8. Gambaran Keangkuhan

1812 Kata
Bila ayahnya terus saja mendesak Kaivan agar segera menikahi Helena. Beda hal dengan ibunya. Lidya justru terus mencurigai Kaivan masih menjalin hubungan spesial dengan Litani. Kecurigaan Lidya semakin parah sejak Litani kembali dari Samarinda. Karena Kaivan sering pulang larut. Menurut keterangan informan yang dikirim Lidya untuk memata-matai gerak-gerik Kaivan dan Litani, hampir setiap malam Kaivan mengantar Litani pulang ke rumah orang tua angkat Litani. Bahkan tak jarang menyempatkan diri untuk mampir selama satu hingga dua jam di rumah itu. Hal itu membuat Lidya geram bukan main. “Kamu masih saja terus berhubungan dengan perempuan sial itu, ya, Van?” gertak Lidya ketika Kaivan pulang di pukul 12 malam. “Mami ngomong apa, sih? Kalau ada yang mau dibicarakan, besok aja, ya. Aku beneran capek sekarang, Mam.” “Capek apa, sih, kamu? Kerjaan di kantor juga cuma ongkang-ongkang kaki. Terima beres dari semua anak buah yang kamu miliki. Capeknya di mana? Capek habis main sama perempuan pembawa sial itu?” “Astaga, Mami! Kenapa jadi kasar banget kalau ngomong? Mami kalau capek istirahat aja. Jangan melampiaskan rasa capek Mami itu sama orang yang nggak tahu apa-apa.” “Kamu mau berkilah? Perlu Mami kirim bukti kamu masih tetap memiliki hubungan dengan perempuan itu pada Papi? Sekalian saja supaya Papi berhenti memperjuangkan masa depan kamu. Demi Tuhan, Mami sudah capek menghadapi kelakuan kamu, Kaivan!” Tiba-tiba Lidya berteriak histeris. Beruntung wanita itu berteriak tepat di garasi mobil keluarga yang cukup jauh dari rumah utama. Sehingga teriakannya tadi tidak sampai mengganggu istirahat orang satu rumah. “Mami bisa tenang sedikit nggak? Gimana aku mau menjelaskan semuanya pada Mami kalau Mami aja brutal kayak gitu.” Lidya mendengkus dan menepis tangan Kaivan yang berada di depan mulutnya. Dia melengos ketika Kaivan menampilkan wajah memelas padanya. Sungguh menyebalkan ketika Kaivan sudah menunjukkan wajah polosnya itu. Membuat Lidya jadi tidak berdaya setelah ini. Jadi percuma dia berteriak sampai pita suaranya putus, anak laki-laki semata wayangnya itu tidak akan pernah mendengar semua ucapannya. “Apa lagi yang mau kamu jelaskan, Van?” tanya Lidya, masih dengan nada bicara ketus lengkap dengan posisi angkuh, menyilangkan kedua tangan di depan d**a. “Yang pertama, berhenti memata-matai aku. Aku tahu Mami terus mengawasiku sejak rumor kedekatan aku dengan Litani beredar. Kedua, apa salahnya aku tetap mendekati Litani? Aku masih butuh tenaga dan pikirannya, Mam. Setengah dari masa depan NAKA ada di tangan Litani. Kalau sampai aku benar-benar mencampakkan, aku beneran habis sebelum sempat memberi Mami sebuah kebanggaan. Sampai di sini Mami paham?” “Tapi tidak harus menjalin hubungan asmara dengan perempuan itu, Kaivan. Dia itu cuma perempuan yang tidak memiliki asal usul dan latar belakang keluarga yang jelas. Tidak ada yang tahu siapa kedua orang tuanya sampai dia harus membawa gen kesialan seumur hidupnya. Kamu mau memangnya ketularan sialnya juga? Seperti kakekmu?” “Astaga, Mam. Ini abad 21 dan Mami masih berpikiran konservatif seperti itu? Apa Mami mau tetap hidup di era abad 19?” “Terserah kamu mau bilang apa soal Mami. Yang jelas pemikiran Mami soal Litani itu tidak akan berubah.” “Ya, udah. Aku juga akan gitu. Terserah Mami mau punya pemikiran yang bagaimana soal Litani. Tapi berhenti mengganggu dia dan mengawasiku lagi. Kecuali kalau Mami udah nggak mau melihatku ada di rumah ini lagi.” Beberapa tahun silam rumor soal kedekatannya dengan Litani memang sempat berembus. Namun hal itu tidak bisa dibuktikan oleh siapapun karena semua saksi mata mengatakan Kaivan adalah seorang laki-laki yang mudah sekali bergonta ganti pacar. Hampir setiap hari Lidya terus membahas soal itu sampai-sampai membuat Kaivan jengah. Meskipun Lidya menentang hubungannya dengan Litani, Kaivan berusaha memperjuangkan kekasihnya itu. Dia bahkan rela keluar dari rumah orang tuanya karena tidak tahan setiap hari harus berdebat dengan Lidya soal hubungannya dengan Litani. Kaivan sangat mencintai Litani. Dia akan melakukan apa pun demi gadis itu. Namun sayang semakin dewasa tujuan hidup Kaivan yang semula hanya ingin membahagiakan Litani berubah arah 180 derajat menjadi sosok yang ambisius dan serakah. Ayahnya yang telah membentuk pribadinya yang baik menjadi pria dewasa dengan karakter yang buruk. Ayahnya ingin Kaivan yang menjadi penerus NAMA Group menggantikan dirinya yang beberapa tahun lagi akan pensiun. Haidar yakin suatu hari nanti Rafel akan datang untuk merebut kembali NAMA Group darinya. Oleh karena itulah Haidar mempersiapkan putra sulungnya untuk menggantikan posisinya. Niat sang Ayah awalnya baik ingin Kaivan tumbuh menjadi pria yang berkompeten dan disegani banyak orang seperti keturunan Naratama yang lainnya, serta memiliki semangat hidup untuk menjadi penguasa yang berkharisma. Akan tetapi tanggapan Kaivan salah. Dia justru menjadi pria yang memiliki prinsip akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Seperti yang sedang dia lakukan sekarang ini. Dia bahkan rela terlihat layaknya laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat demi bisa melindungi ambisinya sendiri. Lidya menghentakkan salah satu kakinya ke lantai dengan penuh amarah. “Mami pikir dengan keluar dari rumah tua itu kita semua bebas dari pengaruh buruk yang ada di dalam rumah itu akibat pembawa sial. Ternyata Mami salah. Harusnya ketika kamu memutuskan untuk tinggal di apartemen waktu itu, Mami dan Papi mengirim kamu ke luar negeri saja supaya tidak perlu berdekatan dengan perempuan itu,” ucapnya dengan penuh emosi. “Seperti yang Mami lakukan pada Om Rafel, kan? Mami mau membuang aku juga dari keturunan Naratama.” Lidya tidak menjawab pertanyaan Kaivan. Dia memilih untuk pergi dari hadapan Kaivan sebelum anak laki-laki kesayangannya itu membahas lebih jauh soal hal yang dipertanyakannya itu. Dia tidak mau memberi keterangan apalagi penjelasan dalam bentuk apa pun soal itu pada siapapun, tak terkecuali anak-anaknya sendiri. Seluruh bulu kuduk Lidya berdiri mendengar nama itu disebut. Setelah 15 tahun dia tidak pernah mendengar nama itu disebut, kini dia mendengarnya lagi dan yang mengucapkan adalah anaknya sendiri. Ketika kembali ke dalam rumah utama Lidya terus mengusap tengkuk dan tangannya. Entah kenapa seluruh tubuhnya tiba-tiba merasa gatal tapi tidak tahu bagian mana yang mesti digaruk atau digosok untuk menghilangkan rasa gatal itu. Dan hal itu benar-benar menyiksanya. ~~~ Hari ini Litani akan melakukan pertemuan dengan Helena untuk menyampaikan rancangan desain awal untuk konstruksi acara fashion show yang akan diadakan oleh Helena tiga bulan lagi. Asisten pribadi Helena telah melakukan reservasi sebuah restoran ternama dengan ruangan VIP supaya mereka bisa mengobrol dengan santai. Litani tidak curiga sedikitpun. Karena buat dia hal yang lumrah ketika seorang klien menginginkan tempat terbaik untuk membicarakan bisnis besar versi mereka. Padahal menurut Litani itu hanya buang-buang materi dan waktu saja. “Saya Litani. Senang bisa berkenalan dengan Anda,” ujar Litani memperkenalkan dirinya dengan sopan tapi tetap penuh percaya diri. Litani menjabat tangan Helena sambil mengangkat wajahnya dan menatap bola mata Helena dengan tanpa rasa sungkan apalagi takut dibilang tidak sopan. Litani memang tidak suka ada orang yang mencoba mengintimidasinya. Jadi sebelum hal itu terjadi maka sebisa mungkin Litani akan menunjukkan kekuatannya. “Ya, saya sudah tahu. Kaivan bilang akan mengirimkan arsitek NAKA yang namanya Litani,” jawab Helena sambil melengos, seolah enggan menatap Litani. “Tapi perkenalan secara langsung itu memang diperlukan untuk membangun chemistry yang baik dengan klien,” jawab Litani masih berusaha untuk bersikap ramah dan sopan. “Itu berlaku kalau kliennya cuma klien receh,” jawab Helena merendahkan. Litani menarik pelan napasnya dan mengembuskan sepelan mungkin. “Bisa kita mulai presentasinya, Bu Helena?” ucap Litani diakhiri dengan sebuah senyum manis. “Saya belum setua itu dipanggil dengan sebutan Bu Helena. Cukup panggil saja nama saya. Nggak perlu embel-embel Bu.” Meghi yang sedang berada di samping Litani kontan menahan tawa mendengar jawaban Helena. Tiba-tiba dia teringat pada hardikan Litani beberapa hari yang lalu soal embel-embel panggilan Bu pada nama Litani. Dan kini Litani seolah mendapat balasannya karena telah menghardik Meghi waktu itu. “Baiklah, Helena. Bisa kita mulai presentasinya?” ucap Litani masih berusaha menahan rasa kesalnya. Kemudian Litani mulai membuka lembaran yang berisi desain awal hasil karyanya. Meski jenis pekerjaan ini cukup baru bagi Litani, tapi dia berhasil menyelesaikan desain konstruksi panggung fashion show itu dengan baik. Dia mencari referensi selama hampir tiga hari penuh sebelum memulai membuat desain yang kini sedang dia presentasikan di hadapan Helena. “Bagaimana, Helena? Apa ada yang perlu diperbaiki dari desain saya? Atau ada yang mau ditambahkan dan dikurangi mungkin? Silakan utarakan pendapatnya. Saya juga butuh masukan dari klien untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan tentunya memuaskan klien kami,” ujar Litani setelah mengakhiri presentasinya. Helena melempar lembaran desain yang dihasilkan oleh Litani dengan jerih payahnya sendiri di atas meja. “Desain sampah. Katanya kamu arsitek terbaik yang dimiliki NAKA. Hanya segini kemampuan kamu?” ujar Helena tanpa merasa berdosa pada Litani. “Maksud Anda? Saya mengerjakan semuanya itu dengan tekun dan sudah menyesuaikan dengan gambaran kasar yang telah Anda sampaikan pada Pak Kaivan. Saya hanya berusaha untuk menuangkannya ke dalam bentuk desain. Anda boleh memberi saran bahkan kritik sekalipun. Saya akan menerimanya dengan suka cita. Tanpa perlu Anda menghina hasil karya saya.” “Sudahlah, lebih baik saya cari arsitek dan perusahaan konstruksi yang lain saja. Buang-buang waktu saya,” ujar Helena kemudian beranjak dari kursinya padahal makanannya belum juga datang di atas meja makan. Dia lalu pergi begitu saja dari ruang VIP tanpa berpamitan pada Litani. Litani sama sekali tidak panik apalagi dilanda kecemasan berlebih karena hari ini dia telah kehilangan calon klien besar ditambah yang mendapatkan tender adalah kekasihnya sekaligus pemilik NAKA. Litani sama sekali tidak peduli soal itu. Bahkan ketika pramusaji mendorong troli berisi makanan dan minuman yang telah dipesan Helena ke ruang VIP yang masih terdapat Litani dan Meghi di dalamnya, Litani sama sekali tidak meminta Meghi meninggalkan ruang VIP ini seperti yang dilakukan oleh Helena beberapa saat yang lalu. “Kenapa Bu Litani kayak yang sengaja bikin Bu Helena kesel dari awal pertemuan ini?” tanya Meghi tiba-tiba. “Kelihatan banget ya? Sepertinya saya terlalu mendalami peran,” ujar Litani dengan santai lalu mempersilakan Meghi untuk mulai menikmati hidangan yang kini telah berpindah tempat dari troli ke meja makan. “Bu Litani bisa saja. Llalu nanti kita harus memberi laporan apa pada Pak Kaivan, Bu?” “Bilang aja apa adapnya.” “Nggak takut sama Pak Kaivan?” “Takut itu hanya pada Tuhan Yesus, bukan pada sesama manusia,” jawab Litani santai sambil menikmati hidangan yang ada bersama pelawak Uus. Tak lama kemudian Helena kembali ke ruang VIP yang masih terdapat Litani dan Meghi di dalamnya. Litani menatap tanpa dosa ketika Helena kembali. Sementara Meghi menatap malas pada kedatangan Helena. Di depan Litani, Helena melakukan sebuah panggilan telepon lewat ponselnya. Hingga seluruh makanan di atas meja tandas, panggilan telepon Helena masih saja gagal. Entah siapa yang dihubungi oleh Helena. Litani tidak berusaha mencoba menarik simpati Laura sedikit pun lewat lirikannya. Hatinya masih sakit luar biasa akibat perbuatan perempuan seperti Helena yang sama sekali tidak mencerminkan sebuah tata krama. Entah apa yang ada dalam pikiran Helena ketika membuang hasil desain awal yang diciptakan oleh Litani. Litani sama sekali tidak habis pikir sore itu. Percuma cantik kalau attitude nol. Gerutu Litani di dalam hatinya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN