51 - Kegelapan

2040 Kata
"Dimana ini?" tanyaku pada diri sendiri, Sebuah tempat yang kupikir adalah sebuah ruangan, hanya ada suara seorang perempuan yang sedang menangis. "Herlena! Kamu dimana?" aku membalikkan badanku, ruangan yang tadinya gelap berubah menjadi terang. Mataku menatap laki-laki dengan kaos yang warnanya telah memudar, rambutnya acak-acakan, ditangannya terdapat makanan. "Kakak preman?" badanku berbalik lagi, mambulat menatap perempuan yang sebelumnya kulihat didalam cermin. Sebentar, kakak preman? "Hai! Aku bawain kamu sepiring makanan. Kalau engga salah kayaknya nasinya kurang masak, bukan kamu yang masak soalnya." laki-laki itu melewatiku, mendekati perempuan yang katanya bernama Herlena itu. "Kakak kenapa kesini? Nanti kalau yang lainnya tau bagaimana? Bukannya aku dikurung disini?" Aku memperhatikan penampilan perempuan itu, baju yang sepantasnya digunakan sebagai lap, rok kembang sebatas lutut juga mempunyai robek dibagian ujung roknya, tidak memakai alas kaki sama sekali. Jika orang tadi memanggilnya Herlena berarti orang itu adalah aku, aku yang ada di masa lalu tapi ini mustahil terjadi. Bukannya hal seperti ini hanya terjadi pada dunia drama? Lalu kenapa aku bisa merasakannya? "Nasinya benar-benar belum matang, kenapa cepat banget diangkatnya?" "Hm belum matang ya? Aku engga pinter masak nasi nanti kalau keluar dari sini kamu ajarin aku masak ya, biar nantinya kalau istriku engga bisa masak aku yang melakukannya." "Kakak preman sudah punya calonnya?" "Belum, kamu mau?" "Ish! Masa aku? Aku kan perempuan engga sempurna, orangtuaku aja buang aku karena engga sempurna. Tapi jangan kasihan sama aku ya? Sekarang umurku sudah puluhan, dua puluan berarti sudah dewasa, jangan dianggap anak-anak terus." "Hahaha, kalau aku kasi mataku ke kamu terus akunya yang buta, kamu mau jadi isttiku?" "Apasih! Jangan sampai terjadi ya." Kepalaku tiba-tiba sakit sekali, telingaku berdengung membuat mataku terpejam menahan sakit. Suara teriakan dan tembakan tiba-tiba menggema membuatku membuka pejaman mataku kembali, kini berganti lagi. Yang ada sekarang, kakak preman yang ku nilai tampan nan manis itu kini menggendongku lari keluar dari tempat tadi, bergabung bersama yang lainnya berlari masuk kedalam hutan. Kepalaku sakit lagi dan keadaan berganti dipinggir sungai. Aku terpaku menatap diriku sendiri dan juga kakak preman tadi sudah penuh dengan luka,banyak orang mengelilingi kami berdua. "Kumohon bang! Kalian semua bahkan sudah menyentuhnya, menamparnya, membuatnya terluka selama berhari-hari membiarkanku menyasikkan semuanya. Abang tidak melihat kepalanya yang penuh darah?" kujatuhkan badanku di rerumputan, aku duduk tepat disamping tubuhku sendiri yang sedang melemah. Pakaian yang penuh akan darah, tangan penuh memar, rok penuh robekan dan juga rambutku acak-acakan. Inikah aku di masa lalu? Beginikah hancurnya tubuhku? Menyentuh? Aku menghitung berapa orang disini, ada 6 orang. 6 orang? Yang menyentuhku selama berhari-hari lamanya? "Itu tidak sebanding dengan pengkhianatan yang mereka lakukan kepada kita, Akbar. Kamu juga bahkan mambawanya kabur dari saya untungnya saya bisa menemukannya, membuatnya hancur malahan perempuan buta itu tidak akan mampu lagi melanjutkan kehidupannya." aku menangis dalam diam, meratapi tubuhku sendiri. "Aku tau, Bang. Tidakkah semuanya cukup? Abang bahkan mengambil semua apa yang seharusnya dia pertahankan." Aku menatap laki-laki yang sejak tadi kutatap selalu bersamaku, badannya hampir sama sepertiku. Wajahnya penuh luka dan memar, bagian dadanya penuh dengan darah. "Ayo pergi, biarkan mereka berdua mati ditempat ini." Aku menatap gerombolan orang jahat itu pergi, lakilaki yang ternyata bernama Akbar itu bangun dengan tertatih dengan tangan memegang dadanya sembari meringis pelan. Mendekati tubuhku, menggoyangkannya beberapa kali. "Herlena! Bangun, kamu harus selamat. Bukankah kamu ingin melihat apakah Langit si pengecut itu punya pacar atau tidak? Akal sehatnya benar-benar sudah hilang, bukannya tidak masuk akal perempuan buta sepertimu melapor polisi? Kenapa malah percaya begitu saja?" "Kakak preman?" kudekap mulutku sendiri, kenapa suaraku terdengar lemah sekali? Kenapa seorang Qeila yang terkenal kuat malah lemah begini? "Ayo bangun, kamu jangan menyerah. Anggap saja yang terjadi selama beberapa hari ini hanyalah angin lalu, oke? Anggap saja apa yang mereka lakukan padamu hanya sebuah p********n singkat. Ayo bangun," "Mereka menyentuhku kakak, mereka menyentuhku. Hiks... Hiks... Mereka bahkan melakukan hal mengerikan padaku, apa yang harus kulakukan setelah ini? Kenapa kakak tidak pergi sendiri saja? Aku lebih baik mati daripada harus hidup setelah merasakan semua itu." "HERLENA! Kehidupan kamu engga kesana terus. Kamu harus bangun, kamu harus bangun dan keluar dari hutan ini." terlihat dia memaksaku bangun, memapahku berjalan. Aku mengikuti dua orang itu menyelusuri sungai, sesekali singgah karena laki-laki bernama Akbar itu meringis pelan mungkin luka di dadanya makin menjadi-jadi. Senyumnya terus mengembang, kenapa laki-laki setulus ini harus terluka karenaku? "Kakak engga jijik sama aku?" suaraku terdengar lagi. "Tadikan aku sudah membasuh wajahmu dengan air, kamu sudah aman kok. Kita hanya perlu terus berjalan biar bisa keluar dari hutan, kamu harus segera di tolong. Kaki kamu engga papa kan? Mereka injak-injak kaki kamu kemarin, tampar kamu berkali-kali bahkan bos membenturkan kepalamu di batu sungai." "Engga papa kok, kan ada kakak yang selalu menenamiku. Aku dengar mereka juga melakukan hal yang sama pada kakak, harusnya kakak tidak membawaku kabur, harusnya kakak pergi sendiri. Apanya yang sakit?" "Tidak ada yang sakit, Herlena. Badanku masih sehat tanpa luka buktinya masih bisa membantumu berjalan." Kamu berbohong,Akbar. Nyatanya dari belakang badannya terlihat kelelahan. "Herlena!" "Kenapa kak?" "Kamu jangan menyerah setelah sembuh nanti, aku akan memastikan kamu sembuh bahkan mungkin bisa melihat alam semesta. Kamu akan melihat baju-baju yang cantik, model sepatu yang menarik, bangunan yang tinggi." Akbar tertawa pelan, tangan yang satunya masih memegang dadanya, apakah begitu sakit? "Kamu akan berjalan dengan percaya diri, menjadi perempuan sukses di usia dewasa. Kamu akan memperlihatkan pada semua orang kalau kamu bukanlah perempuan lemah, kamu adalah perempuan yang cerdas." Kedua orang didepanku berhenti berjalan, Akbar mendongak jadinya aku ikut menatap keatas sebuah rumah pohon diatas sana. "ANGRA! ANGRA!" "SIAPA?" "Siapa yang kakak panggil? Angra?" "ANGRA! INI AKU AKBAR!" "Kakak preman, siapa Angra?" "Dia itu adiknya Demiz, tinggal dirumah pohon yang Langit buatkan untukmu. Rumah pohon ini tidak diketahui oleh kumpulan orang tadi termasuk bos. Angra yang akan membawa kita keluar hutan, dia tau jalan keluarnya." aku mendongak kembali, lakilaki ternyata. "Kenapa kak? Kenapa badan kalian berdua seperti itu? Semuanya aman kan?" "Tempat kami diketahui pihak kepolisian entah siapa yang melaporkan pada meraka, maaf karena aku harus mengatakan ini tapi kakak kamu sudah meninggal. Kakak kamu menginginkan Herlena tetap hidup, kamu bisa menunjukkan pada saya jalan keluar menuju hutan?" Angra mendongak spertinya berusaha menahan tangisnya sendiri. Akbar melepaskan rangkulannya pada Herlena, membantu tubuhku itu untuk duduk. Apakah aku selemah itu? Bahkan berjalan pun sangat susah sekali. "Kita jalan Bang, sebelum makin malam." Mereka bertiga kembali berjalan, aku terus mengikutinya dari belakang seolah akulah saksi dari semuanya. Apa maksudnya semua ini? Kepalaku yang sakit kembali bahkan lebih sakit dari sebelumnya, kupegang kedua sisi kepalaku. Suasana hutan yang begitu sunyi tergantikan dengan suara mobil yang berlalu lalang, mataku fokus menatap Angra yang memeluk Akbar erat. "Kamu harus sembunyi, jangan pernah menampakkan diri kamu sama siapapun. Kamu tau apa yang terjadi kan? Kamu tau bukan Herlena pelakunya?" "Tau Bang, Dia bukanlah pelakunya. Selama ini aku selalu memantaunya dan Herlena tidak pernah pergi ketempat lain selain pasar, tapi kenapa semua orang menuduhnya seperti itu?" "Karena kakak kamu menyebut namanya sebelum meninggal. Aku belum menanyakan hal ini padanya, tapi kurasa Herlena sempat bertemu kakak kamu sebelum meninggal." Terlihat Angra menatap tubuh lemahku, setelahnya memeluk Akbar sekali lagi. Barulah melambaikan tangannya, saat ada mobil berhenti dia naik, tak lupa tersenyum manis sebagai perpisahan. Semenit setelah kepergian Angra, Akbar meringis pelan memegang dadanya. Kaosnya makin penuh akan darah, seberapa dalam lukanya? Kulihat Akbar berjalan dengan tertatih, memapahku berjalan kedepan. Suara dengungan yang begitu panjang membuatku memejamkan mata, suara kendaraan makin berisik membuat semuanya terasa gelap semua. *** Arfan menghela napasnya pelan, menatap adiknya yang masih memejamkan matanya padahal sudah dua hari berlalu sejak ditemukannya Qeila pingsan didalam toilet. Arfan yang tadinya sebentar lagi sampai dirumahnya kembali memutar balik mobilnya, pergi ke Jakarta lagi dan membawa Qeila bersamanya. Semua orang awalnya tidak setuju tapi Arfan tetap memaksa apalagi dialah yang paling berhak atas Qeila, karena Qeila adalah adiknya tentunya Arfan punya hak penuh atas adiknya sendiri. Kepala penjaga yang selalu menjaga adiknya sudah menjelaskan kronologisnya pada Arfan. Hanya saja sampai sekarang Arfan masih bingung, apa yang diimpikan adiknya, apa yang terjadi dibawah alam sadarnya hingga matanya masih Setia menutup? "Saat saya akhirnya sadar Nona tidak ada diruangan, saya segera mencarinya. Setelah dua puluh menit pencarian total kami berhasil menemukannya didalam kamar mandi perempuan, memeriksa Cctv tidak ada siapapun yang menyakitinya berarti dia pingsan sendirian." Saat ini, Arfan berada di apartemen adiknya sengaja membawanya kemari. Mata Arfan menoleh pada sepupunya yang sejak kemarin selalu menemani Qeila, walaupun orangnya masih terlelap tapi takutnya Qeila baik-baik saja, sejauh ini tidak ada respon apapun. Kemarin, sesaat setelah Arfan membaringkan adiknya. Benfa juga datang masih dengan pakaian pestanya menawarkan diri untuk mengganti pakaian Qeila. Arfan sangat bersyukur mempunyai seorang sepupu sperti itu. "Ini yang aku maksud, aku senang karena kamu membawanya kemari. Tapi Arfan, kamu juga harus pulang karena kamu mempunyai seseorang yang harus kamu selalu temani. Anggap saja begitulah, pergilah." Arfan tertegun, ia kira Benfa tidur. "Tapi Qeila belum sadar juga." tolaklah, tidak rela meninggalkan adiknya. "Ada aku. Sedang Kena? Walaupun ada mama kandungnya yang menemaninya tapi yang tetap dia inginkan pastinya suaminya lah. Aku akan langsung memberimu kabar terbaru kalau ada perkembangan." Benfa berdiri dari duduk malasnya, menarik Arfan keluar dari kamar. "And, kamu jangan lupa di kamar yang itu ada Papaku yang siap siaga membantuku." beritahunya, menunjuk kamar disamping dapur. "Aku akan kemari besok pagi, membawakan kamu makanan hasil masakan Kena. Kamu tidak perlu memesan makanan apalagi apalah itu, bisa kan?" "Bisa, sana pergi." Benfa menutup pintu apartemen sepupunya setelah Arfan pergi, menghempaskan badannya diatas sofa dan memijat pelipisnya yang terasa sangat lelah. Ia lelah dengan keadaan sekarang ini, istirahatnya sangatlah kurang. "Aku titip Qeila sama kamu, saya yakin Arfan sedang kesal sama saya sekarang. Tolong informasikan kalau Qeila sudah sadar, terimakasih atas pertolongannya." Kepalanya semakin pening saat ingatannya ke kejadian kemarin, saat Lexion seperti orang gila berteriak ditempat acara mencari keberadaan Qeila, dia bahkan membubarkan pesta dan fokus mencari keberadaan Qeila. Dan ternyata, perempuan yang suka seenaknya tapi sayangnya lemah itu pingsan didalam toilet. Langsung dibawa Arfan ke Bandung, sebelumnya di tempatnya di salah satu kamar hotel. "Masih belum sadar?" Benfa hanya mengangguk, tangannya masih memijat pelipisnya. "Biar papa yang memantau, kamu masuk kamar saja terus istirahat. Sebelum acara peresmian kamu kurang istirahat juga karena mengurus persiapan terus sekarang ditambah lagi. Masuk sana," ia mendekat, memeluk ayah angkatnya erat. "Capek kan?" tanya Bian. "Capek banget," balas Benfa dengan suara manja, Bian tertawa pelan. "Coba mama kamu masih disini, dia pasti akan cerewet sekali karena Papa malah membiarkan kamu kurang istirahat. Kamu kurang tidur aja Mama kamu khawatirnya kayak gimana, bagaimana kalau dia disini sekarang? Pasti lebih menjadi-jadi omelannya." Benfa hanya tersenyum menanggapi perkataan ayahnya, sejak dulu kedua orang ini begitu menyayanginya. Memang menganggap Herlena juga sebagai anak mereka, tapi Bian dan Naesa lebih memprioritaskan Benfa. Mereka lebih menyayangi Benfa. "Mama juga bakal marah sama aku karena membiarkan anak yang dia sayang kesakitan seperti sekarang. Karena aku yakin banget, Qeila sedang berusaha semaksimal mungkin untuk bangun, tetap waras walaupun ingatan itu makin mendominasinya." Bian mengelus rambut putrinya, Putri cantiknya yang selalu ia anggap seorang anak kecil. "Sesayang sayangnya mama kamu pada anak-anak lain, dia tetap akan memprioritaskan kamu diantara mereka semua. Palingan kalau seandainya mama kamu ada di sini, dia akan memaksa kita untuk makan, istirahat terus mama kamulah yang menjaga Qeila." Kedua orang itu saling diam, barulah beberapa menit kemudian Benfa pamit ingin membersihkan diri agar pikirannya kembali jernih tentunya dengan senang hati Bian biarkan. Sepeninggalan putrinya, Bian merogoh ponselnya menatap foto keluarganya. Bian, Benfa dan Naesa. Keluarga yang sejak dulu selalu Bian jaga baik-baik. Tangannya mengusap layar tepatnya wajah istrinya yang tersenyum sumringah di layar pipih itu, kembali memasukkan ponselnya kedalam saku dan beranjak menuju kamarnya. Sebenarnya kepalanya sedang pening juga, hanya saja kalau Bian memperlihatkan kelemahannya maka takutnya Benfa akan semakin kepikiran. Ia membuka pintu kamar ke ponakannya kamar yang begitu gelap langsung menyambutnya. "Om apa kabar?" Hampir saja Bian menutup pintunya kembali sedetik setelah suara itu menggema, matanya membulat menatap siluet tubuh Qeila sedang duduk dipinggir ranjang dengan rambut terurai panjang tanpa diikat sama sekali. "Oh iya, Kak Benfa sama Tante mana? Aku sedikit menyesal karena melupakan kalian." Bian mundur beberapa langkah, seingatnya Benfa tidak pernah mengatakan Qeila mempunyai kepribadian pribadi lainnya, hanya depresi dan trauma saja tidak sampai ke tahap itu. "Jangan nyalakan lampunya Om,aku suka kegelapan." Bian tidak tau, apa yang sedang terjadi sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN