Arfan tertawa pelan melihat Kena mendadak serasa seperti mempunyai dua orang adik yang cukup menyebalkan, padahal mereka katanya akan membuat mertabak telor dan bakwan tapi begitu ramai.
"Jangan besar banget gitu, Benfa. Astaga! Itu kamu mau ngapain motongin kol sebesar itu? Coba di motongin terus tipis-tipis aja ambilnya engga besar kayak gini. Kepalaku pening," Arfan tertawa lagi mendengar omelan istrinya padahal ia sejak tadi nonton diruang tengah tapi suaranya terdengar dengan jelas.
"Qeila astaga! Kamu ngapain? Mau ulek bumbu atau mau bagi cobek jadi dua?"
Tak lama setelah Kena mengatakan itu tawa mereka bertiga terdengar, Arfan senang karena ketiganya begitu akur padahal biasanya Qeila bodoamat, tidak mau bergabung dengan yang lainnya.
Arfan sudah sampai sejak satu setengah jam yang lalu, hanya menemui istrinya sendirian yang menonton TV katanya Benfa keluar membeli bahan sedangkan Qeila masih tidur, pengaruh obat Bius.
Mereka bertiga baru masuk dapur 20 menit lalu, ingin memasak bersama tapi sepertinya hanya Kena yang begitu pandai memasak diantara mereka bertiga. Arfan memindahkan channel TV, terpaku menatap foto lama adiknya yang terpampang begitu besar di layar.
Itu adalah Qeila versi kecil, begitu cantik dengan senyuman menawannya tanpa memikirkan mengapa ia dilahirkan, mengapa ia ada.
"Hahaha, setres istrimu nanti." Arfan menoleh, menemukan Benfa yang tertawa, ikut duduk disampingnya.
"Kalian aja yang engga pinter masak, kenapa pergi? Sudah selesai?"
"Belum, Qeila masih pinter daripada aku cuman dia jarang pake cobek katanya. Kena minta aku keluar daripada buat kepalanya pusing, aku udah bilang pesan makanan aja tapi dianya engga mau. Oh ya, tadi aku ketemu Lexion dibawah, katanya bakal kemari sore nanti." Arfan menoleh menatap sepupunya,
"Kenapa engga ikut naik sama kamu tadi? Kenapa harus sore?" tanyanya bingung, padahal biasanya Lexion kalau mau kemari ya tinggal kemari tidak pernah menunggu besok.
"Mau kasi waktu untuk kita katanya, kalau ada dia pasti kesannya beda. Semacam quality time keluarga mungkin, ternyata orang macam dia masih punya simpati, kirain bakal terus ngekorin Qeila kesana kemari saking bucinnya." ia tertawa kecil, mengambil keripik yang memang tertumpuk di meja.
Benfa membukanya, memakannya. Sesekali menatap Arfan yang diam.
"Kenapa?" tanyanya,
"Apanya?" tanya Arfan balik.
"Tidak ada apa-apa sih, kesannya aneh aja aku bicara panjang lebar tapi kamu engga ngerspon sama sekali. Sana gih bantuin orang didalam, biar cepat selesai." usirnya, merebut remote TV yang ada di tangan Arfan lalu memindahkannya.
Ia terlalu malas menonton berita yang terus menerus menyorot masa lalu Qeila, "Ar!' panggilnya pelan, matanya menatap nanar layar TV.
"Hm?"
"Kita harus bisa siaga mulai sekarang, kita harus bisa selalu siap menjaga Qeila karena firasatku serta pengalamanku mengatakan kalau sebentar lagi Qeila akan menghadapi titik terendahnya." sedetik setelah Benfa mengatakan itu dengan wajah sedih ia merubah ekspresinya dengan cepat, tersenyum sumringah.
"Aku bukannya mau menakutimu, aku cuman kasi kamua alarm." ujarnya ceria, kembali santai seolah apa dikatakannya bukanlah apa-apa.
Arfan terdiam mencoba memikirkan ulang apa yang Benfa katakan, waspada? Arfan selalu waspada setiap saat. Hanya saja sanggupkah ia melihat adiknya hancur saat ingatannya kembali? Bagaimana respon Qeila kalau akhirnya ia mengingat alasan yang membuatnya koma selama sebulan?
Apa respon adiknya nanti saat mengingat mengapa badannya memar? Mengapa dokter lainnya menganggap kalau dia sudah tidak perawan lagi?
"Ar? Kamu melamun? Itu Kena manggil kamu terus di belakang,"
Arfan menoleh kebelakang ada perempuan cantiknya sedang memasang wajah masam, dengan wajah bersalah Arfan mendekat pada istrinya memeluknya singkat dan menggumamkan maaf karena mengabaikan maafnya tadi.
"Ingat kaum jomblo, Woy."
Ekspresi kesal Kena menghilang mendengar sindiran Benfa, ia mengajak suaminya masuk kedalam dapur meninggalkan Benfa yang sibuk memakan keripik hasil belanjanya tadi.
"Makan ya, aku sudah panasin sayurnya." ujarnya setelah sampai di dapur, meminta suaminya untuk duduk.
Setelah Arfan duduk, Kena dengan sigap menyendokkan nasi serta lauk yang Arfan tunjuk. "Bakwannya sudah masak, Qei?" tanyanya pada Qeila, setelah suaminya sibuk makan Kena mendekati Qeila yang sedang memasak bakwan.
"Bentar lagi, kamu udah laper? Maklum sih yang kamu kasi makan bukan untuk kamu aja, ada keponakanku juga." Arfan berhenti makan sejenak, baru kali ini ia mendengar Qeila menyebut kata keponakan.
"Kamu mengakui anak kami sebagai kepoankan kamu, Qei? Senang aku, kakak kamu sampai tertegun gitu." ia mengelus perut buncitnya, tinggal menghitung minggu menuju kelahiran anaknya.
Qeila menatap Arfan yang ternyata masih menatapnya, "kenapa natap aku sampai segitunya? Itu refleks kok, engga bermaksud yang lainnya." belanya pada diri sendiri, mengangkat bakwan yang sudah masak.
"Nah sudah masak," riangnya, menyajikannya diatas piring yang sudah dilapisi tissue. Kembali memasukkan adonan bakwan kedalam minyak panas, segitu saja tidak cukup.
Arfan dan Kena hanya saling memandang kemudian tersenyum, membiarkan Qeila tidak menanggapinya lagi takutnya Mood Qeila akan menurun dan kembali ketus seperti biasanya, Qeila mau menyebut anaknya keponakan saja mereka sudah senang.
***
Benfa bertepuk tangan senang saat martabak mini kini tersedia di depannya, ada juga bakwan panas. Tanpa menunggu yang lainnya Benfa kini sudah menikmati bakwannya, sangat enak.
"Punya sepupu begini amat, laki-laki diluar sana kalau ada yang bilangin kamu kalem maka aku orang pertama yang menentang keras pujian itu, mana kalemnya coba?" omel Kena, karena Benfa makan tidak menunggunya.
Qeila datang membawa jus serta empat gelas kosong, ikut tertawa melihat wajah masam Benfa padahal biasanya Benfa itu ceria, selalu senang dengan apapun yang orang-orang katakan.
"Dokter Benfa kenapa?" jahilnya
"Jangan ikut-ikutan Qeila, kakak iparmu nyebelin."
Ibu hamil itu menatap Qeila menunggu tanggapan adik iparnya tentang apa yang Benfa katakan, tak ada penolakan hanya sebuah tawa yang Qeila perlihatkan, malahan kini duduk melantai. Menuangkan minuman pada empat gelas kosong tadi.
Mata Qeila sejak tadi memancarkan kebahagiaan, biasanya sibuk dengan dunianya seperti memilih bekerja daripada kumpul apalagi berbincang hangat seperti ini. Kena tersenyum haru, bertemu pandang dengan suaminya yang juga senang karena akhirnya perlahan Qeila mulai membuka diri tak lagi mengasingkan diri.
"Ayo dimakan hasil masakan bersama kita hari ini, ditemani omelan ibu hamil. Bukankah begitu Dokter Benfa?"
Dengan cepat Benfa mengangguk antusias membenarkan apa yang Qeila katakan, setelahnya mereka semua tertawa menikmati minuman juga martabak serta bakwan.
***
"Malam ini sangat dingin tapi kamu malah memakai pakaian seperti ini?"aku tertawa sebentar, tetap membiarkan Dokter Arfan memasangkan jaket.
"Masa bersama kita selalu sedikit untuk di kenang,saat seharusnya aku menemanimu, menyemangatimu. Aku malah sibuk belajar dan terus belajar, saat kamu dikabarkan hilang pun aku hanya bisa diam, tidak tau ingin melakukan apa."
Senyumku mengembang, membiarkan angin menerbangkan rambutku yang memang sengaja ku gerai. Langit Jakarta selalu ditemani gedung-gedungnya yang tinggi, suara klakson mobil yang saling bersahutan juga keramaian yang tak pernah padam.
"Dalam ingatanmu, apa aku pernah ada?" aku menggeleng, dalam ingatanku belum pernah ada Dokter Arfan didalamnya. Hanya ada kilasan lama bersama Tante Naesa, kak Langit, Demiz juga orang misteri yang belum ku ketahui namanya.
"Kamu akan bekerja besok?"
"Belum,lagian pekerjaanku yang ada di Jakarta sudah selesai. Tinggal menunggu peresmian hotel, royaltiku juga telah mereka transfer kemarin. Andaikan aku tidak berstatus sebagai tunangan Lexion, aku sudah bisa pulang ke Bandung tidak perlu menghadiri acara peresmian itu," mataku menatap kebawah, banyak mobil yang berlalu lalang.
"Kamu bahagia dengan status itu?"
"Tidak tau, memangnya defenisi bahagia itu bagaimana?" tanyaku balik, menoleh menatap Dokter Arfan yang masih Setia memakai kacamatanya hingga sekarang.
"Aku juga tidak tau."
Jawabannya itu membuatku tertawa, tak lama setelahnya Dokter Arfan juga tertawa. Kami sama-sama menikmati malam dari balkon kamarku, pintu kamar memang kubiarkan terbuka, tentang keberadaan Kena dan Benfa aku tidak tau mereka ada dimana.
"Herlina, kamu pernah membahas apa dengannya?" aku tak langsung menjawab, memilih menyembunyikan kedua tanganku kedalam jaket, angin malam terasa semakin dingin.
"Apa hal penting?"
"Katanya dia tidak masalah kalau nantinya suatu hari nanti, kenyataan kalau dia tidak bisa hamil diungkap ke ranah publik. Lagian sekarang dia sudah berdamai dengan istri Keylan, malahan katanya Herlina sudah tau akan kemana setelah fakta itu terungkap." jujurku.
"Keylan tau tentang hal itu?"
"Tidak tau, katanya adikmu satu itu ingin bebas juga. Lagian peluangnya untuk hamil masih ada tapi butuh proses panjang dibawah pengawasan tim dokter, harus benar-benar teliti. Katanya lagi dia ingin bebas, mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter," ku keluarkan kembali tanganku, memegang pembatas balkon.
"Kita bertiga, sama-sama kehilangan sosok orangtua hanya karena sebuah kata kesempurnaan. Andaikan mereka mau bersyukur dengan prestasi kita masing-masing, mendukung apapun yang anaknya inginkan. Juga menginginkan apapun yang semua anknya inginkan, mungkin kita sudah bahagia," lanjutku lagi, tersenyum.
"Kamu bahagia?" pertanyaan itu lagi, aku juga bingung bagaimana menjawabnya.
"Apakah nyaman juga termasuk bagian dari kebahagiaan?"
"Mungkin iya mungkin juga tidak,"
Aku tertawa lagi, mendekat padanya dan memeluk lengannya tak lupa kepalaku ku sandarkan di bahunya. Aku bisa mendengar Dokter Arfan kaget dengan tindakanku tapi saat aku mendongak menatapnya ia tertawa kecil, menyukai apa yang aku lakukan.
"Jika nyaman bisa disebut bahagia maka sekarang aku bahagia, sangat bahagia memiliki keluarga seperti anda, Dokter. Bukankah sejak aku kembali menjadi seorang Qeila hingga sekarang, aku tidak pernah sedekat ini denganmu?" tawanya terdengar lagi,
"Tetaplah menjadi adikku. Adikku selamanya."
Ya, dia akan tetap menjadi kakakku.