47 - Rapat Besar

2008 Kata
"Kenapa pakaiannya malah diganti?" Aku mundur beberapa langkah karena Lexion menarikku ke belakang, menatap penampilanku dari atas kebawah. Setelahnya menatapku tajam menunggu jawaban ataupun belaan apa yang akan katakan padanya. "Qeila, pakaian yang kusiapkan tadi kenapa diganti? Kenapa malah memakai pakaian sperti ini? Baju apa ini? Kenapa ketat?" "Ketat darimananya? Orang bajunya longgar begini. Yang tadi itu terlalu formal sedangkan aku kan bukan pekerja kantoran tapi pekerja bebas jadi terserah aku dong mau pake baju apa, kenapa kamu malah protes sih? Aku malahan yakin karyawan kamu didalam sana pakaiannya ada yang lebih wah dari aku." kulepaskan cengkraman tangannya pada pergelangan tanganku. "Dahlah, yuk masuk. Kamu itu penerus perusahaan harusnya datang on time bukan datang sesukamu." kini aku yang menariknya masuk kedalam, wajahnya masih terlihat masam, kesal. "Kamu kan tau aku pecinta fashion," ujarku sembari berjalan, kepeluk lengannya jadinya kami berjalan berdampingan. "Justru aku tau makanya aku pilihin baju model seperti tadi, itu harganya engga main-main loh, Qei." Aku tertawa pelan mendengarnya, menoleh menatapnya tapi tetap berjalan. "I know, lagian bajunya masih ada di apartemenku kok engga ku buang. Di lantai mana orang rapatnya?" Kami berhenti berjalan, menunggu lift terbuka. "Lantai lima, mulainya lima belas menit lagi." jawabnya sembari matanya fokus melihat jam di pergelangan tangannya. "Bukannya dimulai sepuluh menit lalu? Kok diundur?" "Sengaja, kamu lama soalnya." Tidak kubalas lagi, aku tidak menyangka Lexion seberani ini memundurkan jadwal rapat hanya demi menungguku datang dari apartemen. Padahal aku tadinya mengira rapat sudah berjalan ternyata diluar dugaan. "Perempuan dirumah mu tadi, masa bilangin aku sombong." aduku padanya, "caranya natap aku jahat banget, padahal aku engga melakukan apapun loh sama dia. Kok aku kayak perempuan yang merebut pacarnya orang ya? Padahalkan status hubungan kita aja masih abu-abu." lanjutku, melepaskan pelukanku pada tangannya. "Masih abu-abu? Bukankah kamu sudah mengakui kita tunangan?" "Tunangan apaan, mana ada acara tunangan mendadak gitu." Ting. Pintu lift terbuka, suara orang yang saling berbincang terdengar begitu jelas. Saat aku dan Lexion keluar dari lift beberapa Pasang mata mengarah pada kami, tersenyum ramah tentunya langsung kubalas dengan senyuman juga. "Akhirnya datang juga, spertinya Bu Qeila sedang punya kegiatan lain." aku meringis pelan mendengar perkataan bapak-bapak di depanku. "Beneran gara-gara saya ya pak? Padahal tadinya aku kira Lexion membual kalau dia sengaja mengundur waktu rapatnya eh ternyata beneran. Kalau mau sosweet jangan yang kayak gini dong, bukannya buat aku baper malah bikin Malu." Tiga bapak-bapak yang berdiri didepan kami tertawa mendengar perkataanku, Lexion juga hanya tertawa padahal aku berkata sangat serius. Untungnya penampilanku Bagus, jadinya bisa dipuji coba kalau masih pake baju tadi. Euh! Jelek sekali. Setelahnya kami semua masuk kedalam ruangan rapat, ternyata didalam juga banyak orang yang menungguku. Entah apa yang Lexion katakan saat ingin kebawah menungguku, tapi aku yakin itu membuat semua orang menjadikanku tokoh utamanya. Rapat besar ini berjalan cukup lama baru selesai pukul 3 sore, aku saja masih duduk terpaku didalam ruangan padahal didalam sini tinggal aku sendirian. Keputusannya adalah peresmian hotel yang namanya diambil dari tiga huruf pertama namaku itu akan dilaksanakan delapan hari lagi terhitung dari sekarang, akan banyak rangkaian acara juga termasuk memperkenalku secara resmi pada semua orang. Sejak tadi tanganku menimbulkan suara yang cukup keras, memukul-mukul meja tanpa alasan yang baik. Aku hanya bingung bagaimana nantinya, jadi aku dan Lexion benar-benar akan menjadi sepasang tunangan asli? Bukan pura-pura lagi? "Kudengar Langit memberikan pakaian baru lagi untukmu, apakah cantik?" Tangannya berhenti memukul meja, ingatan yang tiba-tiba datang membuatku terkejut. Kakak preman yang selalu datang dalam ingatanku benar-benar menganggu, ingin bertanya pada Dokter Arfan tapi dia pasti tidak tau. Kuperiksa ponselku ada pesan dari Dokter Arfan itupun masuknya semalam dan belum kubalas sama sekali. Karena mempunyai pembahasan penting aku mengirimkan pesan untuknya agar bertemu, Kena mengatakan mereka masih berada di Jakarta hingga malam nanti. Setelah mengirimkan alamat untuk bertemu disana, aku segera bergegas keluar malah harus berdecak kesal saat didepan pintu karena di lift sana ada Detan dan Ameera yang sedang menunggu lift terbuka,lebih baik aku masuk kembali. "Mau menghindari kami anak cacat?" Tubuhku menegang mendengar ucapannya, di lorong ini memang hanya kami bertiga. Aku membalikkan badanku kembali, mendekatinya dan mengembangkan senyum padanya. "Jangan merasa bangga hanya karena Lexion rela menunda rapat penting ini demi perempuan cacat sepertimu." suaranya kembali terdengar, aku tertawa mendengar perkataannya. "Kenapa? Tentunya saya bangga. Bisa membuat anda menungguku, menunggu kedatangan orang sepenting aku." balasku dengan suara santai, mengibaskan rambutku kebelakang. "Memangnya anda yang setiap hari hanya menjadikan istri anda babu? Berbeda dengan tunanganku yang menjadikanku Ratu. Bukankah itu luar biasa?" "Hormat pada ayahmu, Herlena." Tawaku makin menggema mendengar perkataan Ameera, "ayahku? Kalian memintaku hormat pada kalian sedangkan selama ini kata itu tidak pernah kalian ajarkan padaku, pantaskah kalian disebut orangtua?" Detan maju selangkah tapi ditarik kembali oleh istrinya, tapi sayangnya ia menepis tarikan Ameera hingga perempuan Malang itu kini tersungkur dilantai. Detan menunjukku dengan wajah amarahnya, "Kamu hanyalah perempuan catat," "Lalu? Kenapa? Bukankah anda lebih cacat? Mendorong istri anda sampai terjatuh?" tantangku, dia maju selangkah jaraknya makin dekat denganku. "Kamu pikir kamu sempurna?" "Sempurna? Apa pentingnya kata sempurna? Yang terpenting adalah saya lebih berprikemanusiaan daripada anda." Plaakk. Perih juga, pipiku terasa perih sekali. Wajahku bahkan sampai menoleh kesamping saking kerasnya dia menamparku, kurasa setelah ini bekasnya akan jelas terlihat. "Jangan berani denganku, Perempuan buta. Kamu hanya sedikit beruntung jadinya di pungut oleh keluarga kaya sperti Andatio, andaikan mereka tidak memungutmu mungkin kamu akan tinggal di jalanan." Bukannya menghindar, aku malah membalas tatapannya menatapnya penuh tajam. "Memangnya anda siapa jadinya berhak mengataiku? Bahkan menamparku sperti tadi, memangnya kesalahan apa yang kulakukan pada anda? Selama ini saya berjalan pada jalanku sendiri, tidak pernah sekalipun menganggu keseharianmu, DETAN!" PLAKK. Badanku terjatuh ke belakang disertai tamparan lebih keras dari sebelumnya di tempat yang sama, kepalaku bahkan terasa pening sekali. Aku tertawa terbahak-bahak menggema di lantai lima ini, aku mengintip Ameera dia hanya mematung melihatku. "Apa ini?" gumamku, Detan ini. Dia membuatku mimisan. "Bahkan anak sepertimu tidak berhak menyebut namaku." tawaku makin menjadi-jadi, Dia maju selangkah malahan kini menginjak tanganku,aku mendongak menatapnya tak sekalipun memperlihatkan wajah kesakitan padanya malahan aku tersenyum memperlihatkan wajah kemenanganku padanya. "Mau seberapa usaha kamu menyempurnakan diri tetap saja kamu biasa saja dimataku," "Memangnya saya peduli dengan pemikiran anda? Saya tidak pernah peduli bagaimana pemikiran anda tentang saya. Memangnya saya menanggap anda spesial? Tidak. Saya juga menganggap anda biasa saja." balasku dengan tajam, dia semakin menguatkan injakannya pada jemariku, sakitnya tidak main-main. Dengan tangan satunya aku menghapus darah yang terus menerus keluar dari hidungku, bibirku juga terasa perih setiap kali membuka suara pasti berdarah juga. Mataku dan Mata Detan masih saling menatap, dia pikir aku akan memohon menyerah padanya? Deringan ponselku membuatku tersentak, menatap tasku yang berada jauh dariku. Itu pasti Dokter Arfan, ingin menanyakan mengapa aku tidak sampai juga padahal kami janjiannya tepat didepan perusahaan ini. "Kita harus segera pergi, Mas. Ada pertemuan penting," Mataku menatap Ameera yang ekspresinya tenang sekali tidak ada rasa kasihan padaku sama sekali. Detan mengangkat kakinya membawanya menjauh dari jemariku, aku yakin butuh berapa lama untuk sembuh. "Kalian berdualah yang cacat," ujarku lagi, Detan kembali mendekat, melayangkan tamparan lagi pada wajahku. "Kalian berdualah yang gagal membesarkan anak-anak kalian, dan kalian bangga dengan hal itu?" Detan mencengkeram rahangku dengan keras, memaksaku mendongak menatapnya. Aku tertawa, berusaha tidak memperlihatkan rasa sakit. "KAMU ANAK GA-" "DETAN!!!" Airmataku jatuh seiring datangnya Joe menarik Detan menjauh, juga datangnya Lexion memelukku cepat. Aku menangis histeris didalam pelukannya, meluapkan rasa sakit yang sejak tadi kutahan. "Setelah ini anda akan rugi besar, Pak Detan." hanya itu yang bisa kudengar sebelum kesadaranku benar-benar menghilang. *** Dengan wajah memerah dan menahan amarah, Lexion menggendong Qeila yang pingsan membawanya ke lantai paling atas menuju ruangannya. Sesampainya didalam ruang tunggu, Lexion membaringkan Qeila dengan hati-hati. Ia tertegun menatap pipi Qeila yang memerah, ujung bibirnya yang robek serta bekas darah di sekitar atas bibirnya. Tatapannya beralih pada tangan tunangannya,jemari tangan kanannya lecet. "Telepon Nona sejak tadi berdering, Tuan." Lexion tidak menanggapi, hanya terpaku melihat banyaknya luka yang Detan berikan pada perempuan yang mati-matian Lexion berusaha bahagiakan. Dengan gampangnya Detan melakukan semua ini? "Papa dengar dari Joe kal-, nak? Ini semua Detan yang lakukan?" Andatio mengepalkan tangannya, keterdiaman putranya berarti iya. Ia keluar dari sana ingin membalas apa Yang Detan lakukan pada calon menantunya. Lexion hanya terus terpaku memegang jemari Qeila, apa yang Detan lakukan pada perempuannya sampai-sampai tangan Qeila sakit begini? "Saya sudah mengangkat ponsel, Nona. Ternyata Dokter Arfan yang menelpon katanya mereka sudah janjian akan bertemu tapi malah begini. Dokter Arfan sedang menuju kemari," Lexion tidak menanggapi apa yang Joe katakan, ia mundur. Duduk melantai dan menyandarkan punggungnya di dinding. Andaikan ia tidak ikut turun bersama klien yang lain, tetap tinggal menemani Qeila diatas sana mungkin semua ini tidak akan terjadi. Perempuannya akan baik-baik saja, malahan sudah memandangnya kesal ataukah sibuk dengan urusannya. "Apa yang terjadi, Qeila kenapa?" Lexion hanya menatap Arfan sekilas sebelum kembali memandang kosong kearah Qeila yang belum sadar dari pingsannya. Arfan dengan sigap mengeluarkan kotak P3k yang selalu ia bawa kemana-mana, membalut perban jemari adiknya. "Lexion, siapa yang melakukan ini pada adikku?" tanyanya bingung, tapi orang yang ditanya tidak menjawab sama sekali hanya diam sejak tadi. Joe kembali masuk dengan membawa tab ditangannya, memperlihatkan hasil cctv yang baru didapatkannya. "Ini rekaman cctv-nya, Tuan." Arfan merebut tab yang ada ditangan Joe, matanya membulat saat ayahnya sendirilah yang menampar adiknya, menginjak tangannya, dan mencengkram rahangnya. Ameera hanya berdiri sebagai patung di belakangnya, tidak menolongnya sama sekali. Tanpa mengatakan apapun Arfan meninggalkan ruangan itu, membawa serta Tab yang dipegangnya. Lexion hanya terus menerus diam, menyesali keputusannya karena membiarkan Qeila sendirian diatas sana. "Tuan, anda harus mengompres pipi Nona Qeila." Lexion menerima benda yang Joe sodorkan, berdiri dengan lemah. Menempelkan benda dingin itu pada pipi Qeila dengan hati-hati. "Maaf," gumamnya,merasa sangat bersalah. "Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk tidak menantangnya saat kamu sendirian? Kenapa malah nekat seperti tadi?" Lexion menunduk, ia menangis dalam diam. "Kamu jangan sok berani begini, Qei. Andaikan aku tidak datang bersama Joe, apa yang akan terjadi disana? Mereka berdua akan terus melukaimu tanpa henti. Sekali saja menjadi perempuan penurut bisa kan? Kenapa tidak mau mendengar?" ujarnya dengan suara serak, tangannya terus mengompres pipi Qeila yang masih terlihat memerah. "Aku akan mempercepat peresmian Hotel supaya kamu bisa kembali ke Bandung, bisa bekerja dengan tenang. Kalau bisa lusa kita akan mengadakannya, aku akan membantumu." tangannya terulur memperbaiki tatanan rambut Qeila. "Tuan Besar ingin bertemu anda, Tuan." "Untuk apa?" balasnya bertanya. "Sepertinya ingin membahas masalah ini, Tuan Besar spertinya ingin memberikan pelajaran pada Detan, mungkin membuat sebagian kliennya memutuskan kontrak jadinya dia bisa mengalami kerugian yang cukup besar," Lexion tersenyum miring, menyimpan kain kompres di mangkuk. "Jaga Qeila hingga dia terbangun, jangan meninggalkannya sedetik pun." Joe mengangguk. Lexion memandang Qeila sekali lagi sebelum benar-benar keluar dari ruangannya sendiri. Melangkah menuju ruangan papanya, dimejanya Andatio memegang beberapa lembar kertas. "Papa akan membagikan pada pihak koran tentang keluarga Jespara yang membuang anaknya sendiri sewaktu kecil, jadi pengakuan mereka tentang anaknya yang diculik adalah salah besar," beritahunya,menyerahkan selembar kertas pada Lexion. "Artikel itu yang akan ramai di koran, kamu setuju?" "Tentu saja, aku juga akan bertemu dengan Delion. Dia pasti akan sangat terkejut kalau tau perlakuan Detan pada tunanganku. Kalau nantinya Delion menarik sahamnya maka kerugian Detan akan mencapai 35%. Itu bukan kerugian ringan bukan?" Ia tertawa, meminta papanya melaksanakan apa yang dia mau. Kembali ke ruangannya memeriksa bagaimana kondisi Qeila. Sesampainya disana Qeila belum bangun juga, Joe masih berdiri tenang diluar pintu. "Apa dia belum bangun-bangun juga?" tanyanya, duduk dipinggir ranjang. "Dokter Benfa ada disini juga, Tuan. Beliau sedang keluar membeli salep untuk pipinya,Nona. Memarnya tidak bisa sembuh dengan kompres saja, tadi Nona bangun, mungkin kembali tidur karena terlalu lelah." Ia mengangguk paham, memperbaiki tatanan rambut Qeila. Joe memilih meninggalkan keduanya didalam sana dengan pintu ruangan dibiarkan terbuka, memberikan ruang untuk mereka berdua. "Kak Langit," Lexion dengan sigap mengenggam tangan Qeila, "aku disini, kamu sudah baik-baik saja. Aman sekarang," balasnya dengan suara pelan. Tak lama kemudian Qeila kembali tertidur, dan Lexion melepaskan genggamannya meninggalkan Qeila diruangan itu. Melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ia sudah membalas perbuatan Detan,tinggal menunggu hasilnya saja. Palingan setelah bangun nanti, hanya ada kemungkinan. Qeila meminta makanan atau akan berbicara ketus padanya, seperti biasa nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN