31 - Hai Jakarta

2058 Kata
Aku baru membuka Mata lebih menit yang lalu, mencuci muka seadanya di dalam mobil ini. Kutatap wajahku yang keliatan pucat di kamera ponsel, aku lupa memakai make up tadi saking kesalnya pada Lexion. "Minum?" tawaran itu langsung kuterima, meminumnya dalam beberapa teguk. "Pelan-pelan Qei," aku hanya bergumam sebagai balasan, mengembalikan botol air yang tinggal setengah pada Lexion. "Aku pengen makan, laper." jujurku, baru jam 8 lewat berarti aku tertidur sekitaran tiga puluh menit. "Yaudah, kita mampir sebentar di salah satu restoran sekalian shalat juga. Mampir ya Pak," "Baik Tuan." Aku mengenal suara itu,"bukannya dia asistennya papa kamu? Kenapa malah ikut baraeng kita?" tanyaku. "Padahal Joe sudah memakai topi dan masker tapi kamu masih mengenalnya," Aku hanya mengibaskan tanganku enggan peduli, apa urusannya denganku? Lagian aku hanya bertanya bukan keberatan. Selagi aku aman, tetap tenang maka kubiarkan orang di sekelilingku melakukan apapun yang dia mau. Mobil berhenti begitupun dengan pengawal yang segera mengatur barisan. Aku masih duduk ditempat padahal pintu mobil sudah dibuka Lexion, "apa harus berlebihan begini? Padahal aku bukan ratu." heranku. "Ini demi keselamatan kamu,Qei. Ayo turun, Joe sudah mengosongkan restoran ini selama 30 menit kedepan." tanpa membantah, aku ikut turun masuk kedalam langsung menuju mushala kecil. Ambil wudhu dan mengerjakan shalat. Walaupun sikapku begini tapi aku tetap melaksanakan apa yang namanya kewajiban, setelah shalat aku menuju meja dimana diatas meja itu sudah dipenuhi berbagai macam menu makanan, padahal aku baru mau memesan tapi sudah seluar biasa ini. Aku mudah lapar, itu faktanya. Makan dalam diam, tanpa menunggu Lexion yang juga sedang shalat. Perutku sudah minta diisi, memakan apapun yang ada didepanku agar kembali bersemangat untuk bertemu sapa dengan kota Jakarta, penuh dengan keramaian itu. "Kenapa tidak menungguku?" tidak kujawab, ayo fokus makan saja Qeila. "Kamu masih mau menambah menu?" kubalas hanya dengan gelengan, mulutku sibuk mengunyah makanan. "Baiklah tuan Putri, selamat makan." Kami berdua makan dalam diam, hanya butuh waktu sekejap meja yang tadinya penuh dengan makanan kini tinggal sedikit. Aku tidak pernah takut gendut, mau berapa banyak pun bentuk tubuhku masih tetap seperti ini tidak ada yang berubah sama sekali. Urusan bayar membayar adalah urusan Lexion, aku memilih kembali masuk kedalam mobil menunggunya. Dimana kami sekarang? Entahlah,aku tidak tau kami sedang dimana ataukah masih di daerah Bandung? Entahlah. Tak lama kemudian Lexion menyusul, perjalanan bak Raja dan Ratu ini kembali dilanjutkan. Aku tak banyak bicara, hanya menjawab sesekali itupun jika muak mendengar pertanyaan Lexion yang tiada habisnya. Sampai Jakarta barat ternyata bukan memakan waktu 2 jam lebih tapi lebih dari itu. Bukan karena jalanan yang panjang tapi Lexion sesekali mampir ke pinggir jalan membelikanku cemilan itupun jika menemukan sesuai minatnya. Lexion dan para pengawalnya sebagian telah pergi, kini aku berada dirumah Benfa entah rumah keberapa. Sekarang sudah pukul 10 lewat, yang membukakan pintu untukku pun bukan Benfa melainkan pembantu katanya pemilik rumah sudah tidur. "Silahkan istirahat Nona." Setelah pembantu itu pergi, aku merebahkan badanku. Inginnya langsung tidur tapi aku perlu memberi kabar pada dokter tukang ganggu itu takutnya tidak bisa tidur karena terus memikirkan adiknya yang hampir dibunuh oleh ayahnya sendiri, kasihan sekali. "Kenapa baru telepon sekarang?" sambutnya tanpa salam sama sekali, karena merasa perbincangan ini akan sangat panjang maka kupilih keluar kamar menuju balkon, untungnya suasananya mirip dengan suasana kamarku. "Saya baru sampai Jakarta, lagian kan Lexion sudah menjelaskan semuanya," balasku setelah duduk di kursi yang terbuat dari rotan, terdapat bantal empuk. Tidur disini spertinya Bagus. "Qeila, kepala kamu tidak pernah sakit kan?" aku tertegun sejenak, suara Dokter Arfan terdengar frustasi. Apa dia begitu peduli padaku? "Hanya sempat shock tadi, semua orang pasti merasakan yang sama denganku andaikan di posisi itu. Dokter tenang saja, bukankah ada Dokter Benfa disisiku?" mataku memandang langit Jakarta, berbeda dengan langit Bandung yang menenangkan. "Pelakunya dia kan?" "Dia siapa?" tanyaku balik, pura-pura tidak tau. "Detan, pelakunya dia kan?" "Saya tidak tau dokter, mungkin bisa membahas ini dengan Lexion. Saya yakin dia akan menjelaskan bagaimana kronologisnya." "Baiklah, istirahatlah." Sambungan telepon terputus, bukannya beranjak masuk aku malah sibuk memandang langit Jakarta yang begitu terang berbeda dengan langit Bandung identik dengan awan gelapnya, padahal berada di negara yang sama tapi tetap saja rasanya berbeda. Bagaimana rasanya dibuang? Aku memejamkan mataku mencoba menyelami perasaan itu, tapi aku tidak merasakan apapun rasanya biasa saja. Apa karena ingatanku menghilang? Jadinya aku selalu bodoamat? Bagaimana rasanya dianggap meninggal oleh keluargamu sendiri? Benar tidak tau, aku sendiri bingung bagaimana menjawabnya. "Dingin, kenapa tidak masuk?" "Kakak preman? Hm aku masih ingin disini rasanya menyenangkan. Kakak preman tidak perlu takut aku terlambat bangun untuk memasak, aku akan bangun pagi sperti biasanya." Mataku yang tadinya terpejam tiba-tiba terbuka kembali, suara itu berbeda, panggilanku padanya juga berbeda. Kakak preman? Jadi itu berarti, aku pernah dekat dengan mereka selain kak Langit bukan? "Kenapa kamu tidak ikut Langit saja? Bukannya Bagus terbebas dari sini?" "Aku masih pengen disini, kakak preman sendiri kenapa masih disini? Aku pernah dengar kak Langit meminta kakak ikut dengannya tapi tidak mau. Kata anak-anak kakak itu baik, ganteng,pasti bisa dapat perempuan cantik juga," Siapa kakak preman ini? *** Rambut dikepang rapi adalah fashionku hari ini, memakai rok selutut ditemani baju cantik dengan warna senada. Aku masih sibuk memakai make up dicermin, ditemani suara Benfa yang sejak tadi bercerita di ranjangku tanpa kutanggapi sama sekali. "Kita akan ke lapangan hari ini, kenapa harus pake make-up sih?" tanganku menggantung sejenak lalu lanjut mengambil lipstik sebagai langkah terakhir. Deringan ponsel terdengar, bukan ponselku berarti ponselnya dokter kurang kerjaan di belakang sana. "Astaga, Arfan! Kau sudah meneleponku lima kali pagi ini, hahahah. Adikmu adalah sepupuku juga, mana mungkin aku membiarkannya sendiri. Jadi berhenti bersikap seperti ini, oke? Kami akan berangkat ke lokasi jadi akan kuhubungi nanti." wajah kesal Benfa sangat terlihat jelas di cermin, siapa yang tidak kesal jika ditelepon setiap lima menit sekali? Aku saja lelah mendengar dering ponselnya. "Kenapa dia mendadak menjadi seperti seorang ayah yang mengkhawatirkan Putri perawannya? Menyebalkan sekali." Aku tertawa kecil mendengarkan umpama yang Benfa katakan tapi benar juga. Dokter Arfan sudah hampir mirip dengan bapak-bapak mengkhawatirkan putrinya yang sedang keluar jauh darinya, perginya ke tempat bahaya. Aneh sekali, Kupasang anting yang tadi pagi Lexion kirimkan padaku, cantik. Sesuai dengan fashionku hari ini. "Aku serasa melihat Tante Ameera tapi ini versi mudanya," Senyum ku memudar mendengar nama itu, sejak kapan aku mempunyai kemiripan dengan perempuan setres itu? Kerjaannya hanya memamerkan harta dan menyakiti orang dibawahnya. Dan Benfa mengatakan aku mirip dengannya? Jangan sampai, aku membenci ungkapan itu. "Kita jalan," ajakku, berjalan lebih dulu tanpa menunggunya. Hari ini adalah peletakan Batu pertama di lahan tempat di bangunnya hotel itu. Aku sengaja memakai pakaian modis karena akan ada wartawan nantinya, aku akan berdiri disamping Lexion sebagai tunangannya. Sesampainya di luar, kuperiksa penampilanku sekali lagi. Kali ini aku memakai sepatu booth coklat berwarna senada dengan rokku sedang bajuku warna coklat muda. Rambut di Kepang rapi ditemani pita sebagai pengikatnya. Aku suka berpakaian seperti ini, cantik. Hai Qeila Purnamasari, kamu sangat cantik hari ini dengan fashion coklat kesukaanmu. Eye shadow yang kupakai pun berwarna coklat ditemani warna lipstik yang sedikit gelap, bukankah terlihat berani? Tidak lemah untuk dijatuhkan. "Kenapa meninggalkanku?" "Kamu lama." ujarku, masuk terlebih dahulu kedalam mobil menunggunya masuk. "Sekali-kali kamulah yang menyetir," gerutunya setelah duduk manis di balik kemudi, barulah membawa mobil mewahnya menuju tempat acara dilakukan. Tempatnya dekat dari tempat diadakannya acara, hanya beberapa kilometer saja. Sesampainya disana, mobil Benfa sudah terparkir rapi dengan mobil mewah lainnya, aku belum turun tapi memutuskan untuk mengamati orang-orang yang sudah duduk di bawah tenda. "Mencari siapa?" "Entahlah, tapi mataku mencoba mencari seseorang." "Mungkin tunanganmu, aku turun duluan nanti setelah sampai disana aku akan meminta Lexion kemari menjemputmu turun dari mobil." Aku hanya mengamati Benfa yang berjalan terburu-buru menuju tenda karena takut kepanasan, mataku memandang satu persatu orang. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri sampai Lexion muncul menghalangi penglihatanku dengan membawa payung di tangannya, kuturunkan kaca mobil. "Apa harus menggunakan payung?" sindirku, tapi aku tetap turun menerima uluran tangannya. "Aku tidak ingin wajah cantikmu terkena sinar matahari," gombalnya terasa memuakkan. "Pakaianmu tumben sopan, biasanya pasti ada yang nampak," Aku berhenti melangkah padahal kami baru berjalan beberapa langkah, aku menatapnya was-was. "Apa terkesan aneh?" bisikku padanya, "Tidak, cantik. Aku lebih suka kamu memakai pakaian seperti ini daripada rok ketat diatas paha lalu high heels entah berapa centi itu. Ayo, papa sudah menunggumu. Katanya dia ingin memintamu meletakkan batu pertamanya," Kami lanjut berjalan, "kenapa harus aku?" tanyaku bingung, aku tidak ingin terlibat dengan keluarga ini terlalu jauh. "Acara hari ini akan ditayangkan di televisi, aku juga akan memperkenalkan kamu pada semua rekan bisnis agar tidak ada yang berani menganggu, bukankah Detan akan semakin berang jika melihatmu makin berjaya?" Senyumku mengembang lalu mengangguk, kami berdua memasuki tenda dadakan yang mereka buat karena minimnya waktu yang diberikan, Lexion membawaku ke meja tempat papanya berada. "Wah! Cantik sekali," "Terimakasih," balasku, ikut duduk setelah Lexion menarikkan kursi untukku. "Lexi sudah memberitahukan tentang keinginanku kan? Kamu tidak menolak?" oh, langsung ke intinya ternyata. Aku kira akan basa basi dulu. "Bisa, akan saya berikan yang terbaik." Andatio tertawa jadinya aku ikut tersenyum, setelahnya acara dimulai dengan awalan menyebutkan semua perusahaan yang ikut menanam saham di project hotel mewah ini, Andatio adalah pemilik saham terbesarnya. "Untuk peletakan batu pertama, saya akan memberikan kesempatan itu pada calon menantu saya yang paling cantik ini." aku maju menyapa semua orang, melakukan apa yang Mc acara sebutkan. Suara tepuk tangan menggema, aku tersenyum menatap satu persatu tamu undangan yang datang. Senyumku sedikit berkurang menatap perempuan itu disini, perempuan yang katanya adalah ibu kandungku. Acara makan-makan tiba, semua orang sibuk di meja mereka masing-masing. Aku mengedarkan pandanganku mencari keberadaan Ameera entah kemana sekarang, aku yakin sekali dia tadi disini sendirian. Kemana suami penggila sempurnanya? "Aku pamit sebentar," ijinku, segera berdiri. "Bersama," aku ingin menolak tapi meja kami dengan meja yang lainnya saling berdekatan takutnya mereka menaruh curiga. Aku dan Lexion meninggalakan tenda, mataku terus mencari hingga menemukan Ameera sedang duduk di bawah pohon menduduki kursi santai yang bisa dibawa kemana-mana. Dengan semangat aku mendekatinya berdiri tepat didepannya, "kita bertemu lagi, Bu Ameera." sapaku riang. "Kamu pikir kamu bisa menandingiku? Hmm? Hanya karena Andatio menerimamu bukan berarti Jespara juga akan menerimamu. Apa untungnya bisa melihat dengan menggunakan mata orang lain?" Aku ditarik kebelakang, dirangkul erat oleh Lexion. "Hanya karena kamu mempunyai Benteng yang cukup kuat, Suamiku akan menyerah untuk menyingkirkanmu? Seperti itu? Kalian berdua salah, suamiku tidak takut akan ancaman. Baginya, sesuatu yang cacat harus segera musnah dari hadapannya," Aku ingin maju selangkah tapi rangkulan Lexion cukup erat membuat niatku terhenti, mataku masih menatapnya. "Saya bisa lebih dari anda, Ameera. Anda hanya bisa bergerak atas dasar keinginan Detan sedangkan saya? Saya bisa bergerak kemanapun saya pergi, bahkan saya dianggap Ratu sedangkan anda?" Ameera tiba-tiba berdiri dengan tatapan tajamnya, wajah tenangnya menghilang entah kemana. Lexion membawaku mundur, "jangan pernah menyentuh ratuku, Nyonya Jespara. Semenjak anda membuangnya maka saat itu anak yang anda anggap catat sudah tiada, yang ada disampingku adalah ratuku bukan patung anda." Aku tertawa kecil melambaikan tanganku padanya sebelum Lexion membawaku pergi dari hadapannya, tawaku terus terdengar sesekali aku menatap ke belakang menyapanya dengan tangan melambai. Dua kosong, aku menang lagi. "Calon isteriku ternyata pendendam." rasa senangku tergantikan dengan kekesalan, kulepaskan rangkulannya saat aku merasa tidak ada siapapun yang melihat kami. "Berhenti menyebutkan kata itu, saya tidak suka." kesalku, sedikit menjauhkan tubuhku denganya. Lexion tertawa malahan kini mengenggam tanganku, aku berusaha melepaskan genggamannya tapi dia malah semakin menguatkan genggamannya. "Lepaskan, berhenti tertawa." tawanya semakin membesar, "berhenti atau ku injak kakimu dengan sepatuku lagi? Sekarang aku memakai sepatu Bagus bukan?" dia berhenti tertawa tapi masih tersenyum. "Sebelum sibuk dengan pekerjaan, bagaimana kalau kita jalan-jalan?" "Tidak mau, kau saja sendiri. Aku ingin kembali ke tenda berbincang dengan ayahmu lebih berguna daripada denganmu yang terus menerus membual." kupasang wajah menyeramkan tapi Lexion tidak terpengaruh sama sekali. Dia malah menarik tanganku berjalan beriringan dipinggir jalan Raya, Tidak memperdulikan debu-debu yang beterbangan. Sejenak, aku hanya diam membiarkan suara kendaraan yang mengisi keheningan diantara kami. "Kamu tidak merasa aneh dengan pakaian mahal begini malah berjalan bagaikan gelandangan? Really?" dibalasnya dengan tawa kecil, kami terus berjalan entah akan kemana. "Kamu pernah meminta ini padaku, katanya ini hal sederhana yang membuatmu bahagia," Aku terdiam, tidak menyangka aku pernah meminta hal seperti itu. Bukankah ini terlalu kekanak-kanakan? "Kalau begitu, terimakasih kak Langit. Sampai sekarang aku masih mencari tau ataupun berusaha mengingat alasan mengapa aku berakhir koma." "Ya, cari taulah." Kami tak membuka perbincangan lagi hanya terus menerus berjalan mengabaikan tatapan aneh pengendara motor yang mengarah pada kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN