“Berengsekk Aryo! Sudah gila, ya dia! Apa-apaan coba pake live sexx kayak tadi. Mau ngerjain aku nggak gini caranya. Ini, sih pelecehan! Nggak bisa. Aku nggak bisa diem aja diperlakukan kayak gini. Kalau perlu aku bakal pindah dari sini.” Tania menyelimuti tubuhnya hingga kepala. Membenamkan diri dalam gelao dan berusaha mengusir bayangan-bayangan gerakan erotiss tadi dan juga desahan perempuan lucknut yang keenakan merasakan ulernya Aryo.
Namun sampai pagi menjelang, Tania sulit tidur. Kepalanya pening. Dia berniat menyeduh kopi untuk memaksa matanya membuka. Seketika dia ingat kalau kemarin sudah mengerjai kopinya Aryo. Mungkin itu yang membuat Aryo membalasnya dengan melakukan live sexx seperti semalam.
Tubuh Tania merinding disko mengingat tontonan semalam. Bukannya mau sok virgin, tapi memang Tania belum pernah melakukan hal itu meski dulu dia hampir menikah. Anggap aja dia kolot, tapi dia punya prinsip kalau hanya melakukan hubungan suami istri dengan pasangan sahnya saja. Sebelumnya, ya mereka pacaran sewajarnya dan menyentuh sewajarnya.
Tapi yang dilakukan Aryo memang kelewat batas. Tidak sepatutnya dia mempertontonkan hal seperti itu kepada Tania meski dia dendam atau begitu benci padanya. Kini Tania trauma dan merasa ketakutan sendiri. Dia takut kalau sewaktu-waktu Aryo betul-betul kelewat batas. Kemarin saja dia menciumnya secara paksa, meninggalkan gelenyar aneh dalam diri Tania.
Pagi ini nasib Tania sedikit sial karena sudah setengah jam berlalu dan dia belum juga mendapatkan ojek online. Taksi online juga sepi. Sepertinya hari ini semua pengemudi dibooking oleh sultan, karena dari berpukuh atau bahkan beratus pengemudi di kawasannya, tidak satu pun yang terlihat di map.
“Apes dah. Kayaknya aku kudu naik angkot.” Tania memutuskan berjalan ke gerbang depan perumahan yang jaraknya lumayan, dengan heelsnya jarak yang seharusnya dekat mendadak menjauh tiga kali lipat.
‘Tin!’ Klakson mobil di belakangnya nyaris membuatnya melompat. Tania menoleh. Mobil Aryo berjalan pelan dan pengemudinya melambai dari balik setir.
Tania mempercepat langkahnya. Suasana hatinya tidak nyaman setelah kejadian semalam dan dia tidak mau menambah buruk. Tania harus bekerja hari ini apalagi perusahaan yang dia pimpin sedang merencanakan event besar.
“Ayo naik! Aku antar sampai depan kantor!” Aryo memajukan mobilnya hingga beriringan dengan Tania. Sama sekali Tania tidak menoleh ke arah Aryo dan malah mempercepat langkahnya. Perasaannya nggak enak dan dia merasa nggak nyaman berdekatan sama Aryo.
“Nggak usah sok jual mahal. Sayang sepatu mahalnya kalau harus jalan sampai depan.” Suara Aryo seperti ejekan yang bisa membakar tubuh Tania sampai gosong.
“Sok banget, sih. Udah bagus ada orang yang nawarin tumpangan. Ini udah jam berapa, kamu nanti bisa terlambat. Emang kamu kerja di perusahaan nenek moyangmu? Di sini telat dikit potong gaji. Nggak usah sok nggak butuh. Hari ini juga nggak bakal ada ojek onlen. Semua lagi demo di kantor walikota!”
Oh, gitu rupanya. Ada demo hari ini. Pantesan nggak ada driver online yang stand by.
Tapi Tania nggak mau menyerah sama tawaran Aryo. Mending dia jalan sampai kantor dari pada harus satu mobil dengan lelaki mesuum yang membuatnya takut.
“Kamu sakit gigi? Atau mulutmu bau, ya nggak ada air buat gosok gigi tadi pagi? Dari tadi mingkem aja.” Godaan Aryo lama-lama nggak lucu. Sudah mengarah ke ejekan kasar kalau gini. Tapi Tania masih berusaha sabar. Sedikit lagi dia sampai di depan gerbang.
“Ah, sial. Dasar cewek kolot. Sok kecakepan! Udah bagus ditawari malah nggak mau.” Aryo akhirnya menyerah setelah Tania menyeberang jalan berniat naik ke angkot merah muda yang menunggunya.
Di dalam angkot, Tania bisa bernapas lega. Mobil merah Aryo melewati angkot yang dia naiki seperti jet darat warna merah yang berpacu di lintasan F1. Titik merah itu semakin menjauh dan Tania benar-benar lega. Angkot ini bukan tempat terbaik untuk menyandarkan tubuh, tapi dia butuh relaksasi sebentar saja.
Sayangnya, pengemudi angkotnya sangat ugal-ugalan. Tania di bawa meliuk ke kiri dan ke kanan dengan angin kencang yang masuk dari jendela-jendela yang tidak ada kacanya. Rambut Tania hasil catok sejak Subuh sudah seperti terkena aliran listrik statis yang membuat rambut itu mengembang dan susah diatur. Tania pasrah. Dia bingung karena tangannya hanya dua. Berpegangan supaya tidak jatuh dan menimpa bapak-bapak kuli bau ketek di sebelahnya atau menyelamatkan rambutnya dari putting beliung lokal?
Tiba di tujuan, penampilan Tania sudah 100 persen kacau. Dia berpapasan dengan Frans, orang EO yang ada janji meeting dengannya pagi ini.
“Waoww, Bu! Model baru, nih? Rambate bagaskara binggoww! Mengembang tiada tara.”
“Seneng, ya lihat orang kena musibah?”
“Kena putting beliung di mana, sih Bu?” tanya Frans, dibantunya Tania merapikan rambutnya yang kaku. “Smooting?”
“Cuma aku catok aja tadi pagi. Kayaknya diiket aja kali ya. Biar aman. Kalian nggak akan mau meeting sama aku dengan penampilan begini, kan?”
Anna, teman Frans terkekeh. “Kalau kita, sih nggak masalah. Teman kita penampilannya banyak yang lebih aneh dari Ibu. Yang bakal kelihatan teganggu itu bos kita. Si Bos suka bete kalau ketemu klien yang penampilannya awut-awutan.”
“Perfeksionis banget, sih bos kalian.”
“Ibu belum ketemu Pak Bos, sih. Dia itu jomblo berkualitas terbaik di Batam. Pejantan tangguh idaman anak gadis sampai ibu-ibu bersuami.”
Tania menggeleng. Deskripsinya mengingatkan dia pada Aryo. Hah! Bahkan pada saat seperti ini dia masih kepikiran lelaki mesuum satu itu.
“Kayak nggak ada jomblo yang lain aja. Kamu masih jomblo, kan Frans?” Tania mendorong pintu ruang meeting dan mempersilakan kedua orang itu masuk. “Saya rapiin penampilan dulu, ya. Jangan sampai bos kalian nggak tanda tangan MoU karena melihat penampilan saya yang kayak macan.”
Frans tergelak. “Manis cantik, Bu.”
Apa yang dibilang Frans memang benar. Tania kriteria idaman lelaki. Dengan pinggang ramping tapi bokongg dan dadaa yang penuh membuat bodynya sangat rabaable. Lelaki pasti meneteskan air liur kalau melihat Tania melenggok. Sayangnya dia tidak suka perempuan. Baginya perempuan sama saja seperti saingan. Karena Frans lebih suka lelaki yang ganteng dan rajin fitness.
“Oke, Frans. Pada intinya kita setuju sama rencana kalian. Budgetnya juga masih masuk dan tempatnya pas banget. Aku udah ngeliat event kalian yang terakhir dan itu meriah banget. Cuma seperti usulan Bu Friska, tambahin aja lomba mewarnai selain fashion show anak dan dewasa. Paramedia, kan servicenya menjangkau semua umur dan kalangan. Nggak semua anak itu jago melenggok di panggung. Dan mewarnai itu lagi hits sekarang.”
“Ada tambahan waktu kalau gitu, Bu.”
“Nggak usah. Barengin aja sama lomba fashion show. Jadi di floor lomba mewarnai, di panggung lomba fashion show. Di atur aja nanti panitianya.”
“Oke kalau maunya Ibu begitu.”
Tania melirik arloji di pergelangan tangannya. “Ini Bos kalian ke mana, ya? Apa bisa dihubungi sudah sampai mana? Atau gimana, nih baiknya? MoU kalian bawa untuk ditandatangani Bos terus kasih ke saya lagi baru kita p*****t? Atau gimana?”
“Nggak usah, Bu. Bos sudah di parkiran.” Anna menutup ponselnya.
Tania mengangguk. Mulutnya kering karena terlalu banyak berbicara dari tadi. Dia berjalan ke arah coffe maker untuk menuangkan kopi panas untuknya.
“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit hambatan tadi di jalan.” Seseorang masuk ke dalam ruangan meeting dengan senyum fantastisnya. Bu Friska saja sampai tumbuh bunga di kepalanya, saking senangnya.
Sedangkan Tania, kopi yang masih berada di mulutnya dan dalam perjalanan ke tenggorokan dia semburkan keluar saking kagetnya melihat siapa yang datang.
Lelaki di pintu menoleh dan tersenyum geli ketika mengetahui siapa kliennya kali ini.
“Halo, Tania. Senang bekerja sama dengan Anda,” sapa Aryo ramah.©