Pagi ini Calista sudah berada di bandara bersama dengan Adam. Tidak hanya berdua, karena ada kakak kandung Calista yang bernama Alvin di sana. Alvin mengantarkan Calista dari rumah ke bandara, memastikan adiknya sampai di bandara dengan selamat.
"Gino tidak ke sini?" Alvin bertanya heran seraya melihat sekitar. Biasanya Gino selalu ikut mengantarkan Calista saat Calista akan pergi keluar negri bersama Adam karena urusan bisnis.
"Tidak. Katanya ada jadwal operasi pagi ini. Dia tak bisa izin pergi," jawab Calista dengan senyuman kecilnya. Ya, Gino mengabari pagi buta tadi setelah membaca pesan dari sang ibu tentang Calista dan Adam yang akan pergi ke Singapura. Gino hanya menelepon, bahkan menolak saat Calista meminta untuk video call.
"Baik-baik di sana ya. Maaf aku jarang memberikan kabar karena sangat sibuk. Kak Adam pasti akan menjagamu dengan baik."
Hanya itulah yang dikatakan Gino lewat telepon tadi. Calista yang masih ingin bicara bahkan tak diberikan kesempatan karena telepon langsung diputus sepihak oleh Gino. Dan saat Calista berusaha menghubungi Gino lagi, nomornya langsung tidak aktif.
Sebenarnya, pacarnya itu Gino atau Adam sih? Kenapa akhir-akhir ini malah Adam yang selalu memberikan perhatian padanya, walau hanya perhatian kecil saja. Sedangkan Gino, benar-benar menghilang bagai ditiup angin.
"Baiklah. Terima kasih sudah mengantarkan aku, Kak." Calista berucap pada Alvin lalu memeluk kakak laki-lakinya itu sekilas. Setelah selesai berpamitan, Calista dan Adam pun melangkah bersamaan menjauh dari Alvin yang masih memperhatikan kepergian mereka.
***
Di dalam pesawat, Calista terus saja melamun memikirkan Gino yang memang sikapnya berubah banyak. Lalu Calista kepikiran juga tentang perdebatannya dengan Gino tadi perihal masalah Calista yang ingin video call, namun Gino tak mau dengan alasan sibuk dan harus segera siap-siap. Yang membuat Calista tak nyaman adalah Gino membentaknya di telepon tadi dan berkata kalau Calista harus mengerti kesibukannya dan jangan bersikap kekanakan.
Apakah meminta untuk dikabari dan ingin video call walau sebentar merupakan sikap kekanakan? Calista tak merasa seperti itu. Rasanya, permintaannya masih dalam tahap sangat wajar. Tapi respon Gino benar-benar diluar dugaan.
"Memikirkan apa?" Calista menengok pada Adam yang duduk di sebelahnya. Calista melamun, dan tentu saja Adam melihatnya. Jadinya Adam bertanya.
"Tentang Gino, Pak. Akhir-akhir ini sikapnya berubah." Calista menjawab dengan jujur sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Menurut Calista, tak ada salahnya bercerita pada saudara kekasihnya tersebut. Ya, mungkin saja Adam bisa membantunya menegur Gino agar jangan bersikap kelewatan.
"Berubah? Berubah seperti apa?" Adam bertanya lagi seraya menatap Calista dari samping.
"Ya, sikapnya banyak berubah. Aku hitung, empat bulan terakhir Gino mulai jarang mengabariku. Saat aku berusaha menghubunginya, panggilanku lebih sering tak dijawab. Pesanku pun jarang sekali di balas. Komunikasi kami jadi semakin minim sekarang," ucap Calista diakhiri dengan helaan nafas pelan.
"Bukannya tadi pagi dia menghubungimu?" Adam bertanya dengan penasaran. Calista pun mengangguk kecil.
"Iya. Tapi kami tak bicara lama. Aku sempat meminta untuk video call dengannya. Namun Gino menolak dengan alasan sibuk lagi. Dia juga menyebut aku kekanakan hanya karena aku memaksa untuk video call," lanjut Calista. Dia kemudian tertawa miris, mengingat kejadian tadi pagi tersebut. Sudah jarang bertemu, jarang bicara walau lewat telepon, jangan berkirim pesan, sekalinya bicara lewat telepon Gino malah membentaknya. Bisa dibilang, Calista sakit hati dengan perkataan Gino tadi pagi.
"Sesibuk itu?" Adam bertanya dengan heran. Mendengar cerita dari Calista saja Adam bisa menyimpulkan kalau Gino memang berubah sikap terhadap Calista.
"Entahlah. Aku curiga kalau sebenarnya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Komunikasi kami yang buruk membuatku sulit membaca situasi juga," jawab Calista. Dia lalu menghela nafas pelan, dan teringat dengan perkataan kakak iparnya semalam.
"Kak Tasya bilang, perubahan sikap Gino sangat mencurigakan. Kak Tasya menyarankan aku mencari tahu keseharian Gino di rumah sakit." Calista bercerita tentang penilaian Tasya.
"Dan kamu akan melakukannya?" tanya Adam.
"Tentu saja. Setelah urusan di Singapura beres, aku harus mencari tahu alasan dibalik perubahan sikap Gino. Agar aku tahu cara memperbaiki hubungan kami," jawab Calista dengan sangat yakin.
"Lakukan saja. Kamu juga jangan khawatir berlebihan. Kalau Gino berulah, aku dan Mama akan tetap berada di pihakmu." Adam berucap. Calista tersenyum mendengar itu.
"Terima kasih, Pak. Aku senang mendengarnya." Calista berucap dengan ramah. Adam mengangguk dan tersenyum kecil. Andai saja Calista tahu isi hatinya, maka Adam tak perlu berpura-pura seperti sekarang. Namun jika saja Gino berubah karena sesuatu dan membuat Calista kecewa, Adam tak akan diam. Dia akan mengambil Calista dari Gino, tak peduli dengan status Gino sebagai adiknya. Adam tak akan menyia-nyiakan kesempatan, jika memang kesempatan itu ada untuknya.
***
Suasana rumah sakit terlihat ramai dan itu adalah hal biasa. Banyak yang masuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dan perawatan, ada juga yang keluar dari rumah sakit karena sudah selesai masa perawatan dan sudah sembuh.
Gino sekarang berada di ruangannya dan sedang istirahat. Dia baru saja selesai melakukan operasi 30 menit yang lalu pada seorang anak yang menderita tumor otak. Dan beberapa jam lagi Gino juga kebagian jadwal operasi lagi. Melelahkan memang.
Namun rasa lelah Gino terbayarkan dengan kehadiran Cintya sekarang dalam ruangannya. Wanita itu baru saja datang dengan membawa kopi kesukaan Gino.
"Jadwal hari ini cukup padat ya, Kak. Kak Gino pasti kelelahan," ucap Cintya. Tak ada embel-embel 'Dok' lagi sekarang.
"Ya, mau bagaimana lagi. Ini sudah tugasku. Tak apalah. Ada kamu juga di sini yang menemani," balas Gino dengan senyuman genitnya. Cintya tersenyum malu-malu mendengar itu.
"Ngomong-ngomong, Calista ke Singapura selama empat hari ke depan. Kita bisa bebas jalan keluar saat libur," ucap Gino dengan senyuman lebar. Cintya terlihat sangat senang mendengar itu.
"Benarkah? Aku ingin sekali main ke pantai dengan Kakak," ucap Cintya dengan manja. Gino terkekeh mendengar itu.
"Kita bisa ke pantai besok kalau kamu mau."
"Benarkah? Kalau begitu besok aku akan ambil shift malam saja," ucap Cintya dengan semangat. Gino tertawa mendengar itu dan tanpa aba-aba dia langsung memeluk Cintya dengan sangat erat.
"Nanti malam jadwalku kosong. Mau ke hotel nggak?" Gino berbisik di telinga Cintya, menanyakan hal yang sudah dia sendiri tahu jawabannya.
"Mau dong." Gino tersenyum lebar mendengar Cintya yang antusias. Dia benar-benar tak mempedulikan statusnya yang masih berpacaran dengan Calista. Bagi Gino sekarang, Cintya adalah dunianya, juga tempat menyalurkan nafsunya tentu saja.