Setelah mengatakan hal itu pada Arfan, Benfa meninggalkannya sendirian memilih pergi dari apartemen untuk sementara. Sedang Arfan hanya terus terpaku menatap adiknya yang sangat berbeda dari biasanya.
"Herlena," panggilnya pelan, tak ada respon sama sekali.
Adiknya masih duduk melantai dengan mata memandang hampa kearah balkon.
"Herlena," panggilnya sekali lagi dan ternyata berhasil. Herlena menatap kearahnya dengan mata sembab, tapi hanya beberapa detik setelahnya kembali seperti semula.
"Semuanya baik-baik saja?" tanyanya hati-hati, mulai mendekati Herlena. Duduk tepat didepannya.
"Aku engga pernah baik-baik saja setelah kejadian itu, Allah hanya menghilangkan ingatanku sementara setelahnya membuatku kembali tersadar. Mana ada perempuan kehilangan kesuciannya baik-baik saja? Perempuan mana yang bisa sembuh setelah mengalami hal semengerikan itu?" ujarnya disertai tawa kecil,
"Sebagian orang hanya berfokus pada tersangka tetapi mereka seringkali lupa dengan para korbannya. Aku mana mungkin melupakan semua itu dalam sekejap? Kenapa Dokter tidak memaksaku berhenti saat aku terus bertanya tentang ingatan masa lalu?" lanjutnya lagi,
"Aku bodoh ya? Bersikap santai setelah mengalami semua itu? Berjalan begitu percaya diri menganggap aku lebih dari segalanya tapi nyatanya tidak. Pantas saja Detan selalu mengataiku ternyata itu benar, mana mungkin aku baik-baik saja? Sejak kapan orang dewasa baik-baik saja?"
Herlena tertawa kecil, memeluk lututnya sendiri dan melanjutkan tangisnya lagi. Katakan ia terlalu berlebihan tapi memangnya ada orang yang tidak terluka ketika masa lalu terus saja menghantuinya setiap detik? Masih untung kalau masa lalunya Indah, kalau mengerikan?
"Orang-orang yang sudah dewasa tidak akan pernah baik-baik saja, Dokter. Mereka akan terus tidak baik-baik saja, setiap hari mereka akan memasang topeng terbaiknya hanya untuk memulai panggung sandiwaranya."
Herlena terus meracau tanpa henti, badannya tersentak kaget saat Arfan tiba-tiba menarik tangannya yang di perban. Ia mendongak menatap orang yang sejak dulu berjuang demi kebebasannya, orang yang selalu ada untuknya meskipun seluruh dunia mengatakan Herlena adalah orang tersangka.
"Ini kenapa? Kamu mana mungkin melaka percobaan bunuh diri kan?" tanya Arfan dengan suara berbisik,
"Tidak, Akbar pasti akan sangat kecewa jika nantinya dia malah melihatku bersamanya disana. Aku hanya tidak sengaja mengenggam pecahan kaca, sakitnya tidak terasa sama sekali." ia menarik tangannya, menyembunyikannya ataupun menjauhkannya dari Arfan.
"Kamu ikut aku kerumah ku ya?" dengan cepat Herlena menggeleng, ia tidak mau menambah beban.
"Kenapa? Aku adalah kakakmu Herlena, aku mana mungkin tenang saat tau adikku dalam masa jatuhnya sperti sekarang ini. Kalau kamu tinggal dirumah, aku bisa tenang karena ada Kena dan ibu mertuaku yang menemanimu. Kita engga selamanya mengandalkan Benfa, dia juga harus bekerja."
Herlena tertegun mendengar hal itu, "jadi sekarang aku menjadi beban seseorang?"
"Maksud aku Bukan gitu, kalau kamu ikut kerumah aku bisa bertemu kamu setiap saat."
Ia berdiri, memilih merebahkan badannya tanpa mengatakan apapun lagi. Dan Arfan tau itu adalah penolakan telak untuknya, memeriksa jam sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, Arfan tidak bisa terus disini karena istrinya terus menunggu dirumahnya.
"Kamu ikut aku ya?" tak ada jawaban, orang yang ditanya hanya sibuk memejamkan matanya seolah tertidur.
Padahal Arfan yakin adiknya itu belum tidur sama sekali, jemarinya masih saling menggenggam pertanda sedang gelisah.
"Pulang aja, aku engga mau jadi beban untuk semua orang. Aku engga pernah minta Dokter untuk membawaku bersama kalian, aku engga pernah sekalipun menuntut meminta diperhatikan." Herlena membuka pejaman matanya, "Kena pasti sedang menunggu anda sekarang." lanjutnya lagi.
Anda?
Arfan mengulang kata itu beberapa kali dalam pikirannya, sehancur apa adiknya sekarang sampai membuat sekat sebesar ini? Bukannya pergi Arfan malah duduk dipinggir ranjang memperhatikan adiknya yang airmatanya masih terus ada hingga sekarang.
"Apakah begitu sakit?"
"Ya, rasanya sungguh menyesakkan."
"Lalu, apa ada cara lain agar sesak itu menghilang?"
"Anda tau siapa pelakunya kan? Mana mungkin anda tidak tau siapa orang yang melaporkan markas itu. Andaikan orang itu tidak melakukannya mungkin sekarang semuanya masih stabil, aku tidak masalah menjadi perempuan buta selamanya itu bukanlah kecacatan." ia memiringkan badannya, memunggungi kakaknya.
"Mungkin sekarang aku sibuk membantu anak-anak yang akan dijual untuk bersiap, mereka akan menyambutku dengan cerita riangnya. Aku akan memasak untuk mereka bukan malah berbaring disini menangisi keadaan yang terlalu memilukan. Siapa orang itu? Kenapa dia melakukannya?"
Arfan tidak langsung menjawab,malahan merogoh kantongnya untuk mengambil ponselnya. Mengirim pesan pada Kena kalau akan pulang terlambat karena keadaan Herlena yang tidak memungkinkan.
"Masih disini? Engga pulang?" Arfan mengalihkan pandangannya dari ponselnya menatap Benfa yang datang membawa sepiring kue.
"Padahal aku kira kamu sudah pulang mengingat istrimu pasti membutuhkanmu sekarang. Bukannya aku mau menggurui tapi posisi kamu lagi engga imbang Ar. Aku engga masalah kalau harus menjaganya terus menerus mending kamu pulang." sarannya, menyimpan sepiring kue tadi dimeja dekat ranjang.
"Jangan membuat posisi Herlena semakin sulit, Ar. Kamu kira gampang jadi dia? Bukan aku yang alami aja rasanya menyesakkan lalu bagaimana dengannya? Kamu mau membantunya cepat pulih? Yaudah, pulang sana." usirnya, berjalan ke sisi ranjang yang lain.
Barulah Benfa bisa melihat wajah sepupunya, awalnya Benfa ingin membiarkan mereka berdua saja tapi mengingat Kena cukup cemburuan jadinya Benfa pulang kembali. Ia menggengam tangan sepupunya yang tidak di perban.
"Capek banget?" dengan cepat Herlena mengangguk.
"Ar, pulang." usirnya sekali lagi,
Arfan memandang punggung adiknya yang terlihat sangat rapuh. Ia ingin memeluknya memberikan banyak kalimat penyemangat tapi sepertinya Herlena tidak mau. Arfan tanpa mengatakan apapun pergi meninggalkan kamar.
"Arfan sudah pergi." beritahunya, tepat setelah Benfa mengatakan itu suara tangisan pilu Herlena terdengar memenuhi kamar. Ia bahkan memukul dadanya beberapa kali siapa tau bisa mengurangi sesaknya didalam sana.
Benfa mendongak menatap langit-langit kamar berusaha menahan tangisnya, genggaman tangan Herlena padanya semakin erat.
"Kenapa harus aku? Kenapa aku yang merasakan semua ini? Banyak orang yang bisa Allah uji tapi kenapa rasanya bebannya diberikan padaku semua?" tanyanya dengan suara serak, matanya terpejam tapi airmatanya tetap ada.
"Karena kamu kuat, kamu luar biasa. Dan Allah tau kamu akan semakin kuat jika diberikan semua cobaan itu. Allah cuman mau kamu jadi perempuan hebat, perempuan yang bisa bangkit dari keterpurukan." jawab Benfa cepat, ia jongkok disamping ranjang menatap wajah pucat sepupunya.
"Masih sesak?"
"Masih, rasanya sakit sekali. Kenapa ketika hati yang terluka sakitnya seluar biasa ini? Apa karena dia tidak mempunyai penguat didalam sana? Semacam tulang?"
Benfa tertawa kecil disertai airmatanya yang jatuh tapi dengan cepat ia hapus. "Sejak kapan Herlena yang bodoamat berubah menjadi perempuan puitis begini?" komentarnya,
"Aku buatin kamu minuman dulu siapa tau bisa menyegarkan pikiran. Ada kue disamping ranjang tadi kakak kamu yang beli, padahal kamu engga suka makanan manis kayaknya dia lupa. Mungkin saking senangnya bisa ketemu kamu lagi," Benfa melepaskan genggaman tangannya, berjalan cepat keluar kamar.
Matanya hanya memandang sekilas seseorang yang sejak tadi mendengar perbincangannya dengan Herlena, dia berlalu masuk kedalam dapur barulah melepaskan tangisnya disana. Benfa tidak sekuat itu melihat Herlena begitu rapuh.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Benfa berusaha meredakan tangisnya lebih dulu, mencuci wajahnya agar lebih segar. Membutkan teh jahe hangat untuk Herlena, perkataan orang dibelakang sana tidak terlalu ia pedulikan.
"Benfa, apa yang harus aku lakukan?"
Dengan tangan gemetar Benfa memegang cangkirnya, "engga tau, aku juga engga tau harus gimana. Kita berdua dokter tapi sama-sama bingung mau bagaimana. Rasanya menghadapi keluarga sendiri yang terluka itu menyulitkan." balasnya, membalikkan badannya menatap Arfan.
Ya, Arfan belum kembali.
Sengaja berdiri didekat pintu kamar melihat bagaimana adiknya begitu hancur,melihat bagaimana rapuhnya adiknya tapi. Masih dipaksa terus menerus untuk kuat oleh orang-orang sekitar.
"Apa harus seperti ini?"
"Sperti apa? Memangnya kamu maunya gimana? Kamu mau dia kuat? Kamu mau dia baik-baik saja setelah ingatannya kembali? Itu namanya kamu egois, Ar. Kamu terlalu egois memaksakan keadaan. Kamu tau apa tentang sakitnya seorang perempuan? Kamu tau apa bagaimana hancurnya perempuan saat tau ternyata dia sudah disentuh?"
Braaak.
Benfa melempar cangkir yang dipegangnya ke lantai kemudian tertawa, "aku kira kamu lebih dewasa dari aku ternyata tidak sama sekali. Kamu mau bawa dia ke Kena? Memangnya kamu tau bagaimana Kena terus memintanya kuat? Memintanya untuk tidak menyusahkanmu? Apa salahnya menyusahkan kakak kandungnya sendiri HAH?"
"TAU APA KAMU TENTANG LUKA SEORANG PEREMPUAN?" teriaknya, maju selangkah memandang Arfan tajam.
"KENAPA KAMU MENYELAMATKANNYA HARI ITU KALAU HANYA UNTUK MEMBUATNYA MERASAKAN SEMUA INI?" teriaknya lagi,
"Aku tau, aku juga pernah memaksanya untuk kuat hari itu. Tapi setelah melihatnya sendiri seperti ini rasanya aku merasa gagal. Apa salahnya terlihat tidak baik-baik saja?" Benfa mundur beberapa langkah, meninggalkan Arfan sendirian didapur.
Ia tidak peduli Herlena akan mendengar teriakannya jadi, Benfa begitu muak dengan keluarga Jespara. Ia muak melihat kelakuan semua orang yang tidak waras.
"Apa yang terjadi Dokter?"
"Tidak papa, tolong beritahu tuanmu untuk menambah penjaga didepan. Jangan biarkan keluarga Jespara masuk kemari, biarkan Herlena sendiri dalam waktu dekat." Benfa beralih masuk kedalam kamar sebelah mengambil tasnya.
"Aku akan pulang sebentar, setelah Arfan pulang nanti jangan biarkan siapapun masuk kecuali aku ataupun ayahku. Juga, kamu berdiri didekat pintu kamarnya awasi Herlena takutnya dia kenapa-napa." setelah mengatakan itu Benfa berlalu tanpa mengucapkan selamat tinggal pada Herlena.
Lagian ia hanya ingin keluar sebentar, pergi bertemu papanya membahas hal penting. Ia harus bisa membahagiakan sepupunya apapun yang terjadi.
Sepeninggal Benfa, Joe benar-benar melakukan apa yang diperintahkan, berdiri didekat pintu kamar ditemani suara alunan musik yang Herlena putar dari dalam sana. Joe mengawasinya, ingin menjaganya selayaknya putrinya sendiri.
Suara adzan maghrib menghentikan alunan musik didalam sana, sejak 20 menit berlalu Joe belum melihat Arfan keluar dari dapur entah melakukan apa. Joe menatap kedalam kamar terlihat Herlena sedang membuka perban di tangannya.
"Kenapa dibuka, Nona?" tanyanya cepat,
"Aku cuman mau ganti perban kok tadi basah pas masuk kamar mandi. Lagian aku kan tayamum soalnya luka ditanganku masih belum bisa kena air, yang lain mana?"
Joe menghela napas pelan melihat sandiwara yang Nonanya buat sekarang ini seolah tidak terjadi apapun tadi. Joe bahkan kasihan melihat senyuman manis yang Herlena perlihatkan, bukannya terpesona malah ikut merasakan sedihnya.
Mata nonanya sama sekali tidak bisa berbohong.
"Kamu mau ikut shalat?"
"Saya beragama kristen, Nona. Saya akan menunggu diluar, jika anda membutuhkan sesuatu silahkan panggil saya saja. Dokter Benfa sedang keluar, Dokter Arfan masih berada di dapur belum keluar sama sekali." jelasnya panjang lebar, setelahnya barulah keluar kamar menunggu didekat pintu.
Didalam kamar dengan wajah tenangnya Herlena memakai mukenanya kembali setelah ia buka sejam lalu, shalat dalam ketenangan yang sangat menyenangkan hatinya. Salam dengan suara lirih, duduk terdiam diatas sajadah menatap pantulan dirinya sendiri di kaca lemari.
Ia tentu mendengar teriakan Benfa tadi, hanya saja mau di respon bagaimana lagi? Apa yang dia katakan semuanya benar. Herlena membuka mukenanya, kembali berbaring memikirkan takdirnya yang begitu rumit sekali.
Didepan kamar Joe sesekali menatap kedalam, untungnya Nonanya menghadap ke pintu jadi Joe bisa memastikan semuanya baik-baik saja. Ia menatap Arfan yang berjalan layaknya orang tanpa tujuan hidup, lalu duduk dikursi ruang tengah.
Ada apa hari ini? Apakah hari kesedihan?
Joe menggelengkan kepalanya beberapa kali saat pemikiran itu muncul, ia berdiri tegap saat Arfan berjalan kearahnya tepatnya ingin melihat adiknya sendiri. Didalam sana Herlena sedang memejamkan matanya, entah tidur ataukah ingin menghindari kontak Mata dengan Arfan.
"Kamu tau sesuatu?"
Joe mengerutkan keningnya bingung, tidak mengerti kemana arahnya pertanyaan itu.
"Ingatan macam apa yang Adik saya dapatkan kembali?" ulangnya dengan pertanyaan lebih jelas.
"Tidak Dokter, itu bukan ranah saya. Tugas saya hanyalah menjaganya bukan mengorek informasi." jawabnya dengan wajah tenang, Arfan mengangguk paham.
Pergi ke kamar sebelah dan melaksanakan shalat, Joe terus menjaganya sampai pemberitahuan penjaganya didepan membuatnya segera berjalan kesana. Ia selalu hapal apa yang Dokter Benfa katakan padanya, jangan sampai keluarga Jespara masuk kemari.
Membuka pintu apartemen lalu menutupnya dengan cepat, Joe juga tau password kamar ini. Ia menunduk sejenak pertanda menghormati orang yang ada di depannya.
"Saya dilarang masuk?" tanyanya memastikan.
"Benar, sebelum pergi tadi Dokter Benfa melarang orang lain untuk masuk kedalam. Jika ingin menyampaikan sesuatu anda bisa menyampaikannya pada saya." jawabnya dengan wajah tenang,
"Kamu tau identitas aslinya kan? Dan kamu tau siapa saya? Lalu kanapa saya dilarang masuk?"
"Kasih sayang anda begitu diragukan, Bu Ameera. Anda bahkan membiarkannya terluka didepan mata anda sendiri, lalu kenapa saya harus membiarkan Nona saya bertemu dengan orang yang tidak pernah peduli akan keberadaannya sendiri? Tugas saya adalah menjaganya, waspada pada orang-orang yang memungkinan untuk melukainya. Dan anda pernah berada diantara orang-orang itu."
Ameera tetap memasang wajah tenang, "lalu, siapa didalam? Kudengar Qeila pingsan saat masih berada di Jakarta. Dia baik-baik saja?"
"Sedang tidak baik-baik saja, Bu Ameera. Nona sedang dalam proses pemulihan saat ini. Didalam ada dokter Arfan, mungkin akan pulang setelah melaksanakan shalat. Jadi tolong kerjasamanya," Joe tersenyum tipis, pintu apartemen berbunyi dan tak lama kemudian wajah lelah Arfan terlihat.