Sudah pukul 11 malam tapi mataku tidak mau terpejam sama sekali, jadinya aku memilih duduk dipinggir pantai ditemani Joe di belakang sana. Menikmati angin malam ditemani alunan melodi yang sengaja aku putar dari ponsel.
"Nona, saya membawakan Jaket."
"Terimakasih, Joe. Kamu bisa duduk disana," kutunjuk kursi yang Lexion duduki sore tadi, "aku yakin disekeliling tempat ini sudah penuh dengan penjaga." lanjutku lagi.
"Saya akan menjaga anda dari jarak tiga langkah di belakang, Nona."
Hanya kubiarkan saja, kembali kutatap langit malam yang begitu gelap. Bulan saja sudah mulai meninggi pertanda hari mulai semakin malam, entah kenapa mataku tak ingin tidur sama sekali padahal sore tadi semuanya baik-baik saja.
"Ya Tuan?"
Aku menatap ke belakang, ternyata Joe sedang menelepon dengan seseorang. Apa aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri jadinya tidak mendengar deringan ponselnya?
"Nona Qeila sedang berada di pinggir pantai, Tuan. Tadi katanya tidak bisa tidur jadi aku menemaninya di sini, anda bisa kesini."
Pasti Lexion lagi. Aku memutuskan berdiri daripada mendengar petuahnya, memilih duduk menyantai menunggu Lexion kemari, dan benar tak lama kemudian Lexion datang membawa Selimut tebal di tangannya, langsung ia pakaikan untukku.
"Kenapa keluar tidak memanggilku?" tak kujawab, hanya sibuk menatap kedepan.
"Kamu harus menjaga kesehatanmu, Qeila."
Hanya kubalas sebagai gumaman, lebih kupilih merebahkan badanku di kursi santai ini, memejamkan mata karena rasanya begitu nyaman. Mataku terbuka dengan cepat saat mendengar tembakan.
"Engga papa,Qei. Kamu aman." perkataan macam apa itu? Kenapa bisa suara tembakan bisa terdengar tanpa alasan sama sekali?
"Disini sedang tidak aman kan?" tanyaku menatap Joe dan Lexion secara bergantian tetapi mereka menggeleng pertanda belum mau memberitahukanku apa yang terjadi sebenarnya.
Padahal aku kemari ingin liburan, menenangkan pikiranku setelah tertekan beberapa waktu. Kuperbaiki rebahanku kembali, baiklah kalau memang mereka tidak ingin memberikan informasi apapun maka biarkan saja. Itu hak mereka sendiri.
"Joe, tolong bawakan minuman hangat kemari, telepon pelayan saja." kulirik Lexion yang kini duduk yang posisinya sama denganku, bedanya ia tidak menutupi kakinya malahan hanya memakai celana pendek.
Kubuka jaket yang tadinya Joe bawakan untukku, lagian aku sudah memakai sweater tebal. Ku ulurkan jaket itu padanya,
"Apa ini?"
"Pakai, malam ini dingin. Tutup kakimu," ujarku tanpa menatapnya sama sekali, mataku hanya berfokus kedepan. Kudengar tawanya setelahnya menerima jaket yang ku ulurkan. Dari ujung mataku kulihat Lexion melakukan sesuai apa yang aku katakan.
"Kamu berniat tidur disini malam ini?"
"Tidak tau, sejak tadi pikiranku tidak mau tenang. Bukannya terlelap dan bermimpi Indah mataku malah enggan terpejam jadinya aku kemari saja, menikmati angin laut yang begitu damai. Kamu kenapa kemari? Joe bilang tadinya kamu sudah tidur." aku memiringkan badanku, menatapnya dari samping.
Terlihat Lexion melipat kedua tangannya ke belakang kepala menjadikan telapak tangannya sebagai bantal, matanya menatap keatas seolah memang begitu memuja langit.
"Tadinya memang sudah tidur karena kelelahan berpikir plus menemanimu bermain sore tadi, tapi saat aku bangun kulihat dari kejauhan Joe disini makanya ku telepon ternyata kamu disini juga. Kita bisa disini lebih lama kalau kamu mau,"
Aku menggeleng tanpa merubah posisiku masih menatap Lexion dari samping.
"Penampilanmu sekarang juga berbeda sekali," Lexion ikut memiringkan badannya menjadikan lengan kananya sebagai bantal.
"Hm? Memangnya penampilanku dulu bagaimana? Jangan bilang kalau dulunya kamu hanya pura-pura buta padahal aslinya tiap hari bisa melihatku dengan jelas," aku tertawa kecil, lucu sekali.
"Qei?"
Aku meredakan tawaku terlebih dahulu sebelum kembali menatapnya, "kemarin, aku ke tempat itu. Entah apa yang terjadi aku bisa melihat diriku sendiri dan kamu sedang berjalan di hutan, kamu menungguku dari pasar, pakaianmu benar-benar tidak mencerminkan anak yang berasal dari kalangan orang kaya," jujurku,
"Memangnya penampilanku seperti apa?"
Aku memutuskan kontak mata dengan Lexion mencoba memikirkan ulang bagaimana penampilan Lexion saat aku lihat dihutan dua minggu yang lalu. Spertinya sangat berbeda juga.
"Atau itu hanya sekedar ucapan saja?"
"Tidak, aku benar-benar melihatnya."
"Lalu? memangnya dulu penampilanku bagaimana?"
"Pake baju kaos terus jaket levis,celana Jeans terus ada robeknya di lutut. Rambutmu mana rapi begini, malahan berantakan banget, benar kan?" melihat Lexion meringis pelan aku tertawa, berarti ucapanku benar.
"Berarti kita sama dong, sama-sama berubah setelah kejadian itu." tawaku masih ada, berhenti ketika melihat Joe berjalan terburu-buru kearah kami. Bukannya terus padaku dia malah kearah Lexion membisikkan sesuatu pada laki-laki itu.
Melihat rahang Lexion mengeras serta tangannya terkepal erat, juga mendekatnya beberapa penjaga padaku membuatku yakin. Ternyata benar, keadaan kami sedang tidak aman sekarang.
"Mari ikut kami keluar dari tempat ini, Nona. Anda harus kami bawa kembali ke Jakarta atau kami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi," tidak ingin mempersulit pekerjaan Joe, aku menurut.
Aku dikawal masuk langsung menuju mobil tanpa mengambil barang apapun, disusul Lexion duduk disampingku sibuk menelpon seseorang. Mobil melaju, selimut yang tadinya Lexion bawakan untukku juga ikut masuk kedalam mobil, Ia pakaikan untukku.
"Tidurlah," katanya, menurunkan sandaran mobil untukku.
Ya, mobil yang kami tumpangi sekarang berbeda dengan mobil yang kami pakai saat pergi tadi. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyuman,menatap keluar kaca mobil. Yang terlihat hanyalah pepohonan itupun karena bantuan cahaya remang-remang rembulan.
"Apa perlu aku meminta Joe memutarkan musik untukmu?"
"Tidak perlu, ada baiknya kamu mengurus masalah yang terjadi agar cepat selesai. Aku menanggap liburan yang kamu sediakan untukku saat ini gagal, kamu masih hutang acara liburan untukku," dia memasang wajah masam, hanya menyatukan kedua tangannya didepan d**a pertanda memohon maaf.
"Aku tidak ingin menaruh janji terlalu banyak, tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan sarana liburan terbaik untukmu."
"Terserah."
Kudengar helaan napasnya, padahal aku masih ingin disana menikmati lautan yang begitu cantik tapi sudahlah. Masalah yang terjadi sekarang pasti tidak main-main, tunggu sebentar.
"Masalah ini mana mungkin ada sangkut pautnya denganku kan?" tanyaku tiba-tiba, Lexion tak langsung menjawab ia mengangkat ponselnya yang berdering.
Kutegakkan badanku, "Joe! Masalah ini ada hubungannya denganku tidak?" jangan pernah berpikir aku akan menyerah, nyatanya aku akan terus bertanya hingga jawaban yang kumau terdengar.
"Bukan, Nona. Ada saingan Tuan Besar yang menjadikan anda sasarannya untuk menjatuhkan perusahaan, sayangnya Tuan Besar lengah jadinya tidak tau ada penyusup yang berhasil masuk sebagai penjaga. Tapi orang ltu sudah tertangkap hanya saja ditempat tadi kita terkepung, untungnya kami berhasil mengelabui jadi bisa kabur dengan baik..."
"... Untuk sementara, anda akan dibawa ke mension utama Tuan Besar. Anda akan kesana kan?"
Ku hempaskan kembali badanku pada sandaran mobil. Apa ujianku masih panjang? Padahal sebagaimana pun penampilanku tapi tetap menjalankan ibadah dengan baik, kupandang Lexion yang masih sibuk menelpon.
Dia memandangku sejenak sebelum kembali berbicara dengan serius. Dirumah itu aku tidak suka, mereka memang baik tapi rasanya aku kurang bebas. Apa-apa harus dilayani, mau minum saja pelayan yang menuangkan minuman, rasanya terlalu berlebihan.
"Apa tidak ada tempat lain, Joe?" tanyaku dengan suara malas.
"Anda inginnya tempat seperti apa, Nona?"
"Tempat dimana tidak ada pelayan sama sekali, spertinya rumah pribadi Lexion lebih baik daripada rumah utama. Aku lebih memilih tinggal disana daripada dirumah utama. Lagian kan yang penting penjaganya banyak, aku tidak masalah dengan penjaga yang banyak asalkan pelayannya sedikit." jelasku panjang lebar, kulirik Joe di kaca depan dia terlihat menganggukan kepalanya pertanda mengerti.
"Saya akan menelpon Tuan Besar untuk memberitahu keinginan anda, Nona."
"Hmm." balasku malas.
Karena kedua orang ini sibuk dengan ponselnya aku memilih bermain ponsel juga, eh? Dimana ponselku?
"Ponselku? Mana ponselku?" panikku, berniat membuka selimut yang sejak tadi kupakai.
Senyumku mengembang saat Lexion menyodorkan benda pipih itu padaku, kuterima dengan senang hati. Membukanya dan membaca pesan-pesan yang masuk tapi sayangnya tidak pernah kupedulikan. Aku bukan tipikal orang suka berbalas pesan, kalau ada yang penting tinggal telepon saja, selesai.
Hanya k****a saja termasuk pesan Benfa yang menanyakan bagaimana liburanku, pesan Kena dan suaminya memintaku jangan terlalu banyak kegiatan juga beberapa penawaran kerjasama. Aku lebih memilih membuka fitur foto, memotret tanganku diatas selimut putih ini.
Spesial?
Aku terkikik sendiri melihat hasil ketikanku, mengirimnya sebagai story setelahnya keluar dari aplikasi tersebut. Membuka e-mail, ada banyak pesan yang masuk.
"Tidur, Qeila. Ini sudah pukul dua belas lewat." mendengar hal itu aku memeriksa jam yang ada di ujung layar ternyata benar.
00:13
Lama juga ya, biasanya aku tidur jam sebelas itupun karena mempunyai pekerjaan yang begitu banyak. Bukannya mengikuti apa yang Lexion mau, aku malah sibuk membaca pekerjaan, membaca kontrak yang mereka tawarkan.
Pekerjaan adalah duniaku, karena dengan bekerja aku bisa menemukan kebahagiaanku sendiri daripada sibuk mengurus orang mending sibuk memperbanyak uang agar bisa membeli apapun yang aku mau.
"Tidur Qeila." perintahnya kembali, bukannya memejamkan mata aku malah bersenandung pelan menganggap ucapannya tadi hanyalah angin lalu.
Kupegang perutku yang tiba-tiba berbunyi, aku memandang keluar terlihat kami sudah berada di kawasan Jakarta. Aku tersenyum senang di jam segini masih banyak makanan yang terlihat, masih dengan senyum lebar aku memandang Lexion.
"Jangan bilang kamu lapar." sayanganya aku memang lapar.
"Biasanya perempuan takut makan ditengah malam karena katanya sangat berpotensi menaikkan berat badan, kamu malah menginginkannya. Joe, kamu coba cek sekitar sini adakah tempat bisa kita pesan private." ish! Aku tidak suka dengan hal itu.
"Aku pengen makanan warung," Lexion menatapku horor sedetik setelah aku mengatakan hal itu, "kenapa? Memangnya apa yang salah? Joe! Aku pengen makan makanan warung. Mampir dipinggir jalan Raya aja engga perlu private segala, orang kaya mah gitu." protesku, kubuka selimut yang melilit tubuhku sejak tadi.
Celana yang kupakai sepanjang lutut ditemani sweater tebal yang panjangnya sampai paha itupun sweater lengan panjang. Aku hanya memakai sandal jepit tapi aku yakin harganya sangat tidak main-main.
Senyumku mengembang saat mobil benar-benar menepi tak jauh dari warung aneka menu makanan rumahan, perutku makin keroncongan melihat foto-foto menu yang terpampang di sana.
Pintu mobil terbuka, mataku membulat melihat banyaknya penjaga yang kini berdiri mengelilingi warung tersebut, kenapa berlebihan sekali.
"Ayo! Katanya mau makan." Lexion kini berdiri diluar mobil menungguku keluar.
Aku belum keluar, memandang warung itu yang didalamnya agak sedikit ramai. Sebagian orang mengintip dari tempat duduknya pasti mereka mengira aku pamer.
Ayo Qeila, sejak kapan memperdulikan keadaan sekitar?
Kuterima uluran tangan Lexion, kami bergenggaman tangan masuk kedalam warung. Suara bisik-bisik langsung terdengar, aku hanya berusaha tidak memperdulikan mereka langsung menuju lemari kaca menunjuk lauk yang ingin aku makan.
Kupilih tumis kangkung, udang tepung, tumis tahu plus telur dadar. Aku menarik Lexion duduk dikursi plastik, menunggu pemiliknya membawa menu makanan yang aku mau. Biasanya Kena selalu memasak makanan sederhana begini, katanya lebih enak.
Saat makanan datang aku makan dalam diam, Lexion juga ikut makan bersamaku setelah kupaksa. Kami makan ditemani bisik-bisik dari pembeli yang lain, tatapan iri mereka juga tatapan kagumnya. Hanya butuh beberapa menit hingga makanan yang ada dimeja kami benar-benar habis, aku masuk kedalam mobil lebih dulu sedangkan Lexion yang mengurus p********n.
Mobil kembali melaju, Lexion kembali memasangkan selimut untukku katanya kesehatanku lebih penting. Sebagai anak penurut untuk kali ini saja maka tidak kutolak, hanya kuterima segala apa yang dia mau.
"Jadi, aku akan dibawa kemana?" tanyaku setelah beberapa menit mobil berjalan.
"Ke tempat yang anda inginkan, Nona. Penjaga yang Tuan Besar kirimkan juga sudah berada ditempatnya masing-masing." jawab Joe dari depan, aku mengangguk puas. Baguslah, itu lebih baik daripada setres di rumah mewah itu.
Aku tersentak kaget saat Lexion mengenggam tanganku, aku menoleh padanya tapi dia tidak menatapku tapi kearah tab yang ada di pangkuannya. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba berubah menjadi romantis?
"Sebentar saja, Qei. Pikiranku sedang tidak baik tapi harus ada yang kukerjakan, bisa?" pintanya setelah aku berusaha melepaskan genggaman tangan kami.
"Hanya kali ini saja," peringatku, sebelum memperbaiki posisiku agar sedikit berbaring. Seolah mengerti Lexion juga membantuku, semakin menurunkan sandaran kursi untukku.
"Tidur kalau mengantuk jangan dipaksa." bisiknya padaku, mengelus rambutku dengan tangan satunya dan kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Aku menguap beberapa kali tapi pikiranku masih mengajakku berperang, jadinya aku hanya memandang lampu-lampu Jakarta yang Indah. Langitnya yang berbeda dengan Langit Bandung, juga beberapa bangunan tinggi pertanda Jakarta memang pantas dijadikan pusat negara.
Usapan pada tanganku membuatku menoleh pada Lexion, ternyata ibu jarinya mengusap punggung tanganku. Dia tersenyum padaku, padahal aku tau dia lelah sama sepertiku.
"Kamu tidur juga," ujarku dengan suara layaknya bisikan, mataku semakin berat rasanya ditambah Joe kini memasang musik kesukaanku didepan sana.
"Iya, aku tidur setelah sampai rumah nanti. Kamu tidur, bukankah besok harus menghadiri rapat besar?" aku tersenyum dengan mata setengah terpejam, jantungku berdetak sangat kencang didalam sana.
"Kak Langit," panggilku dengan suara lemah, mataku sudah terpejam tapi kesadaranku masih ada.
"Tidurlah. Pikiranmu butuh istirahat." suaranya masih jelas kudengar, usapan ibu jarinya pada punggung tanganku masih bisa kurasakan dengan jelas.
"Kak Langit." panggilku, perlahan kesadaranku menipis.
"Selamat tidur Herlena, terimakasih karena telah menjadi perempuan kuat selama ini." itu adalah suara terakhirnya sebelum aku benar-benar menjemput mimpi.
Terimakasih kembali kak Langit.