18 - Hai, Aku Qeila

2105 Kata
Pertemuan yang cukup panjang dan memusingkan tetapi akhirnya bisa kuselesaikan dengan cukup baik, saat ini aku masih duduk ditempat menikmati hidangan makanan yang perusahaan ini sediakan, belum ada yang meninggalkan ruangan ini sama sekali. Ruangan nyaman dan menyenangkan, mereka menyambutku dengan ramah dan terus menerus memujiku karena begitu pintar. "Kami akan menghubungi bu Qeila setelah ini, mungkin kami yang akan berkunjung ke Bandung." Aku tanggapi perkataan pemimpin perusahaan itu dengan tawa kecil. "Tidak perlu, biarkan saya yang kemari. Jika anda yang datang kesana saya malah bingung ingin menyambut anda dimana, mengingat kalau saya ini pekerja lepas, tidak terkontrak dikantor manapun dan tidak berniat membuka kantor sendiri." balasku ramah, senyum tidak kupudarkan sama sekali. "Oh iya? Bukankah di media mengatakan anda adalah tunangan pak Lexion, mungkin jika anda mau beliau dengan senang hati menerima kami di cabang perusahaannya di Bandung." Keningku berkerut bingung, cabang perusahaan? Bandung? Jadi perusahaannya yang ada di Bandung itu hanyalah cabangnya bukan pusatnya? "Jangan bilang kalau bu Qeila tidak tau menahu soal cabang perusahaan itu?" Tebakannya benar sekali. "Dari sini saya yakin kalau bu Qeila tidak memandang Pak Lexion dari segi harta, seperti kebanyakan perempuan pada umumnya, tapi hanya sebagian sih. Pusatnya ada di Jakarta ini, dan di Bandung itu hanyalah cabang saja." "Begitupun dengan Andatio itu? Yang berisi jejeran bisnis keluarganya?" "Iya, benar sekali." Mataku mengerjap beberapa kali, ternyata dia benar-benar sekaya itu. "Kemarin, awalnya saya kaget karena Pak Hedaz, suami dari pemilik toko perhiasan tiba-tiba menuju Bandung padahal dijam yang sama kami mempunyai pertemuan, setelah media mengabarkan akhirnya saya tau. Kalian mengadakan pesta dan pertemuan keluarga." "Pesta? Kami kesana hanya sebagai tamu." elakku cepat, mana mungkin pertemuan dua keluarga. Bukannya percaya, pemimpin perusahaan yang memang duduk dekat denganku malah tertawa pelan. Dia duduk di kursi kebesarannya sedang aku di sisi kanannya, jejeran kursi pertama. Kami berdua sibuk berbincang begitupun dengan yang lain, jadinya mereka mana mendengar apa yang kami bahas. "Melihat ketidaktahuan anda membuat saya kagum, Bu Qeila. Pak Hedaz yang memberitahuku sendiri jika keponakannya sedang melaksanakan pesta di Bandung untuk seseorang dan saya sungguh tidak percaya ternyata perempuan itu adalah anda." Lexion mengadakan pesta itu untukku? Tapi kenapa? "Sepertinya pak Lexion benar-benar mencintai anda. Saya sungguh menantikan sebar undangan kalian, pasti Pak Lexion akan menjadikan anda Ratu." Kepalaku tiba-tiba sakit sesaat setelah dia menyebut kata 'Ratu', ku coba fokuskan kembali dan berhasil. "Lanjutkan makan anda Bu Qeila, tunggullah saya dan tim ke Bandung. Saya juga akan membawa istri saya sekalian untuk berkenalan dengan anda, dari kemarin dia selalu cemburu dan marah. Biasa perempuan, mereka selalu salah mengira." Hanya senyum, padahal umurku dengannya terpaut jauh tapi istrinya malah cemburu padaku? Luar biasa. "Saya masih disini hingga malam, mungkin saya bisa mengatur janji dengannya agar bisa membuatnya tenang. Saya kurang nyaman setelah mengetahuinya." Entah karena dia murah senyum atau bagaimana, dia tertawa lagi. Tapi tetap mengeluarkan ponselnya dan menelepon istrinya. Berbicara dengan binar Cinta yang begitu kentara, apa yang sebenarnya istrinya ragukan padahal rasa Cinta suaminya saja sebesar ini? "Dia bersedia datang, kesini bersama siapa? Mungkin bisa diajak sekalian." Aku merenung, jika aku menyebut nama Benfa dan memperkenalkan sebagai sepupu, dia pasti langsung tau jika aku adalah anak Detan. Tidak, aku ingin Detan lah yang mengumumkannya bukan aku. "Bersama teman, nanti akan saya ajak." "Hmm baiklah, silahkan dinikmati." Kami kembali melanjutkan makan, padahal biasanya orang akan makan di restoran mewah tetapi perusahaan ini berbeda, sengaja membawa hidangan yang begitu banyak setelah pertemuan meeting selesai, dan itu semua adalah untukku. Apa respon Detan jika dia tau? Marah? Murka? Beberapa menit kemudian, semua selesai. Beberapa rekan kerja yang ikut Andil pamit, tinggal aku dan para pekerja dari perusahaan ini. "Saya akan ada pertemuan pribadi dengan Bu Qeila, istri saya juga sudah menunggu disana. Tolong kalau ada janji pertemuan di undur dulu, kalau misalkan bisa di wakilkan minta manager di bidang itu mewakili. Mengerti?" "Mengerti, Pak." Aku kagum pada kepribadiannya yang ramah dan begitu sopan pada sekertarisnya. Kami berdua berjalan keluar ruangan meeting menuju basement. "Bu Qeila dijemput?" "Ya, saya dijemput." Dia fokus kembali berjalan, aku mengamati sekitar ternyata banyak juga yang bekerja disini dan rata-rata umurnya sama sepertiku. Langkah kami terhenti di lobby, jangan mengira kami hanya jalan berdua karena sejak tadi ada asisten pribadinya yang terus mengikut di belakangnya, yang berjalan didepan pun saya, posisi berjalan kami tidak sejajar sama sekali. "Pulang Nyonya?" "Saya baru tau kalau jemputan yang anda maksud adalah dari asisten pribadi Pak Andatio. Saya semakin yakin kalian berdua, yaitu Pak Lexion dan anda, Bu Qeila. Sudah bertunangan." Didalam hati aku merutuki supir kurang kerjaan ini, kenapa harus turun mobil dan menghampiriku? Kan bisa menungguku didalam mobil saja. "Selamat pagi menjelang siang, Pak Paxes. Lama tidak bertemu." Dia tertawa lagi, apa tidak lelah? "Selamat pagi menjelang siang juga Joe, pantas saja semalam saya tidak melihatmu berada di sisi pak Andatio, ternyata menjaga calonnya anaknya bos ya?" Ternyata mereka cukup akrab, dan ini pertama kalinya aku melihat supirku tersenyum lebar. Biasanya senyum singkat saja. "Sudah menjadi pekerjaan saya apapun yang Tuan besar inginkan, kami permisi kalau begitu." "Tidak. Aku akan mengadakan makan siang bersamanya dan juga istrinya. Benfa juga sedang menuju restoran yang sudah istrinya pesankan, ikuti ya." potongku cepat, ini pertama kalinya aku berbicara santai padahal sebelumnya formal. "Baik Nyonya." "Sampai bertemu di restoran itu, Bu Qeila." "Baik Pak Paxes." Kami berpisah, ku ikuti langkah supirku. Sesampainya di sisi mobil, dia dengan cepat membukakan pintu untukku dan setelah aku duduk dia menutupnya kembali, mengemudikan mobil mengikuti mobil milik Pexas didepan sana. "Kenapa anda harus bertemu atau makan siang bersamanya?" tanyanya tiba-tiba, "Apa kamu harus tau?" balasku. Dia terdiam, mungkin saja Joe perlu tau sebagai bentuk pelaporan? "Istrinya sedikit cemburu padaku, aku ingin bertemu denganya. Akun sedikit tidak tenang karena takutnya malah makin melebar, apalagi ini baru pertemuan pertama antar rekan kerja. Takutnya malah berlarut-larut nantinya," Joe tidak menanggapi, hanya menganggukkan kepalanya saja. Perjalanan yang cukup singkat bagiku, karena kini aku telah melangkahkan kakiku masuk kedalam restoran, mungkin ini akan menjadi hari yang cukup panjang untukku. Pertemuan yang menguras otak, kini harus berbuat sopan pada istrinya. Aku hanya ingin menyelesaikan masalah dengan baik, karena takutnya ini akan menjadi bumereng untukku di masa depan nanti. Rasanya kalau boleh jujur, aku begitu bosan keluar masuk restoran terus menerus. Beberapa hari ini waktuku terus dihabiskan di mobil dan restoran. *** Ku hempaskan badanku di ranjang, hari yang sangat melelahkan. Ternyata menjadi pusat perhatian tidak baik, kita harus bisa menjauhi beberapa keadaan agar bisa terus aman. Andaikan bukan karena pekerjaan aku tidak akan pernah mau datang ke Jakarta, sangat tidak menguntungkan. "Jadi pulang engga?" ku tatap Benfa yang berdiri diambang pintu, sedang berstandar disana. "Besok aja, badanku pegel. Telepon Arfan atau Kena untuk memberitahu kalau kita pulangnya besok. Dan terimakasih sudah mau mengikuti keinginanku tentang hubungan keluarga kita." "No problem, apa pun untukmu, Qei. Aku kedapur dulu mau masak sama bibi." Pintu kamar tertutup padahal sebelumnya memang kubiarkan terbuka, kupejamkan mataku sesaat dengan harapan lelah ini bisa menghilang segera. Sepatuku masih terpasang, pakaian yang sama juga masih melekat padahal sudah hampir maghrib. Pertemuan dengan ibu sosialita itu singkat dan dia malah senang mendengarku sudah bertunangan dengan Lexion, padahal itu hanya hoax. Merasa gerah, aku memutuskan untuk mandi dan sekalian berwudhu untuk magrib nanti. Walaupun penampilanku agak jauh dari kata alim, tapi tak pernah sekalipun ku tinggalkan shalat. Dan mengaji? Itu hanyalah hitung jari. 15 menit cukup untuk mandi dan 10 menit untuk berpakaian dan juga melaksanakan shalat, tidak ada skincaran dulu nanti selepas isya saja. Merasa bosan, kuputuskan untuk keluar kamar dengan baju kaos pendek serta celana selutut dan rambut terurai. Ku edarkan pandangan, tidak ada siapapun disini. "Ehh sudah mandi ya?" ku balikkan badan, ternyata Benfa yang datang. "Aku sama bibi buat kue, kamu mau?" dia berjalan masuk dapur, kuikuti dari belakang. "Bi, ini sepupuku. Baru bisa kenalan sekarang soalnya semalam belum sempat terus pagi tadi buru-buru juga." ku ulurkan tanganku sebagai tanda perkenalan bukannya menerima sambutan tanganku, dia malah menatapku terharu. "Bi, itu dia menunggu loh. Namanya Qeila Purnamasari." "Halo Bi, salam kenal. Aku Qeila," kenalku padanya, tangannya menjabat tanganku. "Halo juga Non, terimakasih. Bibi merasa di sangat dihargai." aku tertawa pelan, melepaskan jabatan tangan kami lalu mengusap pundaknya, ku dudukkan tubuhku di kursi. "Harusnya bisa menghargai pembantu dong, mereka sudah membantu bukannya malah makin direndahkan. Walaupun digaji tetap aja, kita mana bisa makan kalau mereka engga ada? Iyasih bisa masak sendiri, tapi gimana kalau sibuk banget engga sempat masak atau keluar beli makanan." Dia menganggukkan kepalanya beberpa kali, memindahkan beberapa potongan kue ke piring. "Dimakan Non, ini kue kesukaannya Non Benfa sejak dulu." dia menyimpan piring itu didepanku, kucoba sepotong dan benar. Rasanya enak. "Aku angkat telepon dulu ya." Benfa berlalu meninggalkanku bersama Bibi di dapur. "Bibi benar-benar terharu." ternyata dia masih membahas tentang sikapku tadi, memangnya ada yang salah ya? Kitakan sama-sama manusia. Kalau ingin berkenalan kan begitu, masa iya cuman perkenalan nama aja. "Makan yang banyak Non, bibi mau cuci bekas bikin kue yang tadi." hanya ku anggukan kepalaku, dia mencuci maka akupun makan, dalam diam tanpa perbincangan sama sekali. Rumah Benfa ini cukup Bagus juga, nyaman tapi masih terasa luas untukku. Rumah impianku adalah tidak begitu luas, jadinya lebih gampang kalau ingin dibersihkan. Bisa punya pembantu, tapi aku lebih suka sendiri, mandiri tanpa harus ditolong terus menerus. Kue yang bibi siapkan sudah habis, memang hanya beberapa potong saja mungkin mengerti kalau aku tidak begitu menyukai makanan manis. Aku berdiri, membawa piring kosong itu padanya. "Ini Bi piringnya, kuenya sudah habis. Lain kali aku akan mencobanya lagi." dia mengangguk antusias, karena tangannya penuh akan busa sabun cuci, ku simpan piring itu didalam wadah besar yang belum di cuci sama sekali. "Aku ke ruang tamu dulu, Bi." "Iya Non." Kembali ke tempat awal, duduk disana. Siluet tubuh Benfa terlihat dari kejauhan, sepertinya masih sibuk teleponan di teras depan. Ku sandarkan tubuhku di sofa, masih ada tumpukan pekerjaan yang menungguku di Bandung sana. Apalagi tadi sebelum berangkat, aku sudah menandatangi kontrak dengan project terbaru. "Apakah harus menjualnya?" "Menjual apa?" "Kemarin aku sempat membuat syal cantik, mengapa aku bilang cantik padahal aku tidak melihatnya sama sekali? Karena aku yakin, apapun yang aku buat akan selalu cantik." "Lucu sekali, mana syalnya? Aku ingin melihatnya." "Hmm, mungkin ada di gubuk belakang. Se-" "Qeila?" kubuka pejaman mataku, Benfa berdiri didepanku dengan senyuman ramahnya sperti biasa. "Sudah selesai teleponnya?" tanyaku, ingatan yang tiba-tiba datang itu akan ku urus nanti. "Sudah, hanya pasien yang sedang kesal karena biasanya aku yang memeriksanya tetapi hari berbeda, temanku yang mengganti sementara. Jadinya pasien itu merajuk, enggan meminum obatnya sama sekali. Dia memang anak yang lucu," "Dia anak kecil?" "Iya, penderita kanker." Aku tidak bersuara lagi, ternyata plafon rumah Benfa cantik juga. "Arfan meminta kita cepat kembali, tapi setelah kujelaskan padanya kalau hari ini kamu padat kegiatan jadinya ia mengerti. Bibi pasti penasaran mengapa aku mempunyai satu sepupu perempuan lain lagi padahal yang ia tau hanya beberapa." Punggungku masih ku sandarkan di sofa sedang Benfa sudah duduk di sofa single. "Kurasa kamu akan dekat dengan istri pak Pexas, rasa kagumnya padamu begitu jelas terlihat. Mungkin saat berkunjung akan membuat om Detan makin kesal dan posisi Tante Ameera semakin terlupakan sebagai panutan. Kamu tidak mengikuti media?" Ku gelengkan kepalaku sebagai jawaban. "Sekarang media mulai menyorot fashionmu, apasaja yang kamu pakai. Untungnya tidak ada media yang mengejar karena penjagaan ketat yang Lexion berikan dan juga ancamnya pada televisi swasta." Badanku menegak, menatap Benfa tidak percaya. "Joe, dia itu asisten pribadinya Pak Andatio sekaligus ketua pengawal di kelaurga besar Andatio, keluarga besar disini sudah mencakup Pak Hadez juga ya, sama Denia dan yang lainnya. Pulang nanti, coba kamu perhatikan sekitar 2 meter dari mobil kita, ada 3 mobil yang mengawal dari jauh." Setelah ini, aku harus membahas hal penting pada Lexi. Membuat pesta tanpa sepengetahuanku, meminta keluarganya datang tanpa persetujuanku, mengumumkan pertunangan kami tanpa adanya izin dariku padahal kami hanyalah sekedar rekan kerja. Lalu sekarang? Dia malah memberikan pengawal padaku tanpa izinku dan memberitahuku terlebih dahulu. "Entah kenapa. Ini hanya penilaianku atau memang kenyataannyalah yang begitu. Lexion mencintaimu tetapi setiap mendekatimu ada kebencian didalam matanya, dan aku pernah melihat itu walaupun hanya beberapa detik saja." Pexas juga mengatakan hal yang sama, tapi mana mungkin? Kami baru bertemu beberapa kali. "Mungkin bisa kamu tanyakan. Kita ini perempuan, Qei. Mau sebodoamat pun tentang Cinta pastinya akan luluh juga kalau terus menerus diperlakukan seperti seorang Ratu. Aku bukannya ingin ikut campur, hanya saja ini sedikit mengusikku. Bagaimana kalau ternyata dia hanya ingin membalas dendam padamu? "Bagaimana caranya dia balas dendam sedangkan kamu mengatakan kalau dia mencintaiku," balasku "Lakilaki lebih mendominankan logika, kamu juga harus memakai logika. Mencintaimu tidak akan menghalanginya untuk melukaimu, Qei." Aah ya, Cinta adalah pilihan terakhir jika nantinya tidak ada jalan keluar sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN