Sebelum memulai mengerjakan tugas, Yasmin lebih dulu mengirim pesan pada orang tuanya. Untuk mengabarkan jika dirinya akan pulang agak terlambat karena harus mengerjakan tugas lebih dulu di perpustakaan kampus.     Setelah mendapatkan balasan, tidak membutuhkan waktu lama kini Yasmin sudah larut dalam tugasnya. Sibuk dengan tugasnya itu, Yasmin bahkan tak menyadari jika seseorang kini tengah melangkah mendekatinya. Barulah ketika namanya dipanggil, Yasmin menyadari jika ada seseorang tengah berada di dekatnya.     Yasmin mendongak dan melihat seorang pria dengan kemeja dan celana bahan rapi yang tersenyum tipis padanya. Yasmin berdiri lalu menuliskan sesuatu pada notesnya. “Anda mencari saya?”     “Iya. Saya Tio, asisten Pak Agam. Kamu Yasmin, ‘kan?” tanya Tio.     Yasmin mengangguk. “Pak Agam mencarimu. Beliau memintamu untuk ke ruangannya sekarang juga.”     “Kalo boleh tahu, ada perlu apa Pak Agam mencari saya?” tanya Yasmin melalui tulisan pada notesnya.     “Saya tidak tahu. Beliau hanya berpesan seperti itu pada saya.”     Yasmin pada akhirnya mengangguk lalu membereskan buku pada tempatnya sebelum mengikuti Tio yang ternyata menunggu Yasmin di sana.  Baru Yasmin sadari jika langit sudah mulai menggelap. Untung saja, tugas Yasmin tinggal sedikit lagi jadi ia bisa menyelesaikan tugasnya di rumah selepas bertemu dengan rektornya. Yasmin penasaran, apa yang ingin dibicarakan oleh sang rektor dengannya?     Apa mungkin ada masalah yang pernah Yasmin lakukan tanpa sadar? Atau mungkin, ada masalah mengenai beasiswanya? Wajah Yasmin yang pucat semakin terlihat pucat. Jika benar ada masalah mengenai beasiswanya, atau bahkan beasiswanya terancam dicabut, itu berarti kabar buruk bagi Yasmin. Kuliah seperti ini sebenarnya adalah barang mewah bagi Yasmin.     Keluarga Yasmin bukan keluarga berada, ayahnya hanya karyawan biasa dan ibunya juga hanya seorang ibu rumah tangga. Selain untuk keperluan rumah tangga, uang gaji ayahnya hanya tersisa sedikit untu biaya sekolah. Untuk biaya sekolah Ratna saja, uang tersebut terasa kurang apalagi harus untuk membiayai Yasmin kuliah. Karena itulah, Yasmin sangat bergantung pada beasiswa yang diberikan oleh pemilik yayasan.     Untuk mempertahankan beasiswa tersebut, Yasmin selalu berusaha mendapatkan nilai yang baik dalam setiap kuis dan ujian. Yasmin juga selalu mengerjakan tugas dengan tepat waktu dan menadapatkan nilai yang sempurna. Karena jika sampai beasiswa dicabut, maka Yasmin benar-benar tidak akan bisa melanjutkan kuliahnya.     “Silakan, Bapak sudah menunggu di dalam. Saya hanya bisa mengantar sampai di sini.”     Yasmin menuliskan ucapan terima kasih sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan rektor. Begitu pintu besar di belakangnya tertutup, Yasmin segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan rektor. Untuk sesaat, Yasmin terkagum dengan interior dan desain ruangan yang ditempati Agam tersebut.     “Silakan duduk.”     Yasmin tersentak dan menoleh pada sumber suara. Ternyata Agam bangkit dari kursi kebesarannya. Ia lalu duduk di sofa dan mempersilakan Yasmin duduk di seberangnya. Yasmin menurut dan duduk di tempat yang disediakan. Ia mulai merasa gelisah saat Agam menyajikan teh untuknya dan dirinya sendiri.     “Aku memanggilmu kemari karena memiliki beberapa hal yang ingin kusampaikan pribadi padamu,” ucap Yasmin sembari menyesap teh hangatnya.     “Kalau boleh tau, apa yang ingin Bapak bicarakan dengan saya?” tulis Yasmin pada notesnya.     “Aku menawarkan untuk pindah universitas padamu,” jawab Agam langsung.     “Pindah? maksud Bapak?”     Agam mengerutkan keningnya, sekaan-akan tak nyaman dengan cara berkomunikasi Yasmin itu. tapi Agam dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melemparkan kata-kata tak sedap saat itu juga. “Aku ingin kau pindah dari kampusku ini. aku akan membantumu mendapatkan universitas yang cocok untukmu.”     “Tunggu, maksud saya kenapa Bapak mau memindahkan saya? Apa saya melakukan kesalahan?”     Agam meletakkan cangkir tehnya dan menatap Yasmin dengan tajam. “Sebenarnya aku tidak mau mengatakan hal ini, karena aku masih mau menjaga perasaanmu. Tapi sayangnya kau tidak mengerti niat baikku, maka baiklah akan kujawab. Aku tidak mau ada cela pada kampus yang kupimpin.  Cela yang kumaksud ini, tak lain adalah dirimu. Kau cacat, dan itu cela bagiku.”     Yasmin menampilkan ekspresi tak percaya. Sejak pertama, Yasmin sadar jika rektor muda yang ia hormati ini, sudah tak senang pada dirinya. Tapi Yasmin tidak pernah berpikir jika Agam bisa mengatakan hal kasar seperti. Kekasarannya bahkan melibihi perkataannya tempo hari. Yasmin menahan getaran tangannya lalu menuliskan pesan panjang pada notesnya.     “Pak, saya sadar jika memang benar saya tidak sempurna bahkan saya memiliki kekurangan yang tidak bisa diperbaiki. Tapi saya juga sadar jika saya memiliki ptensi yang bisa dikembangkan. Saya pasti bisa berkontribusi dalam membangun nama baik almamater. Tolong jangan keluarkan saya.”     Agam menajamkan tatapannya, cukup terganggu dengan keteguhan Yasmin yang sama sekali tidak menangis walau sudah mendengar perkataan kasar darinya. “Aku bukan mengeluarkan, tapi aku ingin memindahkanmu. Tolong perhatikan perbedaannya. Aku di sini mencoba bertindak bijak terhadapmu. Tenang saja, jika yayasan tidak lagi memberikan beasiswa, aku yang akan menggantikannya. Jadi, kau tidak perlu khawatir dengan biaya kuliah.”     Yasmin terdiam. Agam sudah menjawab keraguannya mengenai beasiswa dengan mudah dan membuatnya sedikit tenang. Tapi Yasmin masih merasa berat karena harus dipindahkan secara tiba-tiba seperti ini, apalagi Yasmin sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Mungkin saja, ego Yasmin memang tidak mau mengalah dengan pemikiran tak masuk akal Agam.     “Saya akan dipindahkan ke kampus mana?” tanya Yasmin melalui notesnya.     Agam menyeringai saat Yasmin menunjukkan ketertarikan dari tawarannya. “Aku sudah mempertimbangkan beberapa universitas. Aku akan membiarkanmu untuk memilih universitas mana yang akan kau pilih.” Agam lalu memberikan kertas-kertas berisi data dari kandidat universitas yang tadi Agam bicarakan.     Yasmin menerimanya dan membaca semuanya dengan cepar. Tapi dahi Yasmin mengerut saat sudah bisa menyimpulkan sesuatu. “Semua universitas ini berada di luar kota?”     “Ya. Aku pikir, untuk menghindari gosip yang mungkin beredar karena kau pindah pada universitas yang masih satu area dengan universitas ini, maka aku memutuskan untuk memindahkanmu pada universitas yang berada di luar kota.”     Yasmin kembali dibuat tidak percaya. Sebenarnya seberapa tidak sukanya Agam pada diriny hingga melakukan semua ini? sebenarnya Yasmin tidak masalah dengan semua tawaran ini, tapi Yasmin tidak bisa menerima pemindahan ini karena semua universitas yang ditawarkan oleh Agam berada di luar kota.     Alasannya selain karena harus memiliki biaya untuk akomodasi dan biaya hidup terpisah, Yasmin juga sudah bisa memastikan jika orang tuanya tidak akan mengizinkan usulan ini. Keluar sendiri saja Yasmin harus mendapatkan izin jauh-jauh hari, apalagi harus tinggal sendirian di luar kota. Yasmin juga tidak bisa membayangkan bagaimana nanti Yasmin mengatakan hal ini pada orang tuanya.     Tidak mungkin jika Yasmin mengatakan jika dirinya dipindahkan karena rektor mengatakan jika dirinya adalah cela bagi kampus. Yasmin sudah pastikan jika ayahnya akan marah dan memerintahkan Yasmin untuk menghentikan kuliahnya jika terus-terusan mendapatkan hinaan seperti itu. Bagi ayahnya, kehormatan keluarga berada di atas segalanya. Jadi ia tidak akan membiarkan orang lain menginjak-ingak harga dirinya dan keluarga.     “Maaf, Pak. Saya menolak penawaran ini.” Putus Yasmin pada askhirnya, Yasmin sudah memikirkannya berulang.     Perkataan Yasmin membuat netra Agam menggelap. “Kamu menolak niat baikku?”     “Bukan itu maksud saya. Setelah mendengar dan memikirkan mengenai penawaran Bapak, saya pikir pindah adalah pilihan yang buruk. Jadi, tolong biarkan saya berkuliah di sini. Saya akan berusaha untuk tidak menonjol dan mempermalukan nama Bapak serta almamater.”     Agam sama sekali tidak menjawab dan hanya menatap Yasmin dengan datar. Merasa jika taka da lagi yang perlu dibicarakan, Yasmin segera pamit undur diri meninggalkan Agam yang masih duduk santai pad sofanya. Saat itulah, Tio dan Joe masuk ke ruangan. Joe duduk di tempat yang sebelunya diduduki Yasmin.     “Wah gadis itu!” seru Joe dengan netra yang berbinar pada Agam. Sebelum masuk, Joe memang berpapasan dengan Yasmin.     Agam mengabaikannya dan memilih untuk berkata, “Tio, buatkan aku kopi hitam.” Tio membungkuk hormat dan segera membuatkan kopi untuk Agam dan Joe. Tio memang memiliki keterampilan lebih untuk membuat minuman yang nikmat. Karena itu, Agam selalu meminta Tio secar pribadi membuatkan minuman untuknya. Lidah Agam sudah terlalu terbiasa dengan minuman buatan Tio, jadi, Agam tidak terlalu suka memesan minuman pada orang lain.     “Kau mengabaikanku?” tanya Joe dengan setengah tidak percaya.     Agam kembali mengabaikan Joe dan membuat sahabatnya itu kesal bukan main. “Aku menyesal karena membantumu kemarin malam.”     “Kau hanya membantu hal sepele,” ucap Agam santai dan terkesan tidak peduli.     “Hal sepele kau bilang? Jika saja polisi tau apa yang telah aku lakukan, sudah dipastikan mereka akan menangkapku sekarang juga.”     “Itu kedengaran sangat menarik. Bagaimana kalau kau coba saja,” ucap Agam dengan nada yang memang menunjukan seakan-akan dirinya memang menantikan hal itu terjadi.     “Hei, kau serius!” Joe terlihat begitu kesal. Tentu saja Joe kesal karena Agam terkesan mempermainkannya.     Tio menyajikan kopi yang segera diminum oleh Agam dan Joe. Merasa sudah cukup tenang, Joe kembali bertanya, “Sekarang apa rencanamu?”     Agam tidak langsung menjawab dan memilih menyesap kopi hitamnya beberapa kali. “Karena niat baikku ditolak mentah-mentah, kau pikir apa yang akan aku lakukan?” tanya Agam balik dengan suara dingin. Siapa saja yang mendengar suara Agam ini, tentu saja tidak akan merasa baik-baik saja dan sudah dipastikan akan berbalik dan lari terbirit-b***t. Agam terlalu menakutkan untuk ukuran pemuda tampan.     Wajah Joe tiba-tiba berubah serius. “Jangan terlalu kejam, Agam. Karena mungkin saja, semua tindakan kejammu akan berbalik padamu,” ucap Joe. Tentu saja Joe takut jika Agam akan terkena karmanya sendiri. Dan Joe sendiri tahu karma biasanya lebih kejam daripada apa yang telah kita lakukan.     Agam sendiri tidak terlihat peduli. Ia tidak percaya mengenai karma. Agam memang meyakini jika di dunia ini ada Tuhan, tapi Agam beranggapan jika Tuhan selalu bersikap tidak adil. Maka Agam sendirilah yang akan mengatur hidupnya dan mengadili orang-orang yang telah mengganggu kenyamanan hidupnya. Rektor muda itu kemudian melirik pada meja kerjanya di mana sebuah amplop cokelat tergeletak di atas kertas-kertas yang berserakan di atas meja.     Sebuah seringai terukir tajam di wajahnya yang tampan. “Jika tidak mau pergi baik-baik, maka aku akan membuatnya pergi dengan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia lupakan.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN