Definisi Bahagia

2318 Kata
Tangan itu mengulurkan sesendok nasi. Mata Fasha memincing menatapnya. Tapi percuma mendelik, hatinya luluh seketika melihat senyuman tipis lelaki di depannya yang sedang berusaha membujuknya ini. Membujuk hatinya. Walau akhirnya ia kalah dengan membuka mulut kemudian mengunyah nasi itu. Pandu tersenyum semakin lebar. Ia jarang bersikap seperti ini pada Fasha. Karena Fasha tampak tangguh dan jarang manja. Meski terkadang, sifat itu kerap muncul tanpa Fasha sadari. Ia justru senang kalau Fasha lebih manja kepadanya. Karena nalurinya sebagai lelaki yang ingin selalu menjaga bukan? "Aku masih marah," tekannya biar pun nasi yang disodorkan Pandu sudah habis satu piring. Diam-diam Pandu menahan tawa. Oke ia tahu tapi baginya tetap lah lucu melihat tingkah Fasha seperti ini. Kadang gadis ini kekanakan. Kadang ia terlihat begitu dewasa. Walau Pandu lebih suka melihatnya yang dewasa. Karena apa? Pandu itu tipe lelaki yang sangat sibuk dan terlalu memprioritaskan pekerjaan. Jadi ia butuh pasangan yang harus pengertian dan dewasa. Fasha? Berhasil melakukan itu. Kalau tidak, mana mungkin hubungan mereka bisa bertahan selama ini? Pandu banyak dekat dengan perempuan sebelum dengan Fasha. Hanya saja, perempuan-perempuan itu mundur teratur karena tak tahan dengan keseriusannya pada pekerjaan. Urusan asmara itu bukan prioritas utama Pandu. Jadi sudah jelas kalau ada perempuan yang mendekati memang harus model Fasha begini. Karena Fasha toh gak beda jauh. Baginya pekerjaan itu prioritas utama. Lantas asmara? Sejak patah hati dan akhirnya bertemu Pandu lagi lah yang membuatnya sedikit berpikir serius untuk sebuah hubungan. Lalu kini? Pikirannya sudah lebih maju sedikit ketika kedua orangtuanya mulai mempertanyakan kelanjutan dari hubungan ini. Ia juga sama. Mempertanyakan akan ke mana hubungan ini dengan lelaki ini. Setelah dua tahun bersama, bukan kah sudah cukup waktu untuk saling mengenal? Walau ada banyak hal yang belum Fasha tahu. Aaah, mengingat itu hanya membuat hati Fasha sesak saja. Meski bukan yang sesak-sesak amat. Fasha melirik Pandu yang tampak santai. Lelaki itu sudah berusia 34 tahun, kapan lagi lelaki di depannya ini akan menikah? Ia juga bertanya-tanya. Tapi ya ia juga tak mau meributkan hal-hal semacam ini karena bisa dibicarakan baik-baik kan? "Lusa aku akan berangkat ke Solo," tuturnya. Ia masih menatap Fasha. Menunggu reaksi gadis itu. Tapi Fasha hanya menyimak sembari fokus dengan laptopnya. Kalau lelaki lain yang berpacaran dengan gadis ini mungkin sudah marah kalau pacarnya lebih peduli pada laptop. Tapi Pandu tidak. Begitu pula dengan Fasha yang membiarkan saja kalau Pandu tenggelam dengan pekerjaannya disaat keduanya bersama. Baginya, itu cara mereka berhubungan. "Mau ikut?" tawarnya. Biasanya Fasha jarang mau menemaninya dinas ke luar kota. Kecuali jika Fasha juga punya pekerjaan di kota itu. "Pekerjaanku lebih penting," tukasnya dingin. Ini aksi balas dendam dan Pandu paham. Maka sekali lagi, ia hanya menahan senyum sambil menatap perempuan itu. Sangat-sangat lucu sekali perempuan ini dimatanya. "Oke," tutur Pandu. Ia mengalah. Lelaki itu memberesi sisa sarapan pagi mereka kemudian membersihkan meja Fasha. Ia menatap perempuan itu usai mencuci tangan di toilet yang ada di ruangan Fasha. Pandu menghela nafas. Ia harus segera berangkat ke gedung DPR sekarang. Pekerjaannya juga banyak. Ia juga sebetulnya tak bisa pergi terlalu lama. Tapidemi Fasha, ia rela meluangkan waktu. "Aku jemput kamu lusa nanti," tuturnya. Ia menunggu reaksi Fasha. Tapi gadis itu hanya diam. Jadi Pandu membuka pintu walau masih enggan melangkah. Sejujurnya, ia masih merindukan perempuan ini tapi ia perlu berangkat bekerja. Suara rakyat yang dititipkan di pundaknya sampai akhirat sana akan menjadi beban hidupnya. Ia hanya perlu memperjuangkan itu meski tidak mudah. Tahu sendiri politik itu seperti apa kan? "Bawa beberapa bajumu dan ikut lah denganku nanti, oke? Aku perlu mengenalkanmu pada ibuku," lanjutnya lantas berjalan pergi meninggalkan Fasha yang termangu mendengar kata-katanya barusan. Apa? Apa? Fasha mengerjab-erjab. Masih belum paham dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Pandu barusan. Saat Fasha menatap pintu, Pandu sudah menutup pintu itu. Jadi gadis itu segera beranjak hendak menyusul langkah lelaki itu. Ia segera beranjak, berjalan terburu-buru lalu membuka pintu itu lantas berlari menuju lift. Ia memencet tombol lift dengan panik. Tapi orang yang dikejarnya.... "Hei! Cari siapa?" goda Pandu yang ternyata ada di belakangnya. Tak jauh. Hanya dua meter. Sesungguhnya lelaki itu tak benar-benar pergi. Begitu menutup pintu ruangan Fasha, ia bersembunyi dibalik ruangan Agni. Hal yang membuat Agni menutup mulutnya kuat-kuat demi menahan tawa. Pandu mengedip ke arahnya agar diam saja. Sementara tak lama dari itu, pintu ruangan Fasha terbuka dan gadis itu benar-benar berlari menyusulnya. Sesuai perkiraan Pandu. Ia berhasil meluluhkan hati gadis itu untuk ke sekian kalinya. Dan tak butuh waktu lama untuk membuat Fasha melompat ke arahnya. Hal yang membuat Pandu tertawa dan dalam sekejab....wajah Fasha memerah karena tepukan riuh karyawan yang menatap keduanya. Hahahaaha. Dan kabar istimewa itu tentu saja tersebar ke seluruh penjuru kantor. Fadli geleng-geleng mendengarnya ketika akan makan siang. Regan datang hanya untuk menggoda kalau ia akhirnya akan segera mendapatkan menantu. "Sudah cocok lah itu, sudah terlalu lama mereka berdua. Kalo Asha itu Vanni dan cowoknya kayak Pandu, udah gue nikahin sejak lama." Fadli terkekeh. Ia juga sangat senang mendapatkan menantu seperti Pandu yang menurut ya dewasa dan sangat bertanggung jawab. Pandu mungkin akan membantu keluarganya jika telah resmi bergabung. Namun posisinya sebagai anggota DPR membuatnya tak bisa bergabung secara resmi. Akan ada banyak pergolakan. Ya namanya juga politik. Begitu lah dunia ini. Kejam memang. "Kalo gitu, cari lah yang kayak Pandu buat Vani." Regan menoyor kepalanya. Fadli terbahak. Keduanya baru hendak keluar dari ruangan. "Anak gue harus fokus sama kerjaannya." Fadli terkekeh. Ya namanya juga Regan posesif. Vania kan sudah di sini sejak dua tahun terakhir. Sudah jadi artis terkenal dan model. Ia meninggalkan Singapura setelah meraih sarjana kedokteran. Katanya tak mau menjadi dokter. Cukup sarjana saja yang kedokteran. Ia lebih memilih menjadi artis, meneruskan jejak ibunya dulu. Tak heran kalau namanya melejit karena pasti ada nama ibunya di belakangnya. Meski begitu, Vania tetap bekerja dengan sangat keras. Kalau dipikir-pikir, Fadli tak menyangka sebetulnya. Mereka susah mencapai usia di mana akhirnya telah tidak muda lagi namun jiwa muda tetap masih berkobar. Satu per satu telah menjadi kakek dan calon kakek. Lihat saja abangnya, Feri dan Fadlan. Lalu sahabatnya juga, Fahri. Memang tak ada yang tahu hidup ya? @@@ "Lo sehat?" Dina memeriksa keningnya. Fasha mendengus melihat aksinya itu. Perempuan itu terkekeh. Ya aneh saja karena Fasha tampak girang sampai mengajaknya berputar-putar. Biasanya yang gila itu Rain dan yang waras adalah Fasha. "Dilamar Bang Pandu?" Mata Dina sampai melotot saat menanyakan itu. Ya kan? Kalau Fasha sampai bahagia seperti ini berarti ada kemungkinan dilamar. Fasha malah menghela nafas mendengarnya. Tentu saja bukan itu. Meski ia juga berharap yang sama. Tapi pelan-pelan saja lah. Namanya juga hidup. Tak perlu terlalu memburu. Ia juga takut nantinya malah ditinggal Pandu kalau ia bersikap seperti itu. Dan lagi, menjadi perempuan itu harus elegan bukan? "Gak lah." Dina nyengir. "Terus apa?" Mereka hendak pergi hari ini. Biasa lah, jadwal cewek-cewek kumpul. Ia dan para sepupunya akan jalan-jalan bersama. Semoga tidak dipenuhi dengan ghibahan. Hahaha. Gak sih. Mereka jarang seperti itu. "Apanya yang apa?" "Ya kenapa lo girang banget?" "Pandu mau ngajak gue ketemu ibunya!" Dina melotot mendengarnya. Jelas senang lah. Artinya Pandu sudah serius dengan hubungan mereka. Fasha juga tak bisa berhenti mengembangkan senyumannya. Ini adalah hal yang sejak dulu sangat ia inginkan. "Akhirnya yaaaaaa!" Fasha terkekeh-kekeh. Ia memang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Setelah dipikir-pikir lagi, barangkali Pandu hanya menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini kepadanya. Ya kan? Ia meyakinkan dirinya sendiri. "Terus?" Fasha hanya terkekeh. Lebih baik mereka berangkat sekarang saja. Adiknya pasti sudah di mall. Gadis itu mungkin sibuk di studio. Karena untuk misi, saat ini sedang sepi. Para sepupunya sedang sibuk dengan pekerjaan kantor masing-masing. "Bagus lah kalau ada kemajuan. Tapi omong-omong, Bang Pandu gak pernah ngomongin keluarganya ya? Atau gue yang kelewat?" Fasha terdiam sesaat mendengar pertanyaan itu. Itu juga yang kerap membuatnya gelisah selama ini. Pandu tak pernah membicarakan hal itu. Fasha benar-benar buta untuk urusan keluarganya. Namun ia menyimpan hal itu setidaknya hingga tiba di Solo nanti. Ia tahu kalau Pandu orang Solo. Namun Pandu kan tak pernah menceritakan apapun. Aneh juga kalau dipikir-pikir. Sialnya, ia baru menyadarinya sekarang. Baru hendak menjawab pertanyaan Dina, eeeh perempuan itu malah mengangkat telepon. Sepertinya para sepupunya sudah sampai. Tidak ngaret-ngaret amat seperti biasanya. "Iyaaa, Kaak. Bawel amat. Orang udah di jalan," Dina mendumel. Ia menutup telepon dari Tiara. Farras juga berisik sekali di seberang sana karena sudah menunggu di sana. Dina geleng-geleng kepala. Ini adalah kebiasaan dari dulu hingga sekarang yang tidak pernah berubah. "Yang cowok-cowok pada ke mana sih?" Dina menaruh ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu berdeham. "Lagi pada sibuk sih. Adit juga di kantor. Ardan juga gak gangguin Adit." Fasha terkekeh. Ya sih. Sepertinya memang sedang sibuk sekali. Buktinya seharian di kantor tadi, ia tak diganggu sama sekali. Padahal Fasha yakin kalau rumornya dengan Pandu di kantor pasti sudah tersebar ke satu gedung. Kantornya memang begitu. Tak bisa melihat asmara orang yang sedang kasmaran sedikit saja. "Gue dengar-dengar dari Shabrina, dia sempet nyamperin elo?" "Ooh," Fasha mengangguk-angguk. "Gue kurang srek sih. Udah tahu kalo gue itu anaknya malas basa-basi. Beberapa minggu kemarin, dia deketin temen gue biar bisa ketemu sama gue." Dina mengangguk-angguk. Memang bukan hanya Fasha saja yang diganggu. Ia juga. Ia sih tak mempermasalahkan Farrel dengan siapapun. Tapi mungkin tak semua sepupunya nyaman dengan sikapnya. Dina memaklumi itu. Shabrina mungkin ingin sekali dekat dengan keluarga Farrel makanya ia seperti itu. Tapi kalau dari ceritanya Farras, Farrel tampaknya menyukai perempuan lain. "Farras gak setuju kan kalo dia sama Farrel?" Dina terkekeh. Betul sekali. Farras benar-benar tidak suka. Ya bukan membenci juga. Kalau rasa tidak suka itu menurut Dina adalah hal yang sangat wajar. Namanya juga manusia. Tidak semua orang bisa menyukai apa yang mungkin orang lain suka. Karena mereka pasti punya alasan tersendiri. "Dia terlalu ekstrim kalo deketin Farrel. Terus kalo ada media massa di mana pun dan ada Farrel, kesannya bener-bener manfaatin media untuk sensasi dia sama Farrel. Kayak pengen mengakui kalo ia memang ada sesuatu sama Farrel. Ya sama dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Farrel kan bukan tipe cowok yang akan repot-repot bikin pernyataan kalo dia gak ada hubungan apapun dengan Shabrina. Jadi diamnya itu memang terkesan mengiyakan. Dan Shabrina tuh kayaknya gak kapok sekalipun dicuekin Farrel." "Dia cerita sama lo?" "Cuma cerita sedikit kalo Farrel gak pernah balas pesannya. Farrel cuek. Ya begitu lah. Tahu sendiri Farrel kayak gimana." Fasha mengangguk-angguk. Ia juga kalau berada di posisi Farrel mungkin akan melakukan hal yang sama. Kalau tidak suka ya abaikan saja. Tidak usah dipedulikan. Nanti juga capek sendiri. Tapi sialnya, Shabrina tidak pernah lelah mengejarnya. "Anaknya baik tapi mungkin pakaiannya kadang kurang sopan. Ya lo tahu lah. Atas sama bawah kurang bahan." "Gue dong!" "Lo kan bawahnya aja." Fasha terkekeh. Ia juga risih kalau belahan dadanya kelihatan. Kalau bagian paha? Malah santai saja. Namun Fasha juga tetap mengira-ngira ia akan berpakaian seperti apa ketika bertemu seseorang. Tak mungkin dengan rok pendek kan? Kalaupun memakai itu, biasanya untuk pemotretan atau yaaah Kebutuhan profil lah. Kalau pekerjaan sih jarang sekali. Lebih sering celana. Kadang juga rok tapi rok setengah betis itu. Maksudnya rok yang berukuran tiga perempat. "Farras gak suka karena itu. Dia mikirnya kasihan abangnya lah. Setiap ketemu ngelihatnya itu mulu. Biar kata alim tapi Farrel kan cowok juga. Dikasih begituan kan ngeri juga." Fasha tertawa. Ada benarnya memang. Akan bahaya sekali kalau terus disodori hal itu. "Terus kan dia sempet ikut Miss Universe tuh. Sampe makek bikini segala ya kan? Di medsosnya juga banyak foto-foto begituan. Ya malu aja. Meskipun bukan gue yang makek, bukan Farras yang makek tapi adab di dalam keluarga besar kita gak ada yang kayak gitu. Sekalipun nutup auratnya gak sempurna. Opa bahkan sempat nanya sama Farrel soal Shabrina. Apalagi waktu bulan puasa kemarin. Ya Opa kaget kan? Tiba-tiba dia datang bawa Shabrina." Fasha mengangguk-angguk. Ia juga mendengar kalau Opa kaget karena Farrel mendadak membawa perempuan yang selama ini kerap digosipkan dengannya. "Opa khawatir aja. Opa juga mewanti-wanti. Kalau bisa mencari perempuan yang sudah menutup auratnya. Alasan Opa itu simpel, Opa mungkin merasa kalau Farrel gak cukup bisa membimbing perempuan kayak gitu. Dari pada bebanin akhiratnya lebih baik dilepas saja. Dicari yang sepadan dari segi pemahaman agama. Biar lebih mudah membimbingnya. Dan mendengar kata-kata itu, gue juga sadar kalau ternyata memang gak mudah untuk menikah itu." Fasha mengangguk-angguk. Ia setuju. Ada banyak kalimat yang membuatnya tersentil. Meski Dina tak bermaksud menyinggungnya karena apa yang mereka bahas benar-benar bukan tentang Fasha tapi tentang perempuan lain. Omong-omong soal bikini, Fasha bahkan tak pernah terpikir sedikit pun untuk memakai itu. Ya separahnya ia berpakaian, ia masih tahu diri lah. Apalagi kalau para sepupunya sampai melihat. Duuuh! Meski untuk persoalan menutup aurat, mereka juga bawel sebetulnya. Yaa kalau Kak Aya itu lebih ke arah mengomel kalau ia berpakaian sedikit terbuka. Kalau Dina menegur tapi sambil bercanda. Kalau Farras? "Astagfirullah, Kaaak!" ucapnya Lalau mengambil apapun yang bisa menutupi. Hal yang kadang membuat Fasha tertawa. Kalau Rain sih tak peduli. Karena gadis itu juga sama sablengnya. Tapi Rain tak pernah memakai rok pendek. Kalau celana yang pendek? Bah jangan ditanya. Kalau para sepupu lelakinya? Ardan hanya akan geleng-geleng kepala. Kalau Ferril justru bersiul. Tapi kalau menurutnya sudah agak keterlaluan, mata lelaki itu berubah menajam lalu memberikan jasnya. Itu Ferril. Keren ya? Kalau Farrel? Langsung memalingkan wajah ke arah manapun agar tak melihatnya. Hahaha. Ando? Hanya akan menunduk. Adit? Ya sama seperti Ardan. Tapi ada teguran yang terselip dibalik candaannya. Mengingatkan itu sudah pasti. "Shabrina itu anaknya baik ya gue akuilah. Mungkin kurang pemahaman agama ditambah pergaulannya kan kayak gitu. Kita mungkin pacaran tapi pacaran kita itu beda. Gak sampe pelukan, duduk dempetan atau sampe ciuman gitu. Bisa dijambak gue sama nyokap." Fasha tertawa mendengar itu. Ya memang sih. Gaya pacaran mereka memang masih sangat-sangat kuno kalau kata anak gaul sekarang. Tapi Dina justru bersyukur. Meski pernah tersesat dalam pacaran setidaknya ia tidak sampai melakukan hal-hal mengerikan seperti itu. Opa bisa jantungan juga kalau ada cucu-cucunya yang seperti itu. Bisa dibilang, mereka juga dididik oleh Opa mengenai hal ini. Tentang kehormatan perempuan yang juga harus dijaga. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN