Waktu makan siang telah dimulai, Kayla bersama karyawan lain sedang menuju kantin kantor untuk makan siang.
"Katanya ada orang dari investor yang akan menetap disini beberapa hari," ujar seorang karyawan yang duduk bersama Kayla dan yang lain.
"Iya,tadi aku juga baru dengar itu," balas yang lain.
"Kenapa bisa?" tanya Fanny.
"Ada yang harus mereka pastikan katanya, supaya mereka tidak salah menaruh investasi," jawab karyawan lain.
Kayla hanya mendengarkan mereka seperti tak berminat.
"Berapa orang yang datang?"
"Cuma satu."
"Kamu tau namanya?" tanya Fanny.
"La-Li--Liam kalau tida salah," seseorang membalas pertanyaan Fanny.
Dan disaat itu juga Kayla langsung berhenti bergerak. Dia meletakkan kembali sendok yang akan masuk ke mulutnya.
Liam? Orang dari investor? Akan menetap? Itu artinya... Liam akan lebih sering bertemu dengan Kayla kedepannya. Dan saat mengetahui itu, rasanya Kayla ingin menghilang saat itu juga.
Kayla benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang menghadapi Liam. Dengan sangat dipaksa dia menelan makanannya.
"Aku duluan ya," ujar Kayla setelah menghabiskan makanannya. Dia berpamitan untuk kembali ke meja kerjanya lebih dulu. Entah kenapa dia merasa harus cepat-cepat agar dia tak bertemu dengan orang yang ingin dia hindari, karena itu langkahnya dipercepat agar segera sampai ke meja kerjanya.
Tapi semuanya sia-sia, tepat saat belokan, seseorang baru saja keluar dari toilet dan menghalangi jalan Kayla.
Kayla berhenti dan mendongak melihat siapa yang ada dihadapannya. Liam, laki-laki itu yang baru saja keluar dari toilet. Dia menatap Kayla yang hanya berdiri beberapa langkah didepannya.
"Kay," gumam Liam tertahan.
Mereka saling pandang sampai Kayla yang memutuskan kontak mata itu lebih dulu. Dia kembali melangkah dan melewati Liam, tapi dengan secepat kilat juga Liam menahan pergelangan tangannya dan membuat langkah Kayla terhenti. Kayla hanya berdiam diri tanpa berbalik.
"Kayla," panggil Liam sekali lagi. Dia mencoba membalikkan tubuh Kayla agar menghadapnya.
"Lihat aku, Kay," pinta Liam saat Kayla hanya menunduk dihadapannya.
"Maaf, saya sibuk," ucap Kayla dan hendak berlalu pergi. Tapi, Liam kembali mencegat Kayla.
"Tunggu, Kay," cegah Liam lagi.
Kayla menutup matanya saat sudah berpaling dari Liam, dia menahan napasnya sebentar dan menghembuskannya perlahan. Dia lalu berbalik kembali menghadap Liam, dia bahkan berusaha menatap lekat mata Liam. Kali ini, dengan keberanian yang dia coba, Kayla mengatakan sesuatu.
"Maaf, tapi sekarang saya belum bisa bercara sama kamu," ucapnya jujur dan melepaskan cekalan Liam ditangannya. Kali ini dia melangkah menjauh, benar-benar pergi tanpa Liam halangi lagi. Dia hanya pergi setelah mengatakan itu dan tak berbalik lagi.
Liam menghela napasnya berat melihat punggung Kayla yang perlahan menjauh darinya.
"Maaf, Kay. Kesalahanku benar-benar membuat luka dalam bagimu," gumam Liam.
"Gapapa Liam, dia bilang ga bisa sekarang, itu artinya kamu masih punya kesempatan lagi lain kali," gumam Liam lagi pada dirinya sendiri.
Dia tak bisa mengatakan apapun lagi setelah itu. Liam berbalik dan pergi dari sana dengan perasaan yang masih belum berubah sejak pagi tadi.
Dia baru saja mengurus sesuatu, lalu sekarang dia akan keluar untuk sesuatu pekerjaan yang harus dia selesaikan. Seharusnya dia tadi berniat untuk makan siang terlebih dahulu sebelum pergi, tapi setelah kejadian tadi Liam kehilangan selera makannya.
***
Drtt drttt
Pobsel Juna berdering pertanda panggilan masuk. Dia yang sedang duduk karena baru selesai membuat minuman segera mengangkatnya. Nama Kayla tertera disana.
"Halo," ucap Juna.
"Halo Juna," suara Kayla terdengar.
"Iya Kay, kenapa?" tanya Juna karena baru kali ini Kayla menghubunginya lebih dulu.
"Em... Boleh minta tolong?" tanya Kayla diseberang sana terdengar ragu dan sangat pelan hingga Juna hampir tidak mendengarnya.
"Iya boleh dong Kay, tolong apa?"
"Boleh jemput aku sekarang di kantor?" tanya Kayla lagi tetap dengan suara pelan yang semakin membuat Juna terheran.
"I-iya bisa. Sekarang?" tanya Juna memastikan.
"Iya," ujar Kayla.
"Oke tunggu ya." Juna mematikan telefonnya. Ia melirik jam dinding, ternyata memang sudah waktunya pulang kantor. Tapi tumben sekali Kayla memintanya menjemput.
Juna mengedikkan bahunya mencoba tak peduli. Dia menghampiri Tyo yang baru saja kembali ke bar.
"Tyo, aku pinjam motor dulu ya," izin Juna.
"Mau kemana?" tanya Tyo.
"Jemput Kayla di kantornya," jawab Juna sekenanya.
"Kayla? Jemput?" tanya Tyo dengan senyum-senyum anehnya dan itu membuat Juna memutar bola matanya.
"Boleh ga?" tanya Juna menghentikan tingkah aneh Tyo.
"Boleh dong... Boleh banget, pake aja," ujar Tyo.
Juna lalu mengambil kunci motornya dan keluar dari sana tanpa menghiraukan Tyo lagi yang tingkahnya semakin tak Juna mengerti. Dia segera mengendarai motornya menuju kantor Kayla.
Beberapa menit sebelumnya, di tempat Kayla berada.
Kayla yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu akan bersiap untuk pulang. Dia membereskan barang-barangnya dan segera keluar dari kantor.
Kayla yang baru selangkah keluar dari kantor itu berhenti dikala seseorang juga berhenti didepannya.
"Kenapa?" tanyanya singkat saat menatap mata Liam.
Liam berdiri dihadapan Kayla tanpa ragu. "Sudah mau pulang?" tanyanya.
Kayla hanya mengangguk menjawabnya.
"Aku antar," ujar Liam sepihak. Kayla dengan secepat kilat kembali menatap Liam.
"Ga usah. Udah ada yang jemput," ucapnya menolak.
Liam mengeryit, "Siapa?" tanyanya.
"Kamu ga perlu tau," ujar Kayla dingin. Benar, tak seharusnya Liam tau.
"Yaudah, qku tungguin sampai penjemputmu datang," ucapnya dan berjalan kesebelah Kayla dan bersandar pada tembok.
Mendengar dan melihat itu membuat Kayla panik. Otaknya berputar mencari cara. Tiba-tiba satu nama terlintas dibenaknya begitu saja. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menelfon orang itu. Saat menelfonnya, dia menjauh beberapa langkah dari Liam. Tapi laki-laki itu tak melepaskan pandangannya pada Kayla barang sedetik pun.
"Halo," suara seseorang terdengar setelah menerima panggilan telefon Kayla.
"Halo Juna," ucap Kayla.
Orang itu adalah Juna. Setelah meminta bantuan Juna dan panggilan telefonnya berakhir, Kayla segera kembali ke tempat asalnya dan tetap menjaga jarak dari Liam. Dia hanya menatap kedepan berharap Juna segera datang meski dia tau Liam yang terus saja melihat kearahnya.
Selang beberapa lama Juna tiba didepan Kayla dengan motor pinjamannya. Dia membuka kaca helmnya agar Kayla bisa melihatnya. Secepat kilat Kayla berlari menghampiri Juna. Bahkan sebelum Juna memberika helmnya kepada Kayla, perempuan itu sudah mengambilnya lebih dulu dan segera duduk diboncengannya.
"Ayo," ucap Kayla sambil menepuk pundak Juna sekali.
Juna yang baru sampai dan disuguhi dengan tingkah aneh Kayla semakin kebingungan. Tapi mengalahkan kebingungannya, dia segera melajukan motornya meninggalkan kantor Kayla.
Tunggu, tadi Juna sempat melihat sesuatu yang tak janggal. Dia.melihat seseorang yang ia temui tadi pagi. Ia melihat laki-laki yang sepertinya Kayla hindari disana, tak jauh dari Kayla berdiri seolah dia sedang mengawasi Kayla.
Hal itu membuat Juna semakin bertanya-tanya, apa hubungannya dengan Kayla? Kenapa Kayla tampak menghindarinya? Kenapa mereka saling tak peduli tapi seperti saling mengenal? Entah Kayla yang tak peduli atau laki-laki itu, Juna tak tau.
Di sisi lain, Liam yang sedang mengawasi Kayla langsung kembali berdiri kala melihat sebuah motor berhenti didepan Kayla dengan seorang laki-laki yang mengendarainya. Postur tubuhnya seperri tak asing baginya. Saat laki-laki itu membuka kaca helmnya, Liam baru yakin siapa orang itu. Itu laki-laki yang sama seperti yang dia lihat tadi pagi.
Tanpa bisa menghentikan Kayla, dia hanya memandangi Kayla yang berlalu pergi menghampiri laki-laki bermotor iti dan segera pergi dari sana. Ia membiarka Kayla yang pergi begitu saja meninggalkannya tanpa sepatah katapun sebagai perpisahan.
Liam hanya bisa tersenyum kecut. Disaat seperti inilah dirinya terlihat mengenaskan. Tak ada yang bisa dia lakukan selain membiarkan semuanya terjadi. Tapi mungkin itu hukuman baginya, bagi seseorang yang tak tau arti menghargai, bagi seseorang yang hanya mampu meninggalkan. Mungkin itulah dirinya.
Kini pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan seiring berjalannya waktu. Bahkan setelah melihat laki-laki yang akhir-akhir ini terlihat dekat dengan Kayla, sebuah pertanyaan kembali muncul. Siapa dia? Siapa laki-laki itu?
Liam mengacak rambutnya, dia berbalik menuju parkiran dan mengambil mobilnya dan segera pergi dari kantor itu.
***
"Ke cafe aja ya, Juna," ucap Kayla di belakang Juna. Mereka masih dalam perjalanan saat Kayla meminta Juna untuk segera melajukan motornya dari sana tadi.
Juna mengangguk mengiyakan. Dia membawanya menuju cafe seperti yang dikatakan Kayla.
Kayla turun dari motor saat sampai, dia masuk ke dalam cafe lebih dulu. Juna masuk menyusul setelah memarkirkan motornya. Dia segera kembali ke bar baristanya dan berhadapan dengan kayla yang duduk sambil tertunduk.
"Aku buatkan cokelat panas ya," ucap Juna. Saat ia baru mau berbalik untuk membuatkan cokela panas, Kayla menghentikannya.
"Jangan, ga usah. Aku mau kopi saja," ujar Kayla yang membuat Juna terkejut. Bukan apa, ini pertama kalinya Kayla memesan menu lain selain cokelat panas di cafe ini.
"Kopi?" tanya Juna memastikan.
"Iya," jawab Kayla yakin.
Lalu Juna segera membuatkan secangkir kopi untuk Kayla. Dia meletakkan kopinya dihadapannya. Setelah itu, dia iku duduk dihadapan Kayla dan memerhatikan perempuan itu yang hanya terdiam menatap secangkir kopi pesanannya.
"Kenapa, Kay?" tanya Juna yang sudah tak tahan dengan keanehan-keanehan ini sepanjang hari.
Kayla mengangkat kepalanya, ia menatap Juna tanpa arti. Dia terdiam cukup lama karena bimbang antara ingin bercerita atau tidak.
"Hm?" tanya Juna lagi mengambil perhatian Kayla yang sempat kosong.
Kayla menghela napasnya pelan, dia menipiskan bibirnya sebelum berbicara.
"Kamu pasti sadar sama laki-laki yang aku temui sewaktu sampai dan pulang dari kantor tadi," ucap Kayla memulai.
Juna mengangguk, "Pasti ada sesuatu kan?"
"Iya," balas Kayla lalu kembali terdiam lama.
"Kenapa Kay? Susah ya mau cerita? Gapapa kalau belum bisa cerita," ujar Juna berusaha memahami kondisi Kayla.
"Bukan," ucap Kayla segera, "aku cuma takut orang lain malah terbebani karena ceritaku," jelas Kayla.
"Engga gitu, Kay. Kamu jangan selalu beranggapan seperti itu. Kalau memang aku bukan orang yang tepat untuk memberikan saran, tapi aku yakin setidaknya kamu tidak salah menjadikan aku sebagai pendengar yang baik," jelas Juna meyakinkan Kayla.
Kayla tersenyum tipis mendengarnya, "Kamu memang orang yang baik, Juna," ungkapnya dan dibalas senyuman juga oleh Juna.
Kayla mengambil nafas terlebih dahulu, "Jadi, laki-laki tadi adalah mantan kekasihku," Kayla mulai bercerita.
"Dia... dan aku menjalin hubungan cukup lama, tapi semuanya kandas karena..." Kayla berhenti sejenak untuk mengambil nafasnya kembali saat dirinya merasa tercekat ketika akan mengungkapkan sebuah kalimat yang menyayat hatinya.
"Karena dia memilih untuk menikahi wanita lain," lanjut Kayla dan kembali tertunduk menghindari tatapan Juna. Sebenarnya ia tak ingin terlihat lemah didepan orang lain, terlebih itu Juna.
Juna kini mengerti keadaan Kayla, kini dia paham dengan perasaan perempuan itu. Tapi entah kenapa, setelah Kayla mengutarakan itu, perasaan Juna menjadi aneh dan tak bisa ia gambarkan.
Mendengar kisah Kayla membuatnya teringat dengan kisahnya sendiri. Tapi ini bukan waktu untuk mengasihani kisahnya. Ini adalah waktu milik Kayla, dia mendengarkan keluh kesah Kayla dengan seksama.
"Kamu sendiri gimana?" tanya Juna.
"Gapapa kok," jawab Kayla dengan senyuman yang dipaksa dan tidak mengangkat kepalanya.
Juna tau itu bohong. Dia menyakiti dirinya dengan berbohong, Juna tau itu.
"Kay," panggil Juna. Kini Kayla berani mengangkat wajahnya. Juna dapat melihat mata Kayla yang sudah bergelinang airmata, dia bersusah payah menahannya agar tidak jatuh. Tapi usahanya gagal begitu saja ketuka mendengar Juna mengatakan satu kalimat.
"Kalau mau nangis... nangis saja, janga ditahan, Kay," ucap Juna yang meruntuhkan pertahana Kayla. Setetes airmatanya meluruh menyusuri pipinya, didetik berukutnya Kayla melipat kedua tangannya dan membenamkan wajahnya didalam sana. Ia menangis dalam diam, tapi bahunya bergetar. Dia berusaha menahan suara isakannya agar tak terdengar atau mengganggu orang lain.
Kini dirinya melemah, ia sudah tak peduli lagi menangis dihadapan siapa. Dia menumpahkan semuanya.
Tyo yang melihat itu memanggil Juna pelan.
"Kayla kenapa?" tanyanya tanpa suara.
"Gapapa," balas Juna tanpa suara juga dia mengangkat tangannya dan membentuk tanda 'oke' untuk Tyo.
Juna kembali melihat Kayla yang masih terus menangis dalam diam. Dengan keberanian yang dia miliki, Juna mengangkat tangannya dan meletakkannya diatas kepala Kayla. Perlahan, dia mengelusnya lembut berusaha menenangkan Kayla. Menyadari Kayla yang tak menolaknya, dia terus melakukannya.
Kayla sadar dengan tangan Juna yang berada diatas kepalanya, tapi dia membiarkannya.
Airmatanya baru berhenti beberapa menit kemudian. Dia kembali mengangkat wajahnya yang sembab. Saat melihat itu, Juna langsung mengambil beberapa lembar tisu untuk Kayla. Kayla mengusap wajahnya.
"Aku mau ke toilet dulu," izin Kayla dan diangguki Juna.
Kayla lalu pergi meninggalkan Juna menuju toilet. Dia hanya ingin mencuci wajahnya yang sembab karena menangis. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin toilet.
"Kamu ngapain sih, Kay?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ngapain nangisin laki-laki seperti itu? Seharusnya kamu sudah move on Kay, buka seperti ini," ujar Kayla yang sekarang merasa marah pada dirinya sendiri.
"Percuma, Kay... Percuma, ini ga akan ngebalikin semuanya," suaranya semakin mengecil, ia kembali tercekat dan airmatanya kembali luruh.
Tangannya langsung mengusap airmatanya yang jatuh dengan kasar. Dia segera membersihkan wajahnya dan keluar dari sana setelah menormalkan perasaannya.