10. Pengumuman Menyakitkan

2115 Kata
Malam ini Litani sudah berdandan dengan cantik dan menawan. Dia sudah menata rambutnya dengan sedemikian rupa. Sederhana tapi tidak meninggalkan kesan anggun di dalamnya. Banyak orang merasa pangling bahkan tak jarang yang mengenali Litani berkat riasan yang dia gunakan malam ini. Make up sederhana itu telah dibuat dengan hati-hati oleh seorang perias yang ahli, yang menonjolkan mata monolidnya yang menawan. Untuk pakaian Litani tampil mengenakan salah satu koleksi luxury brand edisi terbatas yang dibelinya natal tahun lalu setelah menyisihkan gaji pokoknya selama tiga bulan demi sebuah dress organza, dress slip brokat dan tak ketinggalan menenteng clutch hitam dari brand terkemuka, mules shoes bertumit asimetris berwarna senada dengan clutch-nya. Semua itu ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya selama ini. Litani memang tidak suka berbelanja. Tapi sekalinya membeli barang harganya memang tidak tanggung-tanggung dan dia menganggap bahwa barang-barang itu adalah asetnya. Litani tidak kalah mempesona dengan tamu VIP yang hadir dalam acara makan malam mewah yang diadakan di sebuah hotel bintang lima tapi tertutup untuk publik itu. Di acara makan malam ini, dekorasinya berlatar langit berwarna indigo dan penuh dengan awan. Banyak perwakilan dari perusahaan-perusahaan besar yang datang dari seluruh wilayah Asia hingga Australia. Selain NAKA yang diwakili oleh Litani, ada juga perusahaan konstruksi lain yang juga hadir di acara ini. Untuk penataan mejanya, penyelenggara menata dua meja panjang saling berhadapan dengan piring dan peralatan gelas mewah serba putih, serta linen motif batik. Bunga-bunga yang diletakkan di dalam vas kuncup turut menghiasi meja panjang tersebut. Tiba-tiba saja hati kecil Litani berkata dia akan bertemu dengan Kaivan di tempat ini. Namun Litani mencoba menepis perasaan itu. Kekasihnya itu saat ini sedang berada di tempat yang cukup jauh dari Jakarta. Tapi yang tidak terlalu jauh juga kalau ditempuh dengan jet pribadi milik perusahaan. Ditambah lagi tadi ketika masih di dalam mobil perusahaan yang menjemput Litani di rumah, pesannya untuk Kaivan dari beberapa jam yang lalu belum mendapat balasan. Ketika Litani mencoba menelepon untuk memastikan kondisi Kaivan, laki-laki itu hanya berkata bahwa dia sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk membalas pesan Litani. Dari dulu Litani selalu menjadi penurut dan tidak mengganggu jika Kaivan sudah mengatakan sedang tidak bisa diganggu. Tetapi tetap Litani selalu menunjukkan perhatiannya lewat pesan singkat seperti mengucapkan selamat pagi dan selamat malam tanpa memaksa meminta balasan sedikitpun dari Kaivan. Dia berharap ketika mereka tidak bertemu, hubungan mereka tetap baik-baik saja. Memasuki ruang makan malam tertutup terlebih dahulu yang dilakukan oleh Litani adalah mengisi buku tamu. Seorang crew EO menghampiri dan meminta pada Litani untuk mengikuti langkahnya ke dalam ruang makan malam. Di dalam ruangan ini Litani berharap bisa bertemu dengan Kaivan. Namun dia juga takut kalau benar-benar melihat Kaivan tapi sedang melakukan sesuatu hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya sama sekali. Setelah diingatkan oleh crew EO bahwa Litani telah sampai di kursinya, Litani perlahan mengingat tujuannya datang ke sini. Samar-samar dia mendengar seseorang sedang mengobrol, mengatakan bahwa seorang desainer papan atas, anak seorang konglomerat lama akan hadir dalam perhelatan makan malam. Mereka mendapatkan informasi itu dari salah seorang asisten pribadi desainer itu. Apa yang dimaksud wanita sosialita di sampingnya ini adalah Helena? Litani bertanya pada hati kecilnya. Setelah tahu bahwa mereka juga perwakilan sebuah perusahaan seperti dirinya, Litani berpikir mereka pasti hanya sedang mencoba membuat rumor. Seseorang dengan status sosial seperti Helena bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan informasinya hanya dengan menghubungi asistennya. Tidak ada satupun orang yang ada di acara itu yang dikenal Litani. Namun dia berusaha sopan untuk tetap tersenyum ramah pada siapapun yang kebetulan beradu tatap dengannya. Dalam hatinya bertanya apakah salah satu anggota keluarga Naratama selain Kaivan akan hadir dalam acara ini? Apakah mereka akan mengenali Litani? Bagaimana kalau mereka mempermalukan Litani seperti biasanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Litani bahkan sebelum acara belum resmi dimulai. “Litani?” sapa seseorang yang sedang berjalan di belakang kursi Litani. Litani refleks menoleh karena namanya disebut. Dan benar yang dia pikirkan sejak tadi. Dia bertemu dengan anggota keluarga Naratama, Kanza Naratama. Adik bungsu Kaivan yang berusia tiga tahun lebih muda dari Litani. “Kanza?” “Sudah aku bilang berapa kali, jangan pernah berani memanggilku dengan hanya nama saja. Dasar bodoh!” ujar Kanza dengan angkuh. “Bagaimana bisa kamu menghadiri acara penting seperti ini? Dan lihatlah yang kamu pakai itu. Memalukan sekali mengenakan barang-barang KW di acara orang-orang kaya seperti kami.” “Aku mewakili NAKA,” jawab Litani tanpa emosi. Dia malas berurusan dengan Kanza yang memiliki mulut tanpa saringan itu. Dia akan mengatakan apa pun yang ingin keluar dari mulutnya tanpa perlu dipikirkan. Persis seperti ibunya. Batin Litani mengingatkan supaya tidak menjawab lebih jauh soal apa pun yang baru saja mendapat hinaan dari Kanza. “Memangnya direkturnya ke mana? Kaivan juga? Kenapa bukan dia saja yang mewakili?” tanya Kanza dengan sinis. “Kaivan sedang ada pekerjaan di luar kota.” Tiba-tiba Kanza tertawa mengerikan. Sama sekali tidak menunjukkan sisi elegan seorang perempuan yang berasal dari keluarga konglomerat dan berpengaruh sekelas keluarga Naratama. “Dan kamu percaya begitu saja kalau dia sedang mengadakan perjalanan keluar kota? Dasar, ya. Sekali bodoh, kamu itu selamanya bodoh,” ujar Kanza sambil tersenyum penuh arti, kemudian pergi begitu saja. Litani kembali menghadap mejanya. Entah kenapa perasaannya jadi tidak menentu. Ada sesuatu hal yang sedang disembunyikan oleh Kanza dari kata-kata yang keluar begitu saja dari mulut gadis itu. Meski suka asal bicara, terkadang yang keluar dari mulutnya cukup mendekati kenyataan. Litani belajar dari pengalaman selama beberapa tahun tinggal dengan gadis itu. Dan Litani yakin manusia tidak mudah berubah. Apalagi yang menyangkut soal sifat. Litani memutuskan untuk ke restroom sebentar. Entah kenapa dia merasa begitu sesak setelah mendengar ucapan Kanza. Sama sekali bukan tersinggung oleh cemooh gadis itu. Litani sudah terbiasa mendengar Kanza berbicara kasar. Yang membuatnya sekarang sesak adalah ekspresi Kanza ketika mengatakan “Dan kamu percaya begitu saja kalau dia sedang mengadakan perjalanan keluar kota?” Kalimat itu terus terngiang di dalam benak Litani. Dia lalu memutuskan untuk berdiam diri di dalam bilik toilet dan duduk di atas closet yang ditutup untuk menenangkan perasaannya yang tidak tenang sekarang. Terdengar suara beberapa orang memasuki restroom. Awalnya Litani sudah hendak keluar dari tempat persembunyiannya. Namun urung karena obrolan perempuan di luar bilik toilet menarik minatnya. “Nggak mungkin laki-laki itu ada di sini,” ujar salah satu suara. Litani mengenali pemilik suara itu. Itu suara Kanza. “Kamu yakin laki-laki gagah dan tampan tadi itu pamanmu? Bukankah dia terlalu muda untuk menjadi pamanmu?” “Dia anak laki-laki dari pernikahan kedua kakekku. Secara garis keturunan dia adalah adik ayahku. Jadi otomatis dia adalah pamanku. Saat kakek meninggal seluruh aset, harta dan bisnis keluarga diserahkan pada ayahku. Sementara dia tiba-tiba menghilang karena nggak berhak mendapatkan sepeserpun harta kakek. Kalau dihitung-hitung dia pergi sejak 15 tahun yang lalu.” “Pantas saja. Meski tampan dan menawan tapi wajahnya tampak suram dan menyedihkan. Tapi memangnya kamu masih ingat wajahnya setelah belasan tahun nggak ketemu?” “Meskipun dia banyak berubah, tapi tetap saja aku masih ingat wajahnya. Justru dia yang nggak mengenali wajahku.” “Apa kamu akan menyampaikan soal pamanmu itu pada Kak Kiana?” “Entahlah. Tapi Kak Kiana pasti sudah tahu soal ini. Biarkan saja dia tahu sendiri. Aku hanya perlu jadi penonton saja.” “Penonton apa?” “Drama perebutan ahli waris. Dia tiba-tiba muncul ketika ayahku sedang sibuk mempersiapkan Kakak laki-lakiku sebagai penerusnya. Sementara para investor menginginkan pamanku itu yang melanjutkan bisnis keluarga kami. Apalagi yang dicarinya kalau bukan ingin merebut kembali bisnis keluarga yang telah diwariskan kakek pada ayahku. Aku juga nggak yakin Kaivan yang bodoh itu bisa menyaingi pamannya yang terkenal sangat kompeten dalam berbagai bidang dan mewarisi semua sifat positif Kakek? Aku penasaran siapa yang akan jadi pemenangnya,” ujar Kanza dengan senyum sinis di akhir ucapannya. Tiba-tiba seluruh bulu kuduk Litani berdiri mendengar potongan pembicaraan orang-orang di luar sana. Namun yang lebih dia takutkan adalah Kanza menemukan dirinya sedang bersembunyi dan menguping semua pembicaraan gadis itu. “Benarkah? Berarti rumor yang mengatakan kalau Tuan Muda Kedua itu sudah meninggal tidak benar?” “Tentu saja tidak benar. Sudah jangan membicarakan dia lagi. Aku takut ada yang mendengar percakapan ini. Ayo, keluar sekarang juga.” Rasa penasaran Litani sungguh menggantung. Namun dia tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi di tempat persembunyiannya. Dia datang ke hotel bintang lima mengenakan semua asetnya bukan untuk bersembunyi di dalam bilik toilet umum. Ketika keluar dari restroom wanita, dia berjalan dengan menundukkan kepala. Hingga tanpa sengaja kepalanya membentur sesuatu yang cukup keras tapi tidak sampai membuat kepalanya mengalami cedera. “Maaf, saya tidak sengaja,” ujar Litani dengan penuh penyesalan, sambil tetap menundukkan kepalanya. “Berjalanlah dengan kepala tegak supaya tidak menabrak sesuatu yang lebih keras lagi dan menyakiti kepalamu,” ujar suara dalam yang begitu khas. Suaranya tidak nyaring, tapi cukup mampu membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan merasa terintimidasi. Pria itu berjalan melewati Litani tanpa sempat dilihat jelas wajahnya oleh Litani. Litani hanya sempat menoleh dan mendapati tubuh pria itu berjalan dengan tegap mengenakan jas dan celana yang begitu rapi. Mungkin salah satu tamu hotel karena langkahnya berlawanan arah dengan ruangan makan malam. Pikir Litani sederhana. Litani kemudian mempercepat langkahnya kembali ke ruangan makan malam. Ketika dia sampai acara makan malam sudah dimulai. Litani kembali ke kursinya dan menikmati perjamuan makan malam dengan perasaan tak menentu. Dia berusaha memusatkan konsentrasinya pada acara makan malam penting ini. Tak lama setelah dia duduk, Litani menyadari kehadiran seseorang yang menarik perhatiannya di perjamuan. Kehadiran laki-laki yang diyakini Litani adalah pria yang tadi ditabraknya di depan restroom tidak terlalu menarik orang-orang di dekatnya. Hanya Litani yang tertarik untuk memerhatikan wajah itu lebih lama. Litani duduk di seberang laki-laki itu secara diagonal dan dia yakin hampir tidak akan melakukan kontak mata dengannya. Saat berkomunikasi dengan orang lain dia makan sayuran secara perlahan tanpa mengangkat kepalanya. “Bocah tua? Benarkah itu si bocah tua?” ucap Litani dalam batinnya setelah memerhatikan laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa menit terakhir. “Kanza nggak asal bicara kali ini,” gumam Litani sekali lagi. Dia kemudian buru-buru memalingkan wajah ketika laki-laki itu menyadari ada seseorang di seberang meja sedang mengawasinya. Benar kata Kanza, meski laki-laki itu banyak berubah tapi Litani bisa mengenali wajahnya dengan sangat baik. Laki-laki itu masih sama seperti 15 tahun yang lalu, wajahnya minim ekspresi, jarang tersenyum dan tatapannya mampu membuat lawan bicaranya bertekuk lutut dengan mudah. Meski jarang tersenyum namun sekalinya tersenyum ada senyum seperti magnet yang mampu menarik hati perempuan manapun yang menangkap senyum unik itu. Clutch yang berada di atas pahanya bergetar. Litani memutuskan untuk mengeluarkan ponsel untuk melihat siapa yang menghubunginya. Di pop up ponselnya muncul notifikasi pesan dari Kaivan. Kaivan: “Maaf dari tadi benar-benar sibuk. Aku kembali ke Jakarta besok. Makan yang enak ya, jangan terlalu memikirkanku. Kita akan segera bertemu. Aku merindukanmu, Lita.” Bertepatan dengan Litani memasukkan kembali ponselnya ke dalam clutch, tatapannya tertuju pada sosok yang tidak asing sedang naik ke atas panggung. Dia adalah Hikmah Naratama, bersama sosok yang asing di mata Litani. “Di malam yang penting ini, saya Hikmah Naratama ingin menyampaikan suatu hal yang sangat penting dan membahagiakan bagi persahabatan kami. Saya berdiri di sini bukan sebagai pimpinan sebuah perusahaan tetapi sebagai seorang ayah bagi anak laki-laki saya yang bernama Kaivan Naratama. Di hadapan para hadirin sekalian, dengan segala kerendahan hati, perkenankan saya melamar anak gadis sahabat saya yang bernama Helena Kusworo, untuk anak laki-laki saya.” Pria paruh baya yang diperkenalkan Hikmah sebagai sahabatnya yang bernama Kusworo itu tertawa ringan kemudian menepuk bahu Hikmah. Menunjukkan bahwa mereka saling akrab tapi tetap saling menghormati. “Anda terlalu berlebihan. Justru saya yang merasa tersanjung karena putri saya dilamar oleh anggota keluarga Naratama.” “Apakah artinya lamaran saya diterima?” “Tentu saja, Kawan,” ujar Kusworo kemudian merangkul Hikmah. Tak lama kemudian Lidya menyusul naik sembari membawa sebuah baki dengan kotak beludru di atasnya. “Ini persembahan kecil dari kami untuk anak perempuan Anda,” ujar Hikmah menyerahkan kotak berisi cincin berlian ke tangan Kusworo. Kusworo menerima kotak tersebut kemudian diberikan kepada asisten pribadinya. “Sayang sekali anak-anak kita sekarang tidak bisa bergabung dalam acara penting dan membahagiakan ini,” ujarnya. “Tapi saya yakin kebahagiaan ini tersampaikan di hati mereka sekalipun keduanya sedang tidak berada di sini.” Setelah mendapatkan tepuk tangan dari para tamu dalam acara perjamuan makan malam ini, Hikmah dan Kusworo turun dari panggung dan kembali ke kursi masing-masing. Litani mematung di tempatnya sambil mencengkram erat clutch yang ada di atas pahanya. Suasana hatinya benar-benar hancur berantakan saat ini. Detik itu juga Litani meninggalkan ruang perjamuan. Dia tidak peduli lagi pada kepentingannya menghadiri acara makan malam penting ini. Yang dia pedulikan saat ini adalah menemukan tempat yang tepat untuk mengeluarkan segala hal menyesakkan di dalam dadanya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN