Litani berpikir keras mencoba mengingat dimana dia pernah mendengar nama Helena. Namanya seperti tidak asing di telinganya. Dia lalu mencoba mencari informasinya lewat internet. Buru-buru Litani meraih ponselnya yang tergeletak mengenaskan di atas ranjang. Dia mengetikkan nama Helena di mesin pencarian. Dan internet mulai berselancar untuk menemukan semua informasi yang relevan dengan kata kunci yang dimasukkan oleh Litani di mesin pencarian.
Beberapa saat kemudian bermunculan berbagai macam artikel yang menuliskan tentang nama Helena Kusworo di internet. Ternyata Helena adalah seorang sarjana seni lulusan salah satu universitas ternama di Swiss. Dia merupakan seorang desainer muda berbakat dan terkenal di kancah internasional. Namanya bahkan ada di daftar desainer paling dicari oleh rumah mode internasional tahun kemarin. Perempuan berusia 26 tahun itu berasal dari keluarga konglomerat lama, Kusworo Family. Tentu saja Litani tahu kalau nama itu disebut. Siapa yang tidak kenal dengan Kusworo Family. Rasa-rasanya semua orang yang ada di tanah air ini mengenal nama itu sebagai pemilik perusahaan garment terbesar dan menjadi sepuluh orang terkaya di tanah air selama lima tahun berturut-turut sampai sekarang. Namun yang tidak Litani tahu adalah ada salah satu anggota Kusworo yang menjadi seorang desainer. Yang ia tahu hampir seluruh anggota keluarga Kusworo berkecimpung di dunia bisnis dan hukum.
Litani melihat-lihat foto-foto Helena yang beredar di internet. Hanya dua kata yang bisa terlontar dari mulutnya untuk mengungkapkan kekagumannya pada sosok perempuan yang terpaut usia hanya satu tahun lebih tua darinya. Namun dandanan Helena kelihatan lebih mencolok, tampak lebih tua dari usia sebenarnya dan tidak bisa dibandingkan dengan Litani yang lebih sederhana tapi segar dan selalu ceria. Bentuk wajah Helena terlalu tirus dan tubuhnya terlalu kurus mengingat tingginya melewati rata-rata tinggi badan perempuan Indonesia. Beberapa komentar yang mampir di salah satu foto Helena yang beredar di media sosial mengatakan, bahwa Helena hanya cantik secara riasan dan semua yang melekat pada tubuhnya terlihat mahal. Ada lagi komentar lain yang mengatakan, kalau saja Helena bukan berasal dari keluarga kaya, wajahnya sebenarnya biasa saja, tidak ada kelebihannya selain kulitnya yang putih. Komentar lain menuliskan, Helena cukup jadi desainer saja, tidak perlu nyemplung ke dunia hiburan. Dia sama sekali tidak punya bakat dan kelebihan di bidang itu selain keluarganya yang kaya. Sungguh hal itu sangat jauh berbeda dengan Litani yang sederhana dan apa adanya. Gadis itu hanya berdandan lebih ketika harus menghadiri momen-momen tertentu saja.
Saat kecil Litani memang terlihat terlalu biasa saja untuk ukuran anak yang tinggal bersama keluarga konglomerat. Tidak ada yang menonjol dalam diri Litani ketika dia masih kecil. Meski dia bersekolah di sekolah elit sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, tetapi dia sama sekali tidak mengikuti gaya hidup teman-teman sebayanya. Litani sadar diri posisinya di keluarga Naratama hanyalah sebagai seorang anak angkat. Dia bersyukur bisa bersekolah dan makan secara gratis selama tinggal bersama Hikmah Naratama dan istrinya. Litani tidak pernah kekurangan satu apa pun, tapi dia juga tidak pernah meminta lebih dari apa yang telah diberikan oleh orang tua angkatnya. Hal itulah yang mengundang simpati Hikmah Naratama dan istrinya menyukai Litani. Bahkan mereka berharap suatu hari kelak anak laki-laki mereka satu-satunya bisa berjodoh dengan Litani. Sayangnya belum sempat Haidar mengungkapkan hal itu pada anak laki-lakinya dan juga Litani, Tuhan sudah lebih dulu menjemputnya dan meninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya.
Ketika beranjak remaja Litani yang biasa saja tumbuh menjadi gadis yang memiliki mata indah dan sudut matanya unik. Jika dilihat sekilas bentuk matanya seperti almond. Bulu matanya panjang dan lentik tanpa perlu repot menjepit dengan penjepit bulu mata. Tubuhnya tinggi semampai. Tidak terlalu jangkung untuk ukuran perempuan dan juga tidak terlalu kurus atau padat berisi. Semua yang ada pada tubuhnya sangat proporsional. Didukung wajahnya yang menarik dan tidak membosankan. Hal itulah yang pada akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagi Litani untuk kemudian bisa menaklukkan hati Kaivan.
Litani mencoba mengingat-ingat apa pernah bertemu Helena sebelum ini. Akhirnya setelah berperang mengutak atik memori ingatannya, Litani teringat pada kunjungan salah satu anggota keluarga Kusworo yang memiliki firma hukum di kantor NAKA tiga bulan yang lalu. Saat itu perusahaan sedang terjerat kasus tuntutan hukum atas ambruknya sebuah bangunan pertokoan yang menggunakan jasa NAKA dalam proyek pembangunannya. Bangunan tersebut ambruk bagian belakangnya sebelum masa garansi yang diberikan NAKA berakhir. Bangunan itu sudah mulai mengalami kerusakan di tahun pertama dioperasikan. Sementara NAKA memberi garansi kekuatan konstruksi sampai lima tahun. Entah bagaimana caranya kasus itu ditutup dengan pihak NAKA hanya membayar ganti rugi sebesar 5 persen dari total biaya perbaikan yang harusnya dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bentuk ganti rugi. Litani tidak terlalu mengikuti persoalan rumit itu karena bangunan itu bukan tender dari timnya.
Namun Litani sama sekali tidak pernah tahu kapan tepatnya Kaivan dan Helena saling bertemu. Karena selama tiga bulan terakhir hubungannya dengan Kaivan sedang renggang-renggangnya karena mereka dalam masa saling menjaga jarak akibat beredar berita soal hubungannya dengan Kaivan. Dan tak lama setelah itu Litani terbang ke Samarinda dan menetap di sana selama tiga puluh hari.
Apakah saat dia pergi itu menjadi momen yang tepat bagi Kaivan untuk melakukan pendekatan dengan Helena. Ah, kepala Litani rasanya mau pecah memikirkan hal itu. Harusnya dia tidak percaya begitu saja pada Kaivan. Pantas saja sikap kaivan berubah drastis selama Litani berada di Samarinda. Rupanya hatinya tertambat pada gadis lain.
Keesokannya Litani tampak kacau dan muring-muring sepanjang hari. Dia yang terbiasa aktif dengan segala kesibukan pekerjaan harus berdiam diri tak melakukan apa pun di kamar di saat hari kerja efektif. Kalau di hari Sabtu dan Minggu ada di rumah adalah sesuatu yang wajar menurutnya karena dua hari itu dia memang libur kerja.
Yang dilakukan Litani sejak membuka mata di pukul lima pagi setelah baru bisa terlelap pukul dua dini hari adalah keluar masuk kamarnya dengan kepala dipenuhi nama Kaivan dan Helena. Sayangnya semakin keras dia mencoba mencari benang merah antara kedatangan anggota keluarga Kusworo ke kantor beberapa bulan yang lalu dengan kebenaran hubungan spesial yang terjalin antara Kaivan dan Helena, Litani semakin kesulitan bahkan sama sekali tidak bisa menemukan jawabannya. Hal itu tentu saja semakin membuat Litani menggeram frustrasi.
Akhirnya dia menghubungi Meghi untuk meminta bala bantuan dari personal asistennya itu. Saat Meghi tidak langsung menerima panggilan telepon darinya emosi Litani seketika terusik ingin menyemprot gadis lugu itu. Akhirnya setelah percobaan panggilan kedua barulah Meghi menerima telepon Litani.
“Dari mana aja sih? Lama banget ngangkat telponnya?” hardik Litani yang cukup kesal saat itu. Rasa-rasanya Litani tidak mau mendengarkan penjelasan apa pun dari Meghi.
“Dari toilet, Bu. Maaf sudah membuat Bu Litani menunggu terlalu lama,” sesal Meghi.
Tak ada komentar dari Litani. Dia jadi merasa bersalah telah mendamprat bawahannya yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan terlalu fatal beberapa saat yang lalu. Akhirnya dia memilih untuk tidak membahas lagi soal keterlambatan Meghi dalam menerima panggilan telepon dari Litani yang sedang dalam mode kesabaran setipis tisu belah tujuh itu.
“Ada apa Bu Litani menghubungi saya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Meghi sopan setelah tak ada suara selama beberapa saat speaker ponselnya.
“Kamu pernah dengar nama Helena Kusworo nggak?” tanya Litani to the point.
Meghi diam sejenak. Mungkin sedang mencoba mencari tahu nama itu di dalam memori ingatannya. Pikir Litani. “Yang desainer itu, Bu? Adiknya Antonio Kusworo?” jawab Meghi akhirnya.
“Siapa lagi itu Antonio Kusworo?”
“Itu loh, Bu… Masa Bu Litani nggak tahu? Pak Antonia itu pengacara senior di firma hukum Kusworo and partner. Pengacara yang menangani kasus bangunan pertokoan yang ambruk tiga bulan lalu itu.”
“Oh, yang itu. Jadi pengacara itu kakaknya Helena Kusworo?”
“Iya, benar. Kata anak-anak management Helena sama Antonio pernah datang ke kantor. Wagelaseh… Adik kakak pada good looking semua. Mana kaya, pinter, trus good attitude juga. Anak-anak sekantor pada ditraktir Starbuck sama Kak Helena itu. Bebas milih varian apa aja, lagi. Dahlah, asli sultan.”
“Oh, ya? Kapan? Kok, saya nggak tahu mereka datang?” Jantung Litani dilanda gemuruh hebat mendengar satu informasi yang tak pernah diketahuinya itu.
“Waktu itu Bu Litani masih di Samarinda. Saya pas balik ke Jakarta ngurusin dokumen yang butuh tanda tangan basah Pak Kaivan. Rejeki saya datang di waktu yang tepat. Lumayan menghemat dana ngopi tujuh puluh ribu,” jawab Meghi sambil cengengesan.
Tidak ada yang menyampaikan informasi itu pada Litani. Karena orang-orang di kantor NAKA tidak ada satupun yang tahu soal hubungan Litani dan Kaivan. Mereka menganggap Litani tidak akan tertarik pada informasi remeh versi karyawan NAKA yang lain, dan menganggap itu hanyalah sebuah bahan ghibah iseng para kacung untuk mengisi waktu luang mereka. Yang mereka tahu hubungan antara Kaivan dan Litani hanyalah partner kerja dan Litani adalah anak angkat dalam keluarga Naratama yang tentunya menjadi orang penting di NAKA dan satu lagi paling wajib dihindari oleh para bawahan karena dianggap Litani adalah mata-mata bagi si bos. Padahal nasib Litani sama seperti karyawan lainnya. Sama-sama b***k korporat, kacung, bawahan. Tidak ada spesial-spesialnya. Tapi tetap saja image itu seolah melekat dalam diri Litani. Ditambah juga memang pembawaannya yang terlalu serius ketika di kantor. Lengkap sudah dia menjadi salah satu yang wajib dihindari oleh kacung yang lainnya.
“Desainer itu sering maen ke kantor NAKA setelah acara traktiran Starbuck itu?”
“Itu saya belum paham, Bu. Kenapa, Bu? Bu Litani butuh informasi soal itu? Kalau memang butuh biar saya coba cari tahu sama junior arsitek yang ngandang di kantor selama kita di Samarinda,” tawar Meghi.
“Terserah, sih. Saya sebenarnya butuh nggak butuh soal informasi itu.”
“Oh, mungkin Bu Litani dikirim Pak Kaivan ya, buat nyari tahu pendapat karyawan tentang Kak Helena? Menurut saya mereka cocok. Sama-sama good looking, berasal dari kalangan konglomerat dan sama-sama punya otak gemilang,” puji Meghi tidak ada hentinya. “Nggak kebayang kayak apa nanti kalau mereka berdua punya anak. Pasti ganteng dan cantik anak-anaknya.”
Jujur Litani muak pada setiap pujian yang dilontarkan oleh personal assistant-nya itu. Padahal gadis itu juga baru sekali ketemu perempuan yang bernama Helena. Tapi sudah bilang cocok-cocok saja. Gerutu Litani setelah panggilan telepon berakhir. Namun dia tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan pujian-pujian pada Helena yang dilontarkan oleh Meghi beberapa saat yang lalu. Tidak mungkin dia berteriak keras di speaker ponsel mengatakan bahwa dia adalah kekasih Kaivan. Yang ada semuanya akan kacau balau. Litani akan kehilangan segalanya kalau sampai nekat melakukan hal itu. Dia tahu mulut Meghi bisa disumpal rapat jika menyangkut soal pekerjaan. Tapi di luar itu, mulutnya akan jadi seperti petasan imlek.
Litani cukup berminat pada hasil informasi yang ditawarkan oleh Meghi. Dia bahkan sampai berpura-pura menjadi seperti yang dikatakan oleh Meghi demi bisa meminta bantuan Meghi untuk mencari tahu soal Helena dari junior arsitek atau karyawan lain yang kebetulan tidak ada kerja lapangan selama dirinya berada di Samarinda.
Jantung Litani berdebar tak menentu menanti kabar dari Meghi. Gadis itu menjanjikan akan memberi informasinya setelah makan siang karena dia baru bisa mencari informasinya saat jam istirahat makan siang.
Kalaupun kecurigaannya memang terbukti benar, apa yang harus dia lakukan sekarang? Mundur dan merelakan Kaivan begitu saja? Ah, tidak, tidak. Hal itu akan menjadi alternatif terakhir yang akan diambilnya untuk hubungannya dengan Kaivan. Namun bila mengingat kebiasaan keluarga Naratama yang sudah menyiapkan jodoh untuk masing-masing anggota keluarga yang dianggap sudah siap menikah, rasanya nyali Litani sudah terlanjur ciut duluan sebelum melangkah maju untuk mempertahankan Kaivan tetap berada di sisinya.
~~~
^vee^