Keesokan harinya, beneran Tania bangun kesiangan. Matahari sudah lumayan tinggi dan sejam lagi waktu Zuhur tiba. Setelah mematikan lampu teras, Tania mencuci muka dan gosok tinggi. Dia ingin tahu siapa orang yang tinggal di sebelah. Biasanya kalau hari libur semua orang ada di rumah dan sibuk beraktivitas. Kemarin dia nggak sempat lihat ke sana kemari karena terlalu sibuk pindahan. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk bersosialisasi.
Tania membuka pintu depan dan merasakan angin kering berembus masuk. Halaman depannya memang masih gersang. Beberapa rumah di sekitarnya malah belum renovasi sehingga belum memiliki teras. Ditambah lagi karena cluster baru, belum ada pohon rindang di pinggir jalan. Semua pohon yang ada seperti baru ditanam dan masih berjuang tumbuh di tengah udara Batam yang menyengat.
Rumah sebelahnya sudah renovasi. Tania tidak bisa melihat ke arah terasnya karena terhalang tembok. Dia harus cari alasan supaya bisa mengintip ke sebelah. Dilihatnya ibu depan rumah sedang menjemur baju. Wanita muda, mungkin sepantaran dirinya. Ada anak kecil yang bermain air di dekatnya. Usianya memang sudah matang untuk berumah tangga, hanya saja takdir jodoh belum berpihak padanya.
“Bu, maaf,” tegur Tania pada ibu muda itu. Wajahnya manis. Kulit sawo matang dengan tubuh semampai. Tipikal wajahnya mengingatkan Tania pada temannya sewaktu SMA. Orang Jawa. Manis juga seperti ibu ini.
“Iya, kenapa?” Ibu itu memandang dan menilai Tania. Dia baru bangun tidur. Muka tanpa makeup dan rambut seperti singa, lupa diikat.
“Saya tinggal di depan,” katanya menunjuk ke arah rumahnya.
“Oh, selamat datang di lingkungan sini. Aku Wulan. Orang sini biasa memanggil aku Mama Rangga. Itu nama anak aku. Baru satu,” tunjuknya pada anak kecil yang bermain air. Usianya sekitar dua tahunan atau lebih. Tubuhnya imut sekali dan rambutnya panjang. Pertama melihat dikiranya itu anak perempuan, ternyata laki-laki. Ternyata Wulan ini mahmud abas. Mamah muda anak baru satu.
“Saya Tania. Masih single.”
“Wah enak, ya. Masih gadis tapi sudah punya rumah. Eh, itu rumah sendiri, kan? Atau ngontrak?”
“Alhamdulillah, rumah sendiri.”
Wulan tersenyum dibuat-buat. Maksudnya apa, ya? Nggak percaya?
“Emang kerja di mana?”
“Paramedia. Pernah dengar? Perusahaan tv berbayar. Masih satu grup dengan obat sakit kepala dan developer yang terkenal itu.”
Ibu muda itu hanya mengangguk dan tersenyum basa basi. Sepertinya dia nggak tahu. Mungkin kalau Tania ngomong soal sinetron Tali Cinta dia baru akan paham.
“Kalau rumah Pak RT di mana, ya Bu? Saya mau lapor.” Tania melanjutkan basa basinya, Pak RT selalu menjadi alasan yang tepat untuk mencari informasi.
“Oh, di blok J. Nanti ada tulisannya, Ketua RT. Dari sini ke bawah, mentok, belok kiri. Disitu sudah blok J semua.”
Tania mengangguk paham. Sekarang saatnya dia mengatakan alasan yang sebenarnya sampai dia mau berbasa basi seperti ini.
“Yang tinggal di sebelah saya siapa, ya, Bu. Dari kemarin rumahnya tutupan. Apa ada orangnya atau tidak, ya?”
Wulan memandangi Tania curiga. Sepertinya alasan Tania terlalu mengada-ngada atau memang ada alasan lain bagi Wulan buat curiga? Tania harus segera memikirkan alasan baru.
“Ngg, anu ... itu ... saya mau syukuran rumah jadi sedang menghitung orang-orang sini untuk katering,” katanya sambil tersenyum bodoh. Bersikap bodoh juga cara terbaik untuk mengelabui orang. Biasanya cara ini mempan ketika berhadapan dengan orang-orang yang sok tau dan sok pintar.
“Oh, syukuran. Kalau dia, sih nggak usah diundang. Orang sibuk!”
“Suami istri kerja semua, ya?”
Wulan tertawa. Entah apa yang lucu dari pertanyaan Tania.
“Mana ada istrinya. Orang dia duda, kok. Tinggal sendiran.” Wulan mencondongkan tubuh ke arah Tania. “Duren. Duda keren. Tapi kamu jangan coba-coba menggoda, karena dia itu idola ibu-ibu kompleks.”
Wajah Tania mendadak kebas. Bukan karena ancaman dari Wulan menakutinya. Tapi karena status tetangga sebelah yang teramat sangat mengganggunya.
Kalau dia duda dan tinggal sendirian, terus suara perempuan itu ... siapa, dong?
***
“Kalau dia duda dan tinggal sendirian, berarti yang semalam itu dia bawa cewek nginep di sini? Atau cewek cuma jadi partner sekss doang? Berengsekk juga tu cowok! Sekeren apa, sih dia sampai dibilang idola ibu-ibu?”
Tania melipat tangannya dan duduk bersila di atas kasur. Obrolannya dengan Wulan tadi sangat menganggunya. Masa ada orang mesuum di sebelah tidak ada yang protes. Atau warga sini nggak ada yang tahu?
“Udah berapa lama coba dia bawa cewek ke sini. Jangan-jangan sering lagi. Tapi nggak ketahuan. Ya iyalah orang dulu nggak ada tetangga di sebelahnya.”
Tania terlihat kesal. Dia merasa harus melaporkan perbuatan mesuum orang sebelah. Kebetulan dia belum laporan ke RT, nanti malam dia berencana melaporkan kepindahannya ke kompleks ini.
“Sekalian ntar mau gue laporin tu si duda. Enak aja bawa cewek dan berbuat mesuum. Dia pikir tinggal di mana? Di tempat prostitusii. Dolly dah tutup woii!” teriak Tania ke tembok sebelah. Dia tahu kalau rumah itu kosong.
Wulan cerita kalau duda yang katanya keren itu, jarang ada di rumah. “Nggak tau kapan dia balik atau pergi. Rumahnya gitu terus. Tutupan. Kadang mobilnya masuk garasi malam banget tapi pagi-pagi udah nggak ada.”
Dalam hati Tania berseru, pantesan saja nggak pernah ketangkep, dia masuk rumah ketika orang dah tidur, keluar rumah pas orang-orang masih tidur. Pinterrr .
Malamnya, setelah menyiapkan foto copy KTP dan KK, Tania pergi ke rumah Pak RT. Dia menyampaikan maksudnya untuk melapor sebagai warga baru.
“Jadi Bu Tania ini manager marketing Paramedia? Bisa, dong nanti pasang tiang di perumahan kita? Kebetulan di sini belum ada jalur wifi dan TV berbayar.”
“Bisa diatur, Pak. Asal perjanjiannya pas. Warga maunya gimana?”
“Ah, kalau warga, sih itu gimana saya. Kan, saya RT –nya. Biasanya tawarannya gimana, tuh, Bu?”
“Macem-macem, Pak. Ada yang di perumahannya dikenakan sewa perbulan untuk satu tiang. Atau ada yang minta wifi gratis di beberapa titik. Ada juga yang minta diskon p********n bulanan untuk warga. Tergantung kesepakatan saja.”
Pak RT manggut-manggut. Sepertinya dia sedang menimbang mau meminta apa. Tentunya yang komisinya besar bagi dia. Karena jadi RT bukan perkara mudah. Sudahlah warga yang diurusi suka banyak maunya, uang untuk RT nggak ada. Sama seperti kerja sosial tapi bonus makan hati. Lingkungan nggak beres RT yang dicaci tapi kalau lingkungan nyaman, RT juga nggak dapat apa-apa. Makanya nggak heran kalau banyak RT yang bermain.
“Nanti saya pikirkan lagi, Bu. Yang jelas karena Ibu tinggal di sini, prioritas saya kasih ke Ibu.”
“Terima kasih, Pak. O iya, sekalian saya mau tanya tentang tetangga sebelah saya, Pak. “
“Siapa? Bu Isma atau Pak Aryo yang duda itu?”
Duda. Kata itu muncul terus hari ini. kalau di twitter mungkin sudah masuk trending topik.
“Iya Pak Aryo.” Oh, jadi namanya Aryo. Catet!
“Wah, beruntung Ibu tetanggaan sama dia. Orangnya baik banget, Bu. Dermawan. Kalau ada kegiatan di sini, suka nyumbang-nyumbang. Apalagi kalau ada event hari besar, dia itu donatur paling besar. Cuma ya ... dia itu sibuk. Jarang di rumah dan jarang pulang. Ngomong-ngomong kenapa dengan dia, ya, Bu? Apa ada masalah?”
Tania tersenyum miris. Kayaknya nggak jadi dia laporan. Mendengar bagaimana Pak RT membangga-banggakan Aryo, sepertinya dia bakalan kalah suara. Mana mungkin Pak RT bakalan percaya sama omongannya sebagai warga embrio di lingkungan ini? Saingannya warga teladan idola emak-emak. Bisa-bisa nanti malah dia yang dituduh memfitnah.
“Nggak papa, Pak. Iya dia memang baik.”
'Baik dari Hongkong? Awas saja, akan gue buktiin kalau si Aryo ini nggak sebagus itu reputasinya. Dasar dumes! Duda mesuummm!''©