Bian menjatuhkan badannya di depan pintu tepat setelah ia menutupnya. Merasa gagal melindungi keponakannya dari kumpulan orang-orang jahat yang sangat tidak tau malu. Ia mendongak saat putrinya berdiri tepat didepannya.
"Dia sudah ingat, Pa?"
"Sudah. Dia katanya sudah kehilangan kesuciannya dan bukan hanya satu orang saja yang melakukannya." jawabnya dengan suara pelan, Bian berdiri berjalan linglung menuju ruang tengah.
"Papa masih tidak ingin percaya ada orangtua yang membuang anaknya sendiri, membiarkan anaknya tersiksa tanpa perlindungan apapun. Banyak orang yang ingin mempunyai anak tapi mereka dengan gampangnya melepaskan tanggung jawabnya." Benfa mendekat, memeluk sosok yang selalu ia anggap pahlawan sejak dulu.
"Kita engga perlu memikirkan hal lain, yang perlu kita pikirkan hanyalah bagaimana menyembuhkan luka batin Herlena, apalagi sekarang dia sudah mengingat setiap detailnya. Aku yakin dia akan sembuh selama kita selalu ada disampingnya." ia mengangguk pelan, Benfa melepaskan pelukannya berniat memeriksa keadaan Herlena.
"Aku kedalam kamarnya dulu, mau periksa soalnya dia baru sadar. Papa istirahat lagi, nanti kalau ada apa-apa pasti bakal aku panggil."
Benfa menghela napasnya pelan, memperbaiki tatanan rambutnya juga bercermin melalui ponselnya apakah sudah keliatan normal atau belum. Setelah merasa pas, Benfa membuka pintu kamar menemukan sepupunya sedang rebahan.
"Herlena, aku mau periksa keadaan kamu sebentar." ujarnya, duduk dipinggir ranjang memandang punggung Herlena yang membelakanginya.
"Herlena, coba tangan kamu." pintanya, perempuan yang sedang rebahan itu menurut memberikan tangannya pada Benfa Setelah sebelumnya membalikkan badannya.
"Darah? Ini tangan kamu kenapa berdarah gini?" kagetnya, segera berlari keluar kamar mengambil kotak P3k yang ada di kamar sebelah, kembali kedalam dan mengobati luka ditangan Herlena.
"Tadi aku engga sengaja genggam pecahan kaca, cuman heran aja sakitnya malah engga terasa sama sekali. Rasa sakit akibat ingatanku yang kembali lebih besar dari luka itu." jawaban macam apa itu? Herlena bahkan tersenyum dengan mata berairnya.
"Tapi jangan sampai kayak gini juga dong, Her. Kami bukannya mau paksa kamu cepat bangkit tapi kamu juga harus sayang sama diri kamu sendiri. Aku tau kamu cukup terluka dengan kenyataan itu tapi engga gini juga," omelnya, Benfa memalingkan wajahnya kearah lain sebentar guna menahan airmatanya barulah kembali fokus memasang perban ditangan Qeila.
Tak ada suara dari keduanya, Benfa sibuk memeriksa keadaan Herlena sedang empunya sibuk berperang dengan pikirannya sendiri. Bukannya langsung keluar setelah pemeriksaannya selesai, Benfa malah tetap duduk dipinggir ranjang memperhatikan Herlena.
"Menurut kamu, kenapa kamu harus merasakan semua ini?" tanyanya memulai pembicaraan, Herlena sedikit menggeser tubuhnya jadinya Benfa bisa ikut berbaring disampingnya.
Seolah paham,perempuan berprofesi sebagai Dokter itu ikut berbaring menatap langit-langit kamar apartemen Herlena. Benfa memiringkan badannya, menatap wajah Herlena dari samping.
Benfa akui sepupunya ini sangat cantik, laki-laki mana yang tidak jatuh Cinta jika menemukan perempuan secantik ini. Andaikan Benfa seorang laki-laki mungkin dia akan mempunyai ambisi untuk memiliki Herlena, sangat cantik.
"Mata ini adalah mata Akbar kan?"
"Maksudnya?"
"Mata yang terdonor padaku, mata ini adalah mata Akbar kan? Laki-laki yang berjuang menyelamatkanku sampai akhirnya meninggal tepat setelah operasi pemindahannya selesai."
Pandangan Benfa beralih ke Langit-langit kamar kembali, mengerjapkan matanya beberapa kali mungkin tidak menyangka kini Herlena sudah mengingat semua hal yang dulunya dia alami. Ia tidak berniat menjawab karena sebenarnya ia tau, Herlena tidak butuh Jawaban hanya sekedar mengatakannya saja.
"Sejak dulu aku selalu berambisi mengingat setiap kenangan yang kuingat, berusaha menentang kakakku sendiri demi egoku. Tapi setelah mengingat semuanya rasanya aku menyesal, kenapa kenangannya harus semengerikan ini?" Herlena tersenyum, bingung harus bagaimana lagi.
"Bukankah kenangan memang selalu mengerikan?"
"Kurasa tidak, Benfa. Ada beberapa kenangan yang Indah."
Benfa memejamkan matanya, "engga Herlena. Bagaimanapun bentuknya kenangan memang mengerikan. Kenapa? Karena mereka hanya sebuah kilasan semu yang sayangnya tidak bisa kembali sama sekali. Kenangan hanyalah ilusi-ilusi yang pikiran kita ciptakan guna mengingat semuanya." jelasnya panjang lebar.
"Seolah menjelaskan pada kita kalau kita pernah ada di posisi seperti itu, kita pernah menangis sedemikian pilunya,kita pernah tertawa sangat bahagia, kita pernah merasa nyaman sama seseorang lalu kemudian membencinya. Bukan hidup kalau tidak punya kenangan apapun,"
Keduanya sama-sama tertawa entah dari mana lucunya. Herlena menangis setelahnya suara tangisnya begitu menggema membuat Benfa enggan menghadap kesana. Ia juga menangis dalam diam, hidup Herlena begitu memprihatinkan.
"Aku emang sepantasnya masih disana, seharusnya Akbar engga bawa aku pergi. Apa gunanya selamat kalau hanya untuk terbayang-bayang luka masa lalu?" ujarnya dengan suara serak.
"Kamu jangan membuat pengorbanan laki-laki itu tidak berguna, dia merelakan nyawanya demi kamu." balas Benfa ketus, suaranya juga terdengar serak karena menangis.
"Aku engga pernah minta dia menyelamatkanku." Benfa memukul lengan Herlena pelan, merasa kesal dengan jawabannya.
"Memang benar kan? Selama ini aku hanya dekat dengan Langit alias Lexion. Palingan kalau sama dia bahas tentang Langit juga. Mungkin karena aku terlalu cantik makanya dia begitu suka sama aku?"
"Menyedihkan." balas Benfa semenit kemudian, Herlena tertawa lagi diiringi airmatanya yang terjatuh disudut mata kiri.
Suara-suara orang yang menyumpahinya, memberinya banyak luka terus saja terdengar begitu nyata. Herlena bahkan sampai menutup telinganya sendiri, memuakkan dan menyakitkan membuat sudut hatinya makin terasa nyeri.
"Capek banget ya?"
"Banget. Bisa tolong bius aku aja?"
Benfa tertawa pelan lalu menggeleng, "kita engga selamanya bisa lari dari sana, Herlena. Palingan kita tidur sebentar setelahnya semuanya pasti akan ada lagi, yang perlu kamu lakukan hanyalah menerimanya dengan baik bukan menghindar." petuahnya, "dahlah, ayo tidur. Udah malam banget ini." lanjutnya, menarik selimut untuk menutup tubuhnya juga perempuan disampingnya.
"Aku belum ngantuk."
"Tidur, Herlena."
"Mataku belum mau tidur, kamu jangan paksa dong."
"Dahlah, ku mau tidur."
Benfa memunggungi Herlena, memejamkan matanya berusaha untuk tidur. Tapi baru saja kesadarannya perlahan akan menghilang tapi perkataan Herlena kembali membuatnya membuka pejaman matanya langsung menatap pintu yang terbuka lebar.
"Aku capek hidup."
Benfa menghela napasnya pelan, "kamu jangan pernah membuat pikiran semacam itu, jangan merendah dan membenarkan apa yang orang masa lalu itu katakan. Kamu harusnya tetap bangkit dan menunjukkan pada orang-orang kalau itu tidak benar sama sekali." bisiknya, tapi Benfa yakin Herlena masih mampu mendengarkan apa yang barusan ia katakan.
"Menurutmu begitu?"
"Ya, kamu di masa lalu tidak pernah sekalipun merasa minder. Coba kamu ulang ingatanmu sejak remaja, ataupun masih kanak-kanak. Kamu selalu bersyukur dengan semuanya, tidak pernah sekalipun merendah demi membuktikan apa yang orang lain katakan." Benfa menarik selimut, menutupi wajahnya.
"Tidur, Herlena." pintanya lagi, Herlena membalasnya dengan tawa kecil.
Tak lama kemudian Benfa benar-benar tertidur lelap meninggalkan Herlena sendirian entah kapan matanya ingin tertutup.
Herlena menyingkap selimut yang tadi Benfa pasangkan untuknya, memilih bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kamar tak lupa menutup pintu kamar dengan pelan takutnya Benfa akan terbangun kembali. Matanya menyelusuri sekitar, diruang tengah ada Bian yang fokus menonton berita.
Mata Herlena ikut menatap berita, tersenyum menatap wajahnya sendirilah yang berada disana. Tanpa bersuara, Herlena berjalan menuju dapur suara volume TV yang sangat besar menjadi pengiringnya.
Padahal ini sudah tengah malam tapi kenapa berita kemarin masih terlihat bahkan disiarkan sampai sekarang? Herlena masih tidak menyangka bisa menjadi sepenting ini.
Duduk disalah satu kursi meja makan, Herlena menuangkan segelas air dan meminumnya dalam beberapa teguk. Kini ia sudah kembali ke Bandung, tempat yang selalu ia rindukan setiap kali termenung di balkon kamarnya saat masih di Jakarta.
Bandung selalu identik dengan keindahan dan ketenangannya,maka dari Herlena sangat suka berada di kota ini. Meminum kembali airnya hingga habis, berjalan ke wastafel untuk mencuci wajahnya dengan tangan yang tidak di perban.
"Eh, kamu disini?"
"Bosan didalam kamar, Om. Benfa juga sudah tidur mungkin capek. Om kenapa belum tidur? Bukannya besok harus kerja ya? Dulu aku sering mendengar Tante Naesa marah-marah setiap kali Om tidurnya tengah malam."
Bian tersenyum, duduk menatap punggung Herlena yang terlihat sangat rapuh sekali. Ia selalu ingin membahagiakannya tapi selalu terhalang oleh kejadian yang datang bersamaan, apa salahnya seorang anak tak berdosa itu?
"Tante kamu memang suka ribet sendiri, kamu sudah baikan?" tanyanya hati-hati,
"Kalau aku bilangnya Baik-baik aja kesannya pasti bohong, munafik. Jadinya aku bilang engga baik-baik aja, semuanya terasa melelahkan sekali. Kukira tubuhku lah yang cepat lelah ternyata pikiranku, jiwaku bahkan hati." jujurnya, beralih memanaskan air berniat membuatkan kopi untuk Bian.
"Mau menenangkan diri ditempat lain?"
Herlena menggeleng, tanpa suara.
"Om bisa menempatkan kamu ditempat yang sunyi tapi nyaman, kalau kamu mau bisa pergi sekarang. Pengawal yang biasa menjagamu juga sudah didepan apartemenmu sekarang, hanya saja dia tidak ingin masuk sebelum kamu ijinkan."
Ia tidak menanggapinya lagi, memilih membawa secangkir kopi kedepan Bian. "Diminum, Om. Aku lupa soal kebiasan Om yang selalu minum kopi ketika sulit tidur. Aku kedepan dulu mau bicara sama Joe," tersenyum miris, barulah keluar menuju pintu depan.
Tangannya membuka pintu apartemen disambut Joe yang berdiri tegap membelakanginya. Ia tersenyum manis, berjalan beberapa langkah kedepan barulah Joe menyadari keberadaannya, penjaganya itu bahkan sampai membulatkan matanya.
"Nona, anda sudah sadar?"
"Harusnya kamu cuti aja dulu, menghabiskan waktumu dengan keluargamu. Lagian ini Bandung, aku mempunyai banyak orang yang bersedia melindungiku jadi kamu tidak perlu khawatir. Keluargamu pasti merasa kesepian tanpa kepala keluarganya," candanya tapi Joe malah berlutut didepannya.
"Maafkan atas keteledoran saya, Nona. Karena saya tidak begitu memperhatikan anda jadinya anda mengalami ini semua."
"Jangan begini, Joe. Aku memang terkadang nyebelin tapi kayaknya caramu meminta maaf terlalu berlebihan, kamu suka minum kopi? Aku bisa buatin. Harusnya kamu langsung masuk aja, kayak biasanya." tawarnya, "ayo berdiri, kedalam aja." Joe menurut.
Herlena masuk lebih dulu, "kamu tunggu aja didepan TV." pintanya, beralih masuk kedalam dapur ternyata masih ada Bian disana.
Tanpa mengatakan Apapun ataupun menyapa Bian, Herlena berlalu langsung membuatkan kopi untuk penjaganya. Bian memilih keluar dapur dengan membawa cangkir yang isinya tinggal setengah, duduk disamping Joe.
"Bos kamu apa kabar?"
"Lumayan tidak baik, sejak Nona dibawa pulang oleh Dokter Arfan beliau lebih banyak termenung berbeda saat ada Nona disampingnya. Dia selalu tertawa, banyak jahilnya. Dia masih berusaha menyelidiki kejadian kemari tapi itu benar-benar murni Nona sendirian disana tanpa disakiti siapapun."
Bian mengangguk-angguk kepalanya pertanda paham, "dugaan kamu apa?"
"Saya menduga ingatan Nona tiba-tiba datang makanya langsung pingsan. Tadi saja saat dia menyapa saya cara bicaranya sedikit berbeda, apa ada sesuatu hal yang terjadi?" dengan cepat Joe menjawab juga melayangkan pertanyaan.
Bian menyimpan cangkirnya diatas meja, "ingatannya sudah pulih, semua hal yang dia lupakan semuanya sudah kembali. Bahkan mungkin kejadian paling mengerikan yang dia alami sudah dia ingat. Kami memanggilnya dengan sebutan Herlena dan dia suka."
"Tapi, apa semuanya terkendali?"
"Tidak, keponakanku sedang berduka sekarang. Dia hanya berusaha baik-baik saja dihadapan semua orang padahal aslinya dia sangat rapuh."
Joe terdiam, matanya menatap berita yang menampilkan kumpulan petugas polisi sedang melakukan razia ditempat tertentu, suara-suara para tersangka tidak terdengar begitu jelas. Joe hanya merasa kasihan, perempuan sepintar Nonanya juga mempunyai luka yang sangat besar.
"Kulihat tangannya terluka," suara Joe lagi.
"Tangannya? Mungkin terkena pecahan kaca saat dia lepas kendali tadi. Respon Herlena malahan lebih ringan dari perkiraanku, aku kira dia akan menggila ternyata masih mampu mengendalikan kewarasannya." Bian kembali meneguk kopi buatan Herlena, aromanya sangat menenangkan pikiran.
"Tuan Lexion masih merasa bersalah sampai sekarang."
"Kenapa dia merasa bersalah?"
"Karena tidak bisa menjaga Nona dengan baik, tidak berada disisinya setiap saat. Berita tentang pesta peresmian hotel yang dibubarkan berhasil kami atasi, yang ditayangkan sejak kemarin hanyalah pernyataan Lexion tentang keduanya sudah bertunangan secara resmi."
Dari belakang, Herlena sudah berdiri disana dari lima menit yang lalu. Ditangannya terdapat secangkir kopi yang akan ia berikan pada Joe. Tapi kakinya berat maju saat mendengar Lexion alias Langit masih merasa bersalah hingga sekarang.
Sepanjang ingatannya, Lexion dan Akbar setiap kali bertemu selalu berdebat kecil demi mendapatkan perhatian darinya. Akbar selalu saja mencuri waktu dengannya setiap kali Langit keluar hutan menuju kota.
"Bagaimana respon Andatio soal kejadian ini?" Herlena enggan melangkah maju, masih membiarkan mereka membahas hal lainnya.
"Tuan Besar memaklumi, katanya benar-benar akan menyediakan liburan untuk calon menantunya suatu hari nanti. Beliau langsung memintaku kemari sesaat setelah tau Nona dibawa ke Bandung. Tuan Besar sangat menyayangi Nona sebagai anaknya sendiri."
Herlena memilih maju membuat Bian mengurungkan niatnya membuka suara saat melihat Herlena menyimpan secangkir kopi tepat didepan Joe, Herlena duduk disofa single menatap dua laki-laki dewasa secara bergantian.
"Kalian serasa menjadi ayahku padahal ayah kandungku mau mengakuiku pun tidak mau." perempuan itu tersenyum miris meninggalkan Joe dan Bian disana, terserah mereka ingin membahas apalagi.
Bian mengepalkan tangannya erat mengingat betapa jahatnya Detan pada anaknya sendiri. Bukannya membesarkan anaknya dengan baik, Detan malah membuang anaknya sendiri hanya dengan alasan tak masuk akal.
Sedang joe memandang punggung Herlena yang semakin menjauh, menatapnya dengan tatapan kasihan. Dia berjanji akan melindunginya meskipun nantinya Tuannya mengatakan berhenti. Herlena sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
Takdir memang suka bermain seperti ini.