6.

2091 Kata
Detak jantungmu, senada dengan laguku. Mencipta nada sendu. *** "Gimana, Bu? Donat aku ada yang beli nggak?" tanya Permata pada salah satu pemilik stand di kantin yang biasa menjual kue basah. Wanita itu tersenyum tipis, ia membuka kotak donat milik Permata agar gadis itu dapat melihatnya dengan jelas, setelah diselidik oleh Permata serta Amira ternyata masih utuh. "Kok nggak ada yang beli yah?" gumam Permata terdengar putus asa. "Padahal donat aku nggak ada racunnya kok." "Sabar, Ta. Sabar ...." Amira mengusap punggung gadis itu, menguatkannya. "Kok cemberut?" Suara itu membuat Permata serta Amira menoleh, mereka cukup terkejut mendapati sosok Tegar sudah berdiri di belakang Permata. Laki-laki itu tersenyum dengan ramah, sangat manis sampai-sampai Permata terpaku tanpa berkedip. "Ng ... ini, Kak. Donatnya Permata," sahut Amira kikuk. "Donatnya kenapa emang?" tanya Tegar menatap dua gadis itu bergantian. Permata masih terpaku sampai tak sanggup bicara sepatah kata pun, ia merasa tak ada pemandangan lain kecuali laki-laki di depannya, terlalu mempesona meski sebatas senyuman sapa. Amira yang gemas melihat temannya hanya diam menyenggol lengan gadis itu, barulah Permata tersadar. "Eh, iya. Apa?" "Donatnya kenapa?" ulang Tegar. Raut Permata yang sempat ceria kembali berubah dalam sekejap, mengingat nasib donatnya yang tidak laku ia kembali murung. "Mungkin belum rezeki, Kak. Masih utuh," sahut gadis itu terdengar kecewa. Tegar meraih kotak berisi donat yang masih utuh itu, "Ini satunya berapa?" "Lima ribu," sahut Permata dan Amira serempak. Tegar mengela napasnya, "Gimana mau ada yang beli kalau yang jualan aja cemberut kayak gitu, yang mau beli takut duluan malah," ujar Tegar mencoba menghiburnya. "Emangnya ada ekspresi lain?" "Ada." Tegar melenggang meninggalkan keduanya membawa kotak berisi donat itu. "Lho, Kak Tegar mau ngapain?" seru Permata. "Mau jualan, plus senyum," sahutnya seraya melempar senyum manis lagi ke arah gadis itu. Permata kembali tertegun, tolong katakan hal apa yang membuat Permata harus mempertahankan rasa kecewanya sekarang? Tidak ada, karena sekarang ia sangat senang melihat Tegar yang melangkah menghampiri satu per satu meja di kantin sembari menawarkan donat miliknya tanpa melepas senyum sedikit pun. Kedua sudut bibir Permata tanpa sadar tertarik, begitu bahagia melihat bantuan tulus itu. Katanya Tegar juga cucu pemilik SMA Gautama sekaligus saudara kembar Bangkit, tapi kenapa dia tak risi sedikit pun melakukan hal itu di depan banyak orang. Kenapa? "Ya ampun, Ta. Kak Tegar benar-benar malaikat, malaikat yang kelihatan," ujar Amira takjub. "Iya, kamu benar. Aku rasa Tuhan sengaja ciptain malaikat yang bisa napas dan bisa senyum, aku nggak ngerti." Tatapan Permata tak lepas menatap laki-laki itu, bagaimana cara Tegar menawarkan dagangannya, cara dia tersenyum ramah pada setiap pembeli. Kaki Permata bergerak menghampiri Tegar yang sibuk memberi uang kembalian pada orang-orang yang bersedia membeli dagangan Permata. Siapa yang tidak ingin membeli jika penjualnya adalah cucu pemilik sekolah, laki-laki tampan dan mendapat seulas senyum yang memukau. "Kakak bantuin aku?" tanya gadis itu yang kini berada di sebelah Tegar, memperhatikannya tengah mengambilkan donat untuk salah satu siswi. Tegar menoleh sejenak, "Iya, kasih tahu gimana jualan yang benar. Pakai senyum ya." "Makasih, Kak. Sini biar aku terusin, nggak enak ngerepotin." Permata mengambil alih kotak itu, ketika ia melihat ke dalam ternyata hanya tinggal beberapa saja. "Biar gue aja, tolongin orang masa setengah-setengah, nanti pahalanya juga segitu dong," ujar Tegar kembali meraih kotak itu dan melanjutkan urusannya, membiarkan Permata tetap diam bersama perasaan yang kian melambung. *** Sedangkan Bangkit makin kesal dengan perilaku Permata yang seenaknya mempermalukan dirinya di depan anak kelas sebelas, mau ditaruh di mana wajahnya sekarang. p****t saja! Adam dan Kevin justru terbahak melihat video di lapangan basket tadi yang sudah menyebar lagi karena ulah oknum tak bertanggung jawab dengan senang hati mengunggahnya. Bangkit meraih ponsel milik Adam, melihat apa yang mereka lihat setelah itu membantingnya hingga benda itu terbelah dua. Itu ponsel Adam! "Astaga! Bangke! Itu hape gue kenapa dibanting, Bang? Masya Allah hatiku terluka," gerutu Adam sembari turun dari meja dan mengambil ponselnya yang tak lagi utuh. "Kurang apa sih gue sampai ditolak sama itu cewek, hah!" Bangkit mengacak rambutnya frustrasi sambil melangkah mondar-mandir di depan dua temannya. Kevin berdecak, dia asyik mengunyah permen karetnya. "Lagian tujuan lo tembak itu cewek bukannya cuma ngetes doang, kan? Kenapa harus gemes kayak gitu, kayak nggak ada cewek lain aja," ujar Kevin. "Benar tuh, ganti juga hape gue, Bangke!" timpal Adam. Bangkit menghentikan langkahnya dan menatap mereka bergantian. "Dia nolak gue, artinya ...." "Artinya dia emang beneran nggak omong doang, dia nggak suka sama lo dari ubun-ubun sampai telapak kaki," sahut Kevin. "Dia beneran nantang gue berarti." Tangan Bangkit mengepal kuat. "Rencana lo selanjutnya apa, Bang?" tanya Kevin. "Benerin hape gue dulu baru lanjutin deh itu rencana. Dosa besar Bangke rusakin hape gue yang harga nolnya ada enam," sela Adam masih kesal dengan ulah Bangkit. Bangkit mengeluarkan dompetnya dari saku celana, mengeluarkan sebuah kartu kredit dan memberikannya pada Adam. "Wah! Mantep lu, Bang! Nggak jadi Bangke deh!" seru Adam kegirangan. "Gue ada rencana nih, gue yakin dia bakal turutin semua mau lo kalau lo berhasil," ujar Kevin, dia turun dari meja dan berbisik selirih mungkin di telinga Bangkit. "Woy! Kenapa bisik-bisik, kena azab lo berdua nggak kasih tahu gue," gerutu Adam. "Berisik diem, monyet!" sergah Kevin, dia kembali berbisik di telinga Bangkit. Setelah itu sebuah seringaian setan akhirnya muncul. "Lo benar, barang itu pasti berharga banget buat dia. Bisa gue coba juga," ujar Bangkit yakin. *** Tegar, Permata dan Amira duduk bertiga di dalam kantin. Mereka jadi pusat perhatian karena ada sosok Tegar di tengah-tengah mereka, tak peduli akan seperti apa orang lain iri terhadap dua gadis itu pasalnya Tegar dikenal sebagai sosok yang cuek tapi bisa mengulas senyumnya kepada semua orang hanya karena Permata, ajaib! Sedari tadi Tegar diam, mengamati Permata yang sibuk memakan bekal nasi gorengnya dengan lahap, ia melirik name tag gadis itu, memastikan bahwa yang diucapkan Bangkit bukanlah omong kosong. Permata Aurora. Tegar kembali terpaku dengan nama itu, kenapa satu makna? Kenapa tiba-tiba gadis itu datang sedangkan yang pernah ada sudah pergi jauh, entah kembali atau tidak. Permata melirik Tegar yang melamun, gadis itu mengangkat tangan kanannya dan melambai di depan wajah Tegar. "Kak? Kak Tegar?" ucap gadis itu mencoba menyadarkan Tegar dari lamunannya. Tegar mengerjap, dia menatap gadis itu. "Maaf, kenapa?" Permata meminum air mineralnya, "Kenapa apanya? Kakak ngelamunin apa?" Tegar menggeleng, "Enggak. Ngomong-ngomong Bangkit hari ini ngapain lo?" Permata dan Amira saling tatap, haruskah Permata mengadukan perbuatan Bangkit di depan lift serta kekonyolannya di lapangan basket saat jam olahraganya tadi. "Kak Bangkit tadi tembak Permata lho, Kak," celetuk Amira tanpa berpikir lebih dulu. Permata melongo melihat temannya berucap dengan begitu mudah. Apa-apaan ini! "Hush! Enggak kok!" sergah Permata. "Bangkit nembak Permata? Serius?" Tiba-tiba saja Tegar tertawa, mencetak kerutan pada kening kedua gadis itu. "Apa yang lucu sih?" tanya Permata kebingungan. "Bangkit bisa tembak cewek? Dia bilang apa?" "Dia bilang gini, Kak," sergah Amira. Gadis itu beranjak, meraih botol air mineral dan mulai mempraktekan adegan Bangkit saat menyatakan cintanya pada Permata. "Permata, lo mau nggak jadi cewek gue? Kalau mau lo terima bunga ini ya?" ucap Amira meniru gaya Bangkit tadi. Tegar kembali terkekeh, sedangkan Permata menatap ke arah lain, kenapa Amira sepolos itu, ingin sekali dia menjitak kepalanya. Setelah berhasil menyelesaikan aktingnya, Amira kembali duduk di sisi Permata. "Terus lo terima nggak?" tanya Tegar. "Enggak." "Kenapa?" "Aku nggak suka sama Bangkit." Jawaban yang padat dan jelas. Tegar manggut-manggut, kenapa Bangkit bisa senekat itu mengatakan perasaannya. Bukankah kemarin dia berkata sendiri bahwa akan membully Permata. Setelah itu Tegar beranjak. "Ya udah, gue pergi dulu ya. Ada urusan lain, inget kalau jualan tuh senyum, jangan cemberut aja. Percuma cantik kalau senyum aja susah," ucap Tegar lalu melenggang pergi keluar dari kantin. Permata hanya bisa menatap punggung laki-laki itu hingga menghilang di balik pintu kantin. *** Gadis itu melangkah sendirian menuju perpustakaan untuk meminjam beberapa buku yang perlu ia pelajari, ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol bertuliskan angka satu. Perpustakaan memang berada di lantai satu, lagipula perjalanan sudah dipersingkat dengan fasilitas lift disetiap lantainya jadi tak perlu bersusah payah menapaki tangga hingga kelelahan. Setelah tiba di lantai satu, Permata bergegas keluar dari lift, ternyata keadaan di koridor cukup sepi apalagi pelajaran memang tengah dilangsungkan. Hanya saja ia memang perlu beberapa materi lain untuk dipelajari di rumah. Gadis itu melangkah menghampiri perpusatakaan yang hanya berjarak sepuluh meter dari posisi lift. Ia tak sadar sedari tadi tengah dibuntuti oleh seseorang, ada Bangkit yang mengikuti langkah gadis itu tanpa mengenakan alas kaki agar Permata tak mendengar derap kakinya akibat ketukan sepatu di lantai, Bangkit sengaja memegangi kedua sepatunya. Ia terpaksa melakukan hal memalukan itu demi satu tujuan, tujuan nakalnya pada gadis itu. Usai Permata masuk ke dalam, Bangkit masih menunggu di luar perpustakaan, mengamati Permata yang sibuk memilih beberapa buku khusus biologi. Setelah mengambil sekitar tiga buku tebal dari rak warna cokelat, Permata memeluknya lalu ia letakan di atas meja dan duduk, membuka salah satu lembar pertama dari buku itu. Bangkit tersenyum miring, ia meletakan sepatunya di atas lantai dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara lalu berjongkok, merayap menghampiri kursi di mana Permata tengah duduk tanpa diketahui gadis itu. Untung saja keadaan di dalam perpustakaan benar-benar sepi tanpa penghuni lain kecuali keduanya, dan penjaga peepustakaan juga tak ada di tempatnya, sepertinya kesalahan Permata datang ke tempat itu kala jam pelajaran berlangsung. Andai orang lain tahu perbuatan konyol Bangkit, sudah pasti ia akan jadi buah bibir tambahan apalagi video pagi tadi masih mengesalkan untuk diingat. Bangkit sudah berjongkok di balik meja tanpa diketahui gadis itu, Permata terlalu sibuk sampai tak sadar ada setan yang mengganggunya. Begitu berhati-hati, kedua tangan Bangkit sibuk melepas pengait gelang kaki warna perak yang melingkar pada pergelangan kaki kanan Permata. Setelah benda itu berhasil ia dapatkan Bangkit tersenyum penuh kemenangan. Kini dia beranjak, berdiri di depan Permata tanpa harus sembunyi lagi. Bangkit berdehem, membuat Permata menengadah dan membulatkan mata usai melihat Bangkit berdiri di sebrang mejanya. "Astaghfirullohaladzim! Ada penampakan! Bismillahirrahmanirrahim allahulaillahaillahuwal hayul-qayum." Bangkit menggebrak meja meski gadis itu tengah sibuk melantunkan doa sambil memejamkan mata, sontak Permata mengerjap beberapa kali. "Kok setannya bisa pukul meja sih? Enggak tembus sih?" gumam Permata. "Gue manusia, gue Bangkit bukan setan." "Maksudnya setan yang baru bangkit dari kubur?" celoteh gadis itu sarkastik. "Terserah elo mau bilang apa, kali ini gue punya sesuatu yang buat lo turutin apa pun mau gue, termasuk keluar dari sekolah ini sekarang juga," ujar Bangkit percaya diri. "Apa?" Bangkit mengangkat gelang kaki Permata pada genggaman tangan kanannya, ia menyeringai puas melihat ekspresi keterkejutan di wajah gadis angkuh itu. "Astaga, itu kan—" Permata membungkuk, kedua tangannya meraba pergelengan kaki dan tak menemukan benda itu. Dia kembali berdiri tegak. "Kamu maling gelang aku yah!" tuduhnya langsung. "Maling? Hah maling? Ngapain juga gue maling barang murahan kayak gini, gue bisa beli sama tokonya juga kalau mau. Gue ambil ini karena pasti berharga banget kan buat lo, hm?" Permata beranjak menghampiri Bangkit, berusaha meraih gelangnya dari tangan Bangkit tapi laki-laki itu terlalu mudah mengelak dan segera memasukan gelang milik Permata ke dalam saku celanannya. "Balikin gelang aku!" hardik Permata. "Itu kenangan dari Ayah, itu berharga buat aku, Bangkit!" "Bodo! Makanya gue ambil karena berharga buat lo, gue mau lo turutin semua mau gue. Niatnya gue mau lo langsung keluar dari sekolah ini, tapi setelah gue pikir-pikir semua itu terlalu mudah buat lo. Hari ini aja lo dua kali buat ulah ke gue, maaf nggak segampang itu ya." Salah satu alis Bangkit naik. "Mau kamu apa!" Permata sangat geram dengan laki-laki di depannya, tiada hentinya remaja itu mengganggu. "Nanti malem lo clubbing sama gue, mau, kan?" Kening Permata mengernyit, "Kamu gila! Aku nggak mau!" "Ya udah, gue buang aja ini gelang sekarang. Dadah." Bangkit melangkah pergi, gadis itu jelas tak mau gelangnya dibuang percuma. Ia melangkah cepat lalu menarik Bangkit dengan keras hingga Permata justru kehilangan keseimbangan begitu pula dengan Bangkit yang tak sengaja mendorong Permata hingga mereka tersungkur ke lantai dengan posisi yang tidak diinginkan. Berada dalam jalur awkward moment. Gadis itu berada di bawah naungan Bangkit, hidung mereka saling bersentuhan dengan tatapan yang sama-sama lekat. Untunglah kedua siku Bangkit menumpu hingga bibir mereka tak bisa bersentuhan. Sama-sama merasakan pertukaran napas yang hangat, Bangkit menelan saliva menatap gadis di bawahnya. Jantung mereka sama-sama berpacu lebih kencang, ini gila! "Dasar m***m!" celoteh Permata membangunkan Bangkit dari lamunannya. Segera Bangkit beranjak begitu pula dengan Permata. "Sini gelang aku! Jangan kamu buang percuma!" pinta Permata lagi, seolah tak terjadi apa-apa antara mereka. "Enggak! Lo ikut gue clubing malam ini. Nanti gue jemput, nggak ada penolakan." Setelah itu Bangkit beranjak pergi dan Permata hanya diam, ternyata dewa keberuntungan sedang tak berpihak padanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN