Calista memenuhi keinginan ibunya Gino dan Adam untuk datang ke rumah dan makan siang bersama. Calista merasa sangat bersyukur karena dia diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga Gino.
Calista berangkat ke rumah orang tua Gino tentu dengan Adam. Calista sudah berusaha menghubungi kekasihnya yang bekerja di rumah sakit, namun panggilannya tak ada satu pun yang diangkat. Pesannya pun tak dibalas dan tetap centang dua abu. Namun hal tersebut sudah tak aneh lagi bagi Calista. Karena Gino termasuk dokter yang populer, jelas pasien yang dia tangani pun semakin banyak.
"Ada kabar dari Gino?" Adam bertanya pada Calista setelah wanita itu masuk ke dalam mobilnya. Mata Adam memperhatikan setiap gerak-gerik Calista yang kini duduk di sampingnya.
"Gak ada. Mungkin sedang ada jadwal operasi," jawab Calista seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Adam memalingkan wajah saat Calista menatap ke arahnya. Tak mau ketahuan kalau sejak tadi dia memperhatikan wanita tersebut.
"Kira-kira ada acara apa ya Tante Yuni memintaku datang ke rumah?" Calista bertanya dengan tatapan penasaran pada Adam.
"Entah. Hanya ingin bertemu saja sepertinya." Adam menjawab dengan singkat. Saat hanya berdua seperti ini, mereka memang tak terlalu formal dan bicara dengan santai. Namun panggilan Calista pada Adam tetap tak berubah di mana pun. Pak Adam, begitulah Calista memanggilnya di mana pun. Yuni sempat menyuruh Calista untuk memanggil Adam dengan sebutan 'kakak' saja. Namun Calista menolak karena merasa kurang nyaman.
"Apa kamu sudah memberitahu Gino tentang keberangkatan kita besok ke Singapura?" Adam bertanya seraya melirik Calista sekilas.
"Belum. Sejak pagi Gino belum ada kabar jadi aku belum memberitahunya." Calista menjawab diakhiri dengan helaan nafas pelan. Semakin hari, komunikasi dia dan Gino semakin terbatas dan jarang. Sulit sekali untuk bicara lewat telepon apalagi untuk bertemu. Dan Calista rindu kekasihnya tersebut karena sudah berhari-hari mereka tidak bertemu. Bahkan di hari Minggu pun Gino tetap harus ke rumah sakit, apalagi jika ada jadwal operasi yang tak bisa ditangani dokter lain.
"Dia juga sudah jarang pulang ke rumah. Mungkin karena jadwalnya yang sangat padat," ucap Adam. Calista terdiam mendengar itu. Bertemu keluarganya saja jarang. Apalagi bertemu dengannya yang di mana ikatan mereka belum benar-benar resmi.
"Aku jadi bingung bagaimana membahas rencana pernikahan kami kalau dia sibuk terus. Untuk sekedar bicara lewat telepon saja sangat sulit." Calista mengeluh. Dia dan Gino memang sudah sepakat akan melakukan pernikahan akhir tahun ini. Dan seharusnya dari sekarang mereka sudah melakukan persiapan. Namun jangankan persiapan, membahas rencananya saja belum.
"Setiap pekerjaan memiliki resikonya masing-masing, Calista. Dan keputusan Gino menjadi seorang dokter memang bukan hal mudah." Adam berkata, dan Calista mengangguk paham. Calista pernah dengar dari Gino sendiri kalau cita-cita Gino menjadi dokter sempat di tentang oleh orang tuanya. Entah apa alasannya, mereka lebih setuju Gino terjun ke dunia bisnis seperti Adam sekarang. Namun Gino tetap pada pendiriannya, dan pencapaiannya sekarang sangat membanggakan. Namun ya itu. Waktu kebersamaan bersama keluarga menjadi sangat terbatas saking sibuknya.
"Aku mulai lelah karena kurang komunikasi. Tapi aku juga tak mungkin menyerah begitu saja pada hubungan kami yang sudah berjalan sangat lama," ujar Calista. Sebagai seorang wanita, Calista tentu ingin mendapatkan perhatian dari orang yang dicintai. Walau mungkin hanya sekedar bertanya kabar saja. Namun Gino, benar-benar sulit dihubungi sekali akhir-akhir ini.
"Kamu yang sabar. Dia pasti menghubungimu jika ada waktu luang," ucap Adam berusaha menenangkan Calista. Calista menatap Adam dan tersenyum kecil. Dia juga mengangguk pelan. Ya, untuk sekarang dia hanya bisa bersabar saja. Semoga saja ke depannya Gino memiliki banyak waktu untuknya. Calista sudah tak sabar ingin segera membahas rencana pernikahan mereka.
***
Gino Tria Mahendra, seorang dokter bedah umum yang sedang dalam masa jaya. Dia terkenal di rumah sakit tempatnya bekerja, dan karena itu banyak sekali pasien yang dia tangani. Gino senang dengan karir dan popularitasnya yang sangat baik sekarang. Karena dengan fakta itu, dia bisa membuktikan pada orang tuanya kalau dia bisa sukses tanpa harus terjun ke dunia bisnis.
Gino sekarang berada di ruangannya sendiri, mengecek jadwal operasi yang akan dia lakukan. Dan ternyata, hari ini jadwalnya tidak terlalu padat. Dia memiliki jam makan siang yang cukup lama, dan dia bisa istirahat dengan cukup sebelum jadwal operasi selanjutnya di sore hari nanti.
Saat sedang mengecek jadwal, terdengar suara ketukan dari arah pintu. Gino bersuara dengan keras, meminta orang tersebut untuk langsung masuk saja karena pintunya tidak dikunci.
"Makan siang, Dok?" Seorang wanita dengan seragam perawat masuk seraya membawa kresek putih berisi makanan yang sengaja dia beli di depan rumah sakit untuk makan siang.
"Padahal aku berniat mengajakmu makan siang di restoran depan. Tapi tak apa. Kita makan siang di sini saja kalau kamu sudah beli makanannya," ucap Gino dengan senyuman lebar. Perawat tersebut tersenyum dan berjalan mendekati meja kerja Gino. Dia lalu berdiri di dekat meja Gino dan mengeluarkan makanan yang dia bawa di atas meja.
"Makan bersama di sini lebih bebas loh, Dok." Perawat tersebut berkata dengan senyuman genit. Gino tertawa pelan mendengarnya. Dia berdiri dan langsung memeluk perawat tersebut dengan mesra.
"Main bentar yuk sebelum makan," bisik Gino di telinga perawat tersebut. Perawat bernama Cintya tersebut tersenyum mendengar ajakan Gino. Cintya tak memberikan jawaban, namun Gino menganggap senyuman Cintya sebagai tanda setuju. Gino melepaskan pelukannya di tubuh Cintya dan berjalan mendekati pintu. Dia lalu mengunci pintu ruangannya, berjaga-jaga agar tidak ada yang masuk ke ruangannya.
"Ayolah, Sayang. Aku rindu tubuh indahmu," ucap Gino dengan tatapan mesumnya. Cintya tertawa mendengar itu. Tangannya bergerak dengan mandiri melepaskan seragam perawatnya. Mata Gino membara, terlihat seperti orang kelaparan saat melihat tubuh polos Cintya. Gino pun langsung mendekat dan memeluk Cintya dengan erat. Tanpa basa-basi, bibir mereka langsung bertaut dengan panas.
Setelah pemanasan sebentar, Gino pun langsung menurunkan celananya. Cintya berdiri sedikit menungging ke arah Gino dengan tangan bertumpu pada meja. Sebelah kakinya diangkat oleh Gino, dan dia berusaha menahan desahannya sendiri saat Gino menyatukan tubuh mereka. Gino langsung bergerak, mengejar kenikmatan. Cintya pun berusaha memelankan suaranya agar tidak terdengar sampai keluar ruangan.
"Kamu benar-benar nikmat, Cintya." Gino berucap dengan nafas terengah-engah. Saat sedang fokus mengejar kenikmatan, ponsel Gino yang tergeletak di atas meja berdering nyaring. Namun Gino tak terlihat memiliki niat untuk mengangkat panggilan yang masuk.
"Ah i-itu Kak Calista," ucap Cintya setelah tak sengaja membaca nama yang tertera di layar ponsel Gino.
"Biarkan saja." Gino menjawab dengan tak peduli. Gerakan pinggulnya semakin cepat saat dirasa dia hampir mencapai puncak. Tak lama kemudian, Gino menarik miliknya keluar dari tubuh Cintya. Tangannya bergerak mengocok kejantanannya sendiri dengan cepat hingga cairannya keluar membasahi p****t Cintya.
Cintya menengok dengan senyuman nakal saat tahu kalau Gino sudah mendapatkan puncak kenikmatannya.
"Naiklah ke atas meja. Giliranmu," ucap Gino. Cintya pun menurut dan duduk di atas meja kerja Gino. Dia membuka kakinya lebar-lebar, membiarkan Gino memainkan pusat tubuhnya agar dia bisa merasakan kenikmatan juga.
"Kita harus ambil cuti bersamaan agar bisa ke hotel bersama," ujar Gino. Dia duduk di kursinya dan menghadap ke arah Cintya yang mengangkang lebar di depannya.
"Tentu saja. Aku ingin menghabiskan waktu seharian di atas ranjang denganmu, Kak." Cintya berkata dengan penuh nafsu. Gino tertawa mendengar itu. Dia pun langsung bekerja, berusaha memuaskan Cintya. Gino tersenyum puas melihat ekspresi kenikmatan Cintya. Ya, melakukan seks di rumah sakit dengan Cintya adalah salah satu hal yang membuatnya bisa terus fokus.
Gino tak peduli dengan statusnya yang sudah memiliki pacar. Tak peduli dengan Calista yang setiap saat menunggu kabar darinya. Dia juga tidak peduli kalau perawat yang selalu dia ajak melakukan seks adalah sepupu pacarnya sendiri. Yang penting adalah dia terpuaskan.