PROMISE - BAB 5

1537 Kata
Pagi ini aku bersiap-siap untuk pergi ke rumah Abah. Rindu ini sudah tidak tertahankan lagi. Aku tahu pasti ada Dio di sana karena hari ini hari Minggu. Seperti biasa hari Sabtu dan Minggu pasti kumpul di rumah Abah. Itu tradisi dari dulu di keluarga besar opa. Habibi sudah bersiap dari tadi. Dia sudah menungguku mengemasi baju-bajunya. Habibi minta menginap di rumah abah. Ya, sudah aku menurutinya. Padahal aku tidak ingin menginap di sana. Karena aku belum bisa lama-lama bertemu dengan Rania dan Dio. "Sayang, kamu lama sekali," ucap Habibi dengan berdiri di depan pintu. "Iya, sayang. Ini sudah. Ayo berangkat," ajakku pada Habibi. Habibi membawakan tas pakaian yang aku bawa dan memasukan ke dalam mobil. Aku duduk di samping Habibi yang sedang mengemudikan mobilnya. Aku sejenak terdiam memikirkan bagaimana nanti saat bertemu Rania dan Dio. "Kamu kenapa melamun?" tanya Habibi. "Sayang, aku belum siap bertemu Dio dan Rania sebenarnya," jawabku. "Tujuan kamu menemui siapa?" tanya Habibi "Abah, opa, dan bunda, juga calon pengantin, Raffi" jawabku. "Ya sudah, biasa saja dengan Rania Dan Dio. Lagian Rania juga sudah biasa kan, sama kamu?" ucap Habibi. "Iya sih, dia juga sering mengirim pesan padaku. Kadang video call, aku masih tidak enak saja dengan dia," ucapku. "Sayang, sudah, tutup rapat-rapat masa lalu kamu. Mau sampai kapan kamu terbelenggu pada masa lalumu? Setiap manusia memiliki sisi kelam, sayang. Ya, aku sendiri juga pernah," ujar Habibi yang juga mengatakan memiliki masa lalu yang kelam. Aku kira dia memiliki masa lalu yang biasa saja. "Memang masa lalu kamu sekelam masa laluku?" tanyaku. "Iya, punya. Setiap manusia memiliki masa lalu yang kelam, sayang. Dan itu pasti, entah itu kelam atau tidak," jawab Habibi dengan wajah yang sedikit gugup. Dan, entah kenapa setelah menjadi Istri Habibi aku semakin ingin tahu dan penasaran dengan masa lalu Habibi, yang dari dulu dia akan menceritakannya, tapi selau saja aku tak ingin mendengarnya. "Masa lalu dengan pacarmu?" tanya ku dengan penuh penasaran. "Boleh aku jujur? Dan, Mungin ini saatnya aku katakan semuanya pada kamu, sayang. Ya, memang aku menyimpan masa lalu, dan menutupnya rapat-rapat. Karena bagiku, sudahlah, yang berlalu ya sudah berlalu saja. Karena masa depanku ada di depan mata, Ainun. Tapi, aku harus mengatakannya pada kamu, dan kamu harus tahu semua ini," jawab Habibi. "Jujurlah, aku ingin mendengarkan," ucapku. "Iya aku mau jujur. Beberapa tahun yang lalu, entah tahun berapa, sebelum aku mengenal kamu. Aku sudah bertunangan dengan seorang wanita. Dia sama-sama seorang dokter. Dan, karena ada suatu hal, kami gagal menikah, padahal semua rencana sudah disiapkan dengan matang, baju pernikahan, sewa gedung, sewa cathring, dan undangan sudah di bagi, semua gagal," jawab Habibi. "Kenapa bisa gagal menikah?" tanyaku lagi. "Karena orang tua dia, memaksa dia untuk melanjutkan studinya di Belanda. Orang tua dia, ingin dia mengambil Ahli Bedah. Jadi dia harus melanjutkan studinya lagi selama 4 tahun. Dan saat aku mau menikahinya sebelum dia melanjutkan pendidikannya. Orang tua dia tidak memperbolehkan. Ya, mereka mengembalikan semua bawaan aku saat melamar dia. Semua di kembalikan, hanya karena tidak mau anaknya terganggu saat pendidikannya," jelas Habibi. "Kenapa dia mau menuruti orang tuanya?" "Aku tidak tahu, Ainun. Sudah jangan di bahas lagi, karena aku menutup itu sudah lama. Yang terpenting aku sudah jujur dengan kamu soal ini. Biarlah menjadi masa laluku saja. Aku sering bicara dengan kamu, kan? Masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu," "Dan masa depan milik kita," ucapku bersama dengan Habibi. "Dan, aku sampai takut, saat aku akan menikah denganmu, aku takut aku akan gagal menikah lagi. Karena aku sangat mencintaimu, Ainun," ucap Habibi. Aku sejenak terdiam, rasanya ada yang mengganjal di hatiku, mendengar penuturan Habibi yang dulu gagal menikah. Hatiku juga sedikit bertanya-tanya, apa Habibi masih mencintainya? Dan kenapa aku bisa sesesak ini dadanya? Apa aku cemburu? Atau aku takut masa lalu Habibi akan kembali muncul, dan akan mengambil Habibi ku dari sisiku, karena aku belum bisa memberikan hak Habibi. Aku takut, sungguh aku takut sekali, dan baru kali ini aku merasakan takut sekali kehilangan sosok Habibi yang sangat aku cintai. "Dorrr…! Kok jadi ngelamun?" Habibi memegang pundak ku hingga aku sedikit terjingkat. "Sayang, apa kamu masih mencintainya?" tanyaku pada Habibi. Entah kenapa aku berani bertanya seperti itu. Dan pertanyaan itu mewakili perasaanku yang tidak menentu saat ini. "Kamu tanya apa? Kalau aku masih mencintainya, buat apa aku memilihmu menjadi istriku? Yang aku cintai adalah kamu, sayang, karena kamu masa depanku." Habibi menjawab dengan tegas dan membelai pipiku. "Ya kali saja, nama wanita itu siapa, sayang?" tanyaku lagi. "Emmm…Yasmin namanya. Yasmin Pitaloka," jawab Habibi. "Namanya cantik, pasti rupanya juga sangat cantik," ucapku. "Cantik kamu," ucap Habibi. "Jangan seperti itu, tapi aku tidak sempurna, Habibi," ucapku dengan suara lirih. "Siapa bilang, sudah tutup cerita ini. Jangan cemberut. Aku mencintaimu, Aninun. Aku mencintai apa adanya dirimu," ucap Habibi. "Sayang, jika dia kembali, dan ingin bersamamu lagi, apa kamu akan meninggalkanku?" Aku tidak tahu kenapa ucapan itu tiba-tiba keluar dari mulutku. Demi apa aku begitu takut sekali, takut kehilangan Habibiku. "Hei…kamu bicara apa? Jangan bahas ini, aku tidak akan kembali dengan masa laluku, sayang. Aku janji itu. Kita sudah menikah, dan pernikahan bukan untuk main-main," ujar Habibi dengan tegas. "Meskipun aku belum bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, dan belum bisa memberikan hak untukmu?" "Ainun sayang, jangan bahas ini lagi. Hanya kamu yang aku cintai Ainun. Please aku tidak mau bahas ini, karena kau mencintaimu, Ainun." Habibi berkata dengan meyakinkanku. "Iya aku percaya, sudah nyetirnya hati-hati," ucapku dengan mengurai senyum pada Habibi. Padahal hati ini masih sedikit sesak mendengar penuturan Habibi tentang masa lalunya. "Cium dong," pinta Habibi. Aku mencium pipi Habibi dengan mesra. Dia hidupku, dia napasku, aku tidak tahu kalau tidak bertemu Habibi hidupku akan seperti apa. Dan, aku masih saja meraskan sesak di dadaku, karena khawatir Yasmin akan kembali pada Habibi dan mengambil Habibi lagi "Mulai sekarang, aku akan belajar menjadi istri yang baik. Aku harus bisa melayani suamiku. Aku harus bisa," gumamku sambil membayangkan jika Yasmin kembali lagi dan meminta Habibi kembali di sisinya. Aku takut sekali saat ini. ^^^ Setelah lama di perjalanan, akhirnya mobil kami masuk ke halaman rumah Abah. Benar sesuai dugaanku, mobil Dio ada di rumah Abah, mobil Fattah juga ada di rumah. Beruntung ada Fattah, jadi Habibi bisa mengobrol dengan Fattah. Toh, dia sahabatan dengan Fattah sejak lama sekali. Aku memang tidak memberitahukan abah kalau aku pulang ke Indonesia. Karena aku ingin memberi kejutan untuk Abah. Aku turun dari mobil bersama Habibi. Suasana di depan rumah nampak sepi. Paling mereka sedang berkumpul di teras belakang. Karena memang lebih nyaman berkumpul di sana. Aku mengucap salam bersama dengan Habibi dan masuk ke dalam, karena tidak ada sahutan dari mereka. Tante Shita juga ada di sini. "Abah…." panggilku dengan suara lembut pada Abah yang sedang menggendong anak balita, dia sepertinya anaknya Farrel. "Najwa…Habibi." Abah terkejut melihat kedatanganku. "Najwa…cucuku." Opa langsung berjalan dan memelukku erat. "Opa, Najwa kangen." Aku membalas pelukan opa dengan erat dan mencium pipinya. "Kenapa tidak bilang kalian mau datang? Katanya 3 bulan lagi kalian pulangnya? Kalau bilang kami kan menyiapkan pesta kecil-kecilan." Bunda mendekatiku dan memeluk juga menciumku. "Kasihan calon pengantin, sudah ngambek saja, tahu kakaknya tidak pulang," jawab Najwa dengan memeluk dan mencium bundanya. "Hei…peluk Abah, dong," pinta Abah. Aku memeluk Abah yang masih menggendong anak laki-laki yang berusia kurang lebih 1 tahun lebih. "Ini pasti Rindra, kan? Tampan sekali kamu, Nak. Ayo ikut budhe," Aku mencium pipi Rindra yang chubby dan menggemaskan, tapi dia tidak mau di ajak aku. Rindra anaknya Farrel, ya hari ini dia berada di rumah Abah juga bersama Ismi istrinya, juga Tante Shita dan Om Vino. "Yah…malu, ya? Ini budhe Najwa. Masa malu," ucap Rania yang mendakatiku dengan perut yang sudah membuncit dan terlihat seksi. "Najwa…aku kangen kamu." Rania memeluku dan mencium pipiku. "Aku juga kangen kamu, Ran. Ih…senangnya mau dapat Baby Twins" ucapku sambil memeluk Rania. "Ini ibu cantik satunya. Kamu tidak kembar, kan?" Tanyaku pada Shifa yang perutnya juga sudah mulai terlihat membuncit. "Tidak, satu saja. Kasihan Abah dan Bunda, cucunya nanti kembar semua, kan bingung. Kamu kapan, nih? Masih rata perutnya," ucap Shifa. "Sabar, nanti juga di kasih, iya kan, budhe?" Sambung Ismi. "Mana Rana?" Tanyaku. "Dia sedang di Cafe. Dia baru buka cabang lagi katanya," jawab Ismi. Kami semua berkumpul untuk melepas rindu. Entah kenapa saat ini aku sudah biasa saja dengan Rania dan Dio. Bahkan aku tadi memasak bersama dengan Rania dan Shifa untuk makan siang. Aku memang sangat merindukan abah dan opa. Dari selepas makan siang hingga menjelang waktu ashar, aku mengobrol bersama dua laki-laki yang sangat aku rindukan, yaitu abah dan opa. Hari semakin larut, aku dan Habibi sudah berada di dalam kamar. Aku kembali memikirkan Yasmin, mantan tunangan suamiku. Entah kenapa nama itu mengganggu pikiranku malam ini. Habibi sudah tertidur di sampingku dengan memeluk erat tubuhku. Namun, aku masih belum bisa memejamkan mataku. Karena aku masih memikirkan satu nama, yaitu Yasmin. Aku memerhatikan wajah suamiku yang sudah terlelap. Sungguh tampan sekali rupanya. Tapi, kenapa aku tidak bisa melakukannya dengan suamiku? Dan aku sejak tadi memikirkan apa suamiku pernah melakukan hubungan itu saat masih bersama Yasmin? Semua rasa ingin tahuku tentang Yasmin memenuhi pikiranku. "Kenapa belum tidur sayang? Apa aku tampan sekali, dari tadi kamu tak lepas memandangi wajahku?" Habibi berkata tapi masih menutup matanya. "Kamu belum tidur?" Tanyaku. "Kamu juga gelisah dari tadi, gimana aku mau tidur, istriku saja belum terlelap," jawab Habibi. Aku hanya diam melihat wajah Habibi dan mencium bibirnya kilas. Aku benar-benar memikirkan Yasmin, otakku benar-benar penuh karena satu nama, yaitu Yasmin. "Jangan memikirkan Yasmin lagi, ayo tidur. Aku mencintaimu, percayalah, sayang," ucap Habibi. Ya, aku percaya. Aku memeluknya erat, menenggelamkan wajahku pada d**a bidang suamiku yang sekarang menjadi tempat ternyaman untuk ku saat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN