Arfan memeriksa kembali mobilnya, ah iya masih ada tas jinjing Qeila didalam sana. Dengan senyum mengembang, Arfan mengambil tas itu berniat ingin membawakan berkasnya pada adiknya.
"Saya akan keluar mengambilnya,"
"Orang pada dasarnya gagal maka selamanya tidak akan pernah bisa sempurna."
Arfan menghentikan langkahnya, tangannya terkepal erat. Ini adalah salah satu alasan mengapa ia tidak ingin adiknya menjalin kerjasama dengan orang itu.
"Jika anda menamai melupakan sesuatu adalah sebuah kegagalan maka anda sudah mengatai orang yang ada dunia ini. Dan saya yakin, melupakan sesuatu sudah anda alami juga."
Hentakan sepatu membuat Arfan sedikit memundurkan badannya dan tak lama kemudian matanya bertemu dengan mata Qeila.
"Oh kamu membawanya?" dengan wajah biasa saja seolah tidak terjadi apapun, Qeila mengambil tasnya mengucapkan terimakasih dan kembali masuk kedalam.
Arfan sangat ingin tau, apa yang ada pikiran adiknya, apa yang dia inginkan, apa impiannya, apa bayangannya tentang sebuah keluarga. Tapi sayangnya dia terasa sangat jauh, seolah tidak ingin diganggu sama sekali.
Adiknya selalu bersikap sebagai tamu dihidupnya padahal Arfan berusaha mendekatkan diri selama ini.
"Bisa kita bicara sebentar?" langkah Arfan terhenti, menatap seseorang yang barusan menyapanya dengan kalimat pertanyaan langsung.
"Mari ikut saya." merasa orang itu akan membicarakan hal penting, Arfan mengikutinya dari belakang lagian ia tidak begitu sibuk palingan ada pengecekan pasien sekitar jam 10 nanti. Masih ada sejam 30 menit.
Orang itu duduk terlebih dahulu disusul Arfan setelahnya. Ada keterdiaman selama beberapa menit hingga akhirnya orang itu membuka suaranya.
"Apa benar Herlena pernah koma?"
Arfan menegakkan duduknya, menatap laki-laki didepannya dengan wajah serius. Yang tau hal ini hanyalah ia dan Kena, dan yang tau nama asli adiknya hanyalah ia juga dan Kena, dan juga keluarganya.
"Apa itu benar?"
Ia melarikan matanya, memeriksa penampilan laki-laki didepannya. Jas rapi, sepatu yang terlihat mahal begitupun dengan jam tangannya.
Mana mungkin orang ini, "Langit?" tebaknya, Arfan tersenyum lebar melihat ekspresi itu ternyata benar. Orang ini adalah Langit, seseorang yang dulunya selalu menemani adiknya tetapi sayangnya Arfan membencinya. Bukannya menolong adiknya sewaktu disiksa malah membiarkannya.
"Salam kenal, ternyata kamu yang kemarin Qeila tanyakan."
Lexion, yang memang sejak tadi ada disini memperhatikan Qeila menunduk. Ia berada di ambang keraguan.
"Kami menemukannya dalam keadaan dimana tidak ada harapan, tapi karena dia adalah adikku, seseorang yang saya cari sejak dulu maka saya mengusahakan banyak cara agar dia bisa selamat walaupun harus menunggu lama."
Memainkan jemarinya, Arfan rasanya kembali mengingat bagaimana sulitnya ia meyakinkan jejeran temannya di klinik itu, mencarikan pendonor mata dan melakukan operasi dengan perasaan was-was mengingat yang mereka tempati hanyalah klinik kecil bukan rumah sakit besar.
"Dalam beberapa keadaan, Qeila selalu menanyakan padaku dimana dirimu, siapa kamu, apa yang terjadi dan pertanyaan-pertanyaan yang saya sendiri bingung bagaimana menjawabnya."
"Yang saya ingat, sebelum Qeila koma dia mengucapkan maaf padamu entah karena apa. Setelah beberapa hari, saya meminta beberapa orang menyelidiki apa yang terjadi ternyata dia disiksa, dibuang begitu saja dengan pakaian tidak menutupi tubuhnya dengan baik."
"Saya hanya berharap, ingatannya tidak pernah kembali karena jika sampai ingatan itu kembali maka psikisnya akan terganggu, apa yang berusaha ia bangun selama 2 tahun ini akan berakhir sia-sia."
Arfan menatap keluar, hujan turun dengan derasnya.
"Bagaimana anda tau kalau dia adalah adik anda?"
"Saat masih kuliah, saya menemukan selembar foto yang mama saya buang di halaman belakang. Dibelakang foto itu tertulis nama Herlena dan juga sebuah alamat, mulai dari sana saya yakin kalau adik saya sebenarnya masih hidup disuatu tempat."
"Dan dari sana juga, saya yakin. Sebenarnya mama saya masih mengawasinya dari jauh, melihat setiap tumbuh kembangnya hanya saja malam itu mama saya lupa membakarnya karena itu adalah malam ulang tahun mereka, tetapi yang publik tau malam itu hanya satu orang yang ulang tahun yaitu Herlina kebanggaan keluarga Jespara."
Tempat ini cukup nyaman juga, pantas saja Detan mengajak Qeila bertemu di sini membahas mengenai kerjasama mereka.
"Makanya saya memilih tempat itu untuk mencari keberadaannya, sulit tapi bisa menemukannya. Mu-"
"Tunggu sebentar, saya angkat telepon dulu."
Arfan mengamati seseorang yang tadinya ia panggil Langit, ternyata dia orangnya.
"Saya sedang buru-buru, terimakasih waktunya dan saya mohon jangan memberitahunya jika saya adalah Langit."
Padahal Arfan ingin memberitahunya bahwasanya mamanya yang bertanggung jawab atas pelaporan itu agar Langit bisa meyakinkan adiknya jika suatu hari nanti ingatannya kembali.
Merasa tidak ada lagi kepentingan, Arfan berniat kembali kerumah sakit.
"KAMU PIKIR KAMU SEMPURNA HAH?"
Arfan mematung, ia hapal suara itu.
"KARENA KAMU SUDAH SEBESAR INI JADINYA KAMU LUPA DIRI?"
Ia berjalan cepat menuju ruangan tempat adiknya berbincang, matanya membulat menatap adiknya yang kini terduduk di lantai.
"Perempuan gila sepertimu harusnya tidak banyak disanjung banyak orang. Kamu pikir dengan menjadi arsitek terkenal itu akan menutupi kecacatanmu? Kamu itu cacat, tidak pantas untuk sempurna."
Dalam pandangannya, Detan terlihat menatap Qeila dengan penuh kebencian menujukkan Qeila seolah adiknya itu adalah s****h tidak berguna.
"Maupun anda mengatai saya gagal seribu kali, cacat berjuta-juta kali. Bagi semua orang saya paling utama untuk mereka, saya menjadi buruan mereka untuk diajak bekerjasama."
Qeila terlihat berdiri, menatap menantang kearah Detan.
"Mereka selalu memuji saya sempurna, begitu cantik tanpa kekurangan sama sekali. Apa peduli saya ketika anda mengatakan saya kegagalan? Saya tidak pernah meminta anda berpendapat, saya hidup dengan cara saya sendiri."
"KAMU!!"
PLAK!
"DETAAN!"
Dengan wajah murka, Arfan menarik adiknya mundur. Mengambil kedua tas adiknya yang berukuran berbeda, membawanya keluar dari restoran. Andaikan ini bukan keramaian maka Arfan akan memukulnya, membalas tamparan yang Detan berikan pada Qeila.
Arfan hanya bisa meneriakinya murka, setelah memastikan adiknya duduk nyaman, Arfan duduk di balik kemudi membawa mobilnya pergi meninggalkan pekarangan restoran.
Napas Arfan masih memburu, semuanya terjadi terasa begitu cepat. Apa yang terjadi? Mengapa ayahnya sampai ditahap sperti tadi? Apa ada sesuatu yang membuat keduanya seperti tadi?
Tidak ingin membuat semuanya semakin runyam, Arfan mengemudikan mobilnya dalam diam sesekali menoleh sekilas pada Qeila yang menatap jalanan dengan pandangan kosong.
Arfan membelokkan mobilnya ke arah rumah adiknya bukan kerumahnya, takutnya jika dibawa kerumahnya Kena akan marah dan kehamilannya akan sangat terganggu, untungnya ia masih disana jadinya bisa membawa cepat Qeila pergi.
Masih ia ingat dengan jelas bagaimana besarnya emosi ayahnya tadi dan tidak biasanya Qeila hilang kendali. Biasanya adiknya selalu tenang, tidak peduli dan membuat keadaan selalu damai.
Lalu apa yang terjadi?
Apa ada sesuatu yang ayahnya katakan hingga akhirnya adiknya kehilangan ketenangannya?
***
Prangg.
Ameera terlonjak kaget ditempatnya, segera berjalan cepat keluar kamar dan terkejut melihat beberapa guci kesayangannya rusak akibat suaminya sendiri.
Dengan perlahan ia menatap suaminya yang juga sedang menatapnya tajam, Badan Ameera bergetar selama bertahun-tahun berlalu tatapan itu baru kali ini datang kembali. Siapa yang telah membuat suaminya semarah ini?
"Anak kurang didikan! Bukankah bertahun-tahun lalu kamu sudah membuangnya dan mengatakan dia sudah mati dijalanan lalu kenapa dia kembali kemari? Mengacaukan kedamaian keluarga kita dan membuat Arfan, Putra kebanggaanmu itu meneriakiku didepan keramaian?"
Detan maju kedepan mendekati istrinya dengan emosi yang sama besarnya seperti tadi, Ameera berusaha menghindar mundur beberapa langkah. Tidak lagi, ia tidak bisa menghadapi sikap suaminya seperti itu.
"Kamu gagal Ameera, kamu gagal mendidik anak. Kamu membesarkan anak untuk meneriakiku di depan banyak orang dengan menyebutkan namaku langsung?"
Jantung Ameera berdetak cepat, mengedarkan pandangannya. Dalam hati ia berdoa datang seseorang untuk membantunya.
"Kamu tidak pernah belajar dari kesalahan hmm?"
Tangis Ameera pecah, dengan airmata bercucuran ia terus berusaha menghindari suaminya yang terus mendekat padanya. Ia meringis pelan saat pecahan guci tidak sengaja ia injak.
"Kita sudah berumah tangga sangat lama, aku mempertahankanmu karena kamu selalu mendahulukan keinginanku diatas apa pun. Ingat Ameera, kamu hanyalah barang, sedikit saja kamu rusak maka aku tidak segan-segan membuangmu."
Ameera menggelengkan kepalanya beberapa kali, jejak kakinya dilantai sangat kentara karena darahnya. Ia harus kabur dari sini atau ia harus jadi samsak kemarahan suaminya.
"Aku mengambilmu dan ditukar dengan segepok uang, menjadikanmu berlian padahal kenyatannya kamu hanyalah Barang rongsokan dipinggir jalan. Hahahah, aku mengabaikan banyak berlian dan memilihmu menjadi istriku. Agar kamu tidak lupa diri, selama apapun kamu dirumah ini, seberapa banyak pun pujian yang mereka berikan bagiku kamu tetap barang terbuang."
Ameera tau, sangat tau.
"Ada apa hmm?" badan Ameera bergetar saat ia dan suaminya malah terjebak didekat pintu kamar.
Detan menatap kamarnya, didalam kamar terdapat satu foto berukuran sangat besar dimana disana Ameera memakai pakaian lusuh, rambut acak-acakan.
"Kamu tau tujuanku memasang foto itu bukan?" tanyanya pelan dengan cepat Ameera mengangguk.
"Untuk apa?"
"Untuk selalu mengingatkan padaku bagaimana aku dulu, posisiku yang sebenarnya. Sebagai alarm untukku bahwasanya aku hanyalah Barang pinggiran yang tidak sengaja kamu pungut dipinggir jalan."
Detan tersenyum puas, ia senang mendengar jawaban itu.
"Apa lagi?"
"Aku hanyalah pionmu, aku hanyalah sebuah Barang yang kamu gunakan untuk memperlihatkan pada orang bahwasannya kamu adalah orang paling sempurna, sayang keluarga. Aku adalah barang yang siap kamu manfaatkan kapan saja."
Detan tertawa terbahak-bahak, moodnya kembali dengan baik.
"Bagus, ingat posisimu." dengan wajah kembali senang, Detan kembali masuk kedalam kamar.
Ameera menjatuhkan badannya dilantai, terisak dengan begitu pilu. Sakit, tidak ada lagi harga dirinya, itu sudah lama mati sejak Detan menjadi suaminya.
Semuanya sudah lama menghilang semenit setelah Detan mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu, ia hanya Barang beli'an yang keluarganya buang demi setumpuk uang.
Foto itu, itu adalah penampilan Ameera sewaktu menikah dulu. Tidak ada gaun pernikahan cantik, elegan. Yang ada hanyalah pakaian lusuh yang ia pakai sejak dibawa Detan dari rumahnya.
Tidak ada mahkota mahal atau tatanan rambut yang begitu cantik, yang ada hanyalah rambutnya yang terurai dan tidak pernah dirapikan selama berhari-hari.
Tidak ada panggung megah, atau Ameera menjadi Ratu sehari. Hanya kamar begitu pengap dihadiri beberapa saksi. Semuanya hanyalah drama yang begitu berhasil ditata dengan baik. Tidak ada foto setelah pernikahan hanyalah foto Ameera yang sengaja Detan ambil untuk dipasang di dalam kamar.
Mata Ameera menatap pigura foto pernikahannya, itu baru diambil setelah berbulan-bulan menikah. Setelah Ameera melalui banyak pelatihan agar sempurna, mulai dari menguasai beberapa bahasa, berjalan dengan anggun, sekolah make up dan fashion bahkan dunia bisnis.
Sempurna.
Ameera harus menguasai semuanya, harus semuanya.
Hanya saja, sikap kejam Detan kembali terlihat setelah lahirnya kedua Putri kembarnya. Begitu marah saat dokter menyatakan yang satunya tidak bisa melihat kecuali pendonoran mata.
Bisa saja Detan dengan mudah mendapatkan hal itu sayangnya dia tidak mau, menurutnya sekali cacat maka selamanya akan cacat juga.
Tak jauh dari tempatnya, beberapa pelayan terlihat membereskan sisa-sisa pecahan guci. Mereka tidak memperdulikan Ameera, mereka terbiasa melihat hal seperti ini hanya saja mereka memilih diam, menganggap itu hanyalah angin lalu.
"Lukanya Nyonya,"
Ameera mengubah ekspresinya menjadi angkuh.
"Panggil dokter pribadi sekarang."
"Baik Nyonya."
Sepeninggalan pelayan, Ameera berusaha memperbaiki penampilannya sesuai dengan apa yang ia pelajari. Setelah cantik kembali ia berjalan santai keruang tamu bersikap hal tadi tidak pernah terjadi.
Beginilah hidupnya, tidak ada yang bisa Ameera selamatkan. Anak-anaknya hanya bisa menentukan mau mengikuti jejaknya yaitu kehilangan harga diri atau membangkang dan menjauhi keluarga, seperti Arfan.
Ameera tau. Sangat tau.
Atau mungkin hanya sekedar menebak saja.
Mungkin saja yang membuat suaminya marah adalah orang lain. Seseorang yang begitu suaminya benci sejak dulu, sayangnya dia bukan orang lain yaitu anaknya sendiri.
"Permisi Nyonya, Dokter sudah datang."
Setelah pelayan itu undur diri, datanglah dokter perempuan dengan wajah kasihanya. Tanpa mengatakan apapun ia mengeluarkan semua peralatanya, mengobati luka yang ada di telapak kaki Ameera.
"Diam bukan ciri khas mu."
Dokter itu tertawa pelan, terkesan terpaksa.
"Apa Arfan benar-benar melakukannya?" Dokter itu tau kemana arah pertanyaannya hanya saja tidak menjawab, memilih fokus membereskan luka yang ada didepannya.
"Terkadang aku ingin menyerah, tapi untuk apa? Aku sudah terlanjur dicap buruk oleh anak-anakku, dimatikan harga dirinya oleh suamiku sendiri. Tidak ada jalan keluar selain melanjutkan, lagian dia memang cacat harusnya aku tidak melahirkannya saat itu."
Dokter itu kembali tertawa pelan, "andaikan kamu menyesal, kamu tidak akan memintaku ikut dengan Arfan menjadi dokter di desa terpencil itu, membantu Arfan operasi dan menyelamatkannya." celetuknya pelan, takutnya Detan mendengarnya.
"Itu bukan perintahku, aku hanya memberitahumu dimana Arfan berada."
"Oh ya? Lalu masalah foto Herlena yang kamu simpan di halaman belakang dan kamu memintaku mengawasinya. Kamu sengaja bukan? Agar Arfan tau jika adiknya masih hidup dan tinggal disana. Kamu sengaja menulis sesuatu dibelakang fotonya."
Dokter itu berdiri, sudah selesai mengobati luka Ameera.
"Walaupun aku hanya anak angkat ayah Bian dan kini menjadi dokter pribadi kalian. Aku juga rela menutup mulut pada mama tidak memberitahunya tentang keberadaan Herlena, itu kulakukan demi menyelamatkanmu. Jangan menumpuk penyesalanmu terlalu lama."
Ameera menatap intens dokter didepannya, dia adalah anak angkat dari Naesa dan Bian.
Benfasya Hekasa.
Umurnya hanya beda beberapa bulan dari Arfan, diangkat menjadi anak oleh adik bungsu suaminya sejak berumur 6 tahun.
"Ayahku akan marah kalau tau aku kemari padahal kemarin dia memintaku berhenti menjadi dokter pribadi kalian. Maka mulai hari ini aku memundurkan diri, rasa kasihanku padamu memang besar akan tetapi aku lebih menyayangi ayahku, permisi."
Benfa berjalan menjauh, ia adalah saksi bagaimana usaha Ameera memperhatikan anaknya yang katanya sangat ia benci.
"Aku akan bertemu dengan sepupuku langsung." gumamnya disertai senyuman senang, hari ini ia bebas berkat bantuan Ayahnya.
"Sayang Ayah." lanjutnya ceria.