"Saya ingin makan sama kamu di sini!"
Permintaan aneh bin nyeleneh pak Akbar, membuatku menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Mmm .... maksud bapak?"
"Tidak, ayana. Lupakan saja. Kamu catat saja semua pesanan saya." ujarnya padaku.
Perubahan mimik wajahnya itu terlihat sekali dan begitu cepat. "Oh, baiklah, pak."
Ku catat semua pesanannya, kemudian aku kembali ke bagian kasir. Namun selama aku berada di kasir, aku dengan jelas memergoki laki laki itu melihat ke arah ku. AKu enggak tahu apa yang menyebabkannya melihat padaku. Namun ketika kedua mata kami bertemu, aku merasa perutku mulas tidak karuan.
Jantungku juga berdetak tidak karuan. Belum lagi aku yang menjadi salah tingkah enggak karuan. Ayolah Ayana, dia hanya melihatmu secara datar dan biasa. kenapa respon mu begitu memalukan sih. Ingat Ayana, meski kamu dan suamimu itu sudah enggak saling berkomunikasi, tapi jelas status kamu masih menjadi istri orang lain. Bagaimana bisa kamu memiliki perasaan yang tidak pantas seperti itu.
"itu pak Akbar lihatin apa sih, ke sini?"
Bisik Zydan, seraya mengambil pesanan yang memang diberikan koki di sampingku. ''enggak tahu."
Serius, aku memang enggak tahu apa yang sedang dilihat oleh laki laki itu.
"heran aja, sendok yang ia pegang ampe jatuh kaya gitu. kaya lihat bidadari cantik gitu," kekehnya.
Aku hanya terdiam seraya memberikan kembalian ke pengunjung.
"Pak akbar duda ya, katanya." ujar Zydan. AKhir akhir ini laki laki itu memang sering sekali mengajak ku mengobrol. sejak aku pingsan waktu itu, zydan sudah tidak ketus lagi padaku. AKu tidak tahu apa yang menyebabkan nya sampai berubah seperti itu.
"Iya,"
"Ko, kamu tahu? jangan jangan kamu nyelidikin dia ya?"
Apaan anak ini!
Aku mendelik padanya dan menghela napas dalam. "Jangan mulai deh, kamu kan barusan tanya. Dan kebetulan aku tahu, ya udah aku jawab."
"maksud aku dari mana kamu tahu kalau dia duda coba?"
"Teman ku kerja sama dia. Jadi otomatis aku tahu lah."
Ku percepat memberikan kembalian, karena aku ingin menghitung dan merapikan uang recehan. Zydan juga kemudian pergi meninggalkan ku mungkin mau melayani pengunjung lain yang datang.
Sepulang kerja, aku di jemput Nilam. gadis itu memaksaku untuk cek up ke klinik kandungan.
"Kan aku mau cek nya nanti, tahu!"
sungut ku pada Nilam. Namun gadis itu enggak mau tahu. Dia menggiringku ke mobilnya dan membuka kan pintu untuk ku. AKu kaget, ketika di dalam ternyata sudah ada Pak Akbar. Aku kembali menatap Nilam dan meminta penjelasan kenapa laki laki itu berada di sana.
"karena ini mobilnya Pak Akbar, ada maslaah?" tantang Nilam. Ya ampun anak ini! ingin sekali aku menjitak kepalanya, namun karena dia sudah besar, sudah pasti dia akan membalas jitakan ku.
Alhasil, aku hanya bisa cemberut seraya memelototi gadis itu. Nilam hanya menjulurkan lidah seraya mengedipkan sebelah matanya. Aku terpaksa masuk, karena aku enggak enak pada Pak Akbar.
tersenyum kaku pada pak Akbar, sebelum aku duduk. Beliau membalas senyuman ku kemudian mulai mengerjakan sesuatu di tabletnya.
"Udah berapa bulan kandungan kamu?"
tanya Pak Akbar, ketika kami sudah hening. AKu pikir, laki laki itu tidak akan mengajak ku berkomunikasi karena ia memang terlihat sangat sibuk. Namun ternyata dia mengajak ku bekomunikasi sehingga aku tidak terlalu merasa kaku.
"dua bulan, pak." jawabku.
"tapi kamu masih langsing deh, serius." sahut Nilam dari depan. "kalau aku enggak tahu, kamu hamil. Maka aku bakal ngira kalau kamu itu enggak hamil."
Akhir akhir ini Nilam sering sekali memujiku di depan Pak Akbar, seolah dia sedang mempromosikan diriku padanya. Jujur saja aku malu jadinya. Bagaimana bisa aku yang sedang hamil ini dibandingkan dengan seorang perempuan yang masih gadis.
"Kamu lagi ngidam apa saja, ay?" tanya Nilam lagi.
Haruskah dia bertanya di depan pak Akbar, dan haruskan aku menjawab pertanyaannya, "Mm .... enggak banyak."
"Apa dong, kan aku penasaran." ujar Nilam, terdengar agak mendesak ku.
"ya, ada lah," serius aku malu kalau harus menjawab nya di depan pak AKbar.
"Ayo dong, bilangin apa saja yang sekarang bikin kamu pengen banget makan. ya ... siapa tahu aku punya duit turun dari langit, dan aku bakal beliin apapun yang kamu mau kan?"
Aku terdenyum tipis. "makasih, ya ..."
"Cih, aku serius tahu. "
"Iya, aku tahu kalau nilam ku itu selalu serius buat nolongin aku, Maksih banget ya."
"Mmm kamu mau buah apel enggak? atau buah pir, yang ada di mal itu. Rasanya seger dan manis, buah nya juga geude geude banget loh." gadis itu mulai berkelakar.
AKu tersenyum. "Iya boleh. Tapi satu saja, jangan banyak banyak."
"Lah, ngapain beli satu sih, males malesin banget lah. Mending beli dua kilu sekalian. Ibu ibu hamil harus banyak makan buah buahan sayuran, dan juga daging tahu."
Ayolah semua yang Nilam daftarkan harganya mahal mahal. Uang ku tinggal seratus ribu, mana bisa beli makanan enak enak itu.
"Gimana? nanti pulang cek up, maunya beli daging sapi atau ayam nih? kalau dua duanya juga boleh deh,"
"Jangan lam, di kosan aku enggak ada kulkas. Kalau kamu beli banyak, nanti malah busuk kan?"
"Serius enggak ada kuklkas? jadi selama beberapa hari ini kamu pindah, kamu sama sekali enggak ada kulkas?"
Ya ampun memangnya kenapa kalau enggak ada kulkas. Toh, aku masih saja tetap bisa hidup meski di kosan kecilku itu enggak ada kulkas.
"Enggak terlalu penting juga, nil."
"Kata siapa enggak penting? itu penting sekali tahu! bener gak, pak akbar?"
lah, dia itu ngapain sih harus bawa bawa Pak Akbar segala? pake minta persetujuan beliau lagi. AKu sungguh tidak sanggup untuk menoleh padanya. Jadi yang aku lakukan adalah menunduk seraya melirik padanya.
"Iya, kulkas sangat penting untuk mengawetkan makanan." ujarnya. Hanya itu, namun jantungku menjadi bekerja dua kali lipat.
"Tuh, bener kan, yang aku bilang. Nah, jadi bagaimana kalau pulang dari klinik, kita beli kuklas saja dulu."
"jangan lam, aku enggak ada duit serius."
AKu enggak peduli meski mengakuinya di depan Pak Akbar. Karena aku takut dia memilihkan ku kulkas dan aku yang membayarnya. Aku hanya memiliki uang seratus ribu rupiah, dan enggak ada lebihnya.
"Elaaah. Itu palingan juga harganya dua jutaan ay."
Apa katanya! dua jutaan? gila apa!
"Maslaahnya uangku cuma tinggal seratus ribu!"
"Hah!"
Entah mereka ini kompak atau memang kaget. Nilam dan Pak AKbar menatap padaku seraya berkata 'hah' secara bersamaan. Cuma bedanya Nilam dari kaca spion, dan bahkan ia menghentikan laju mobilnya membuat ku kaget. Pak Akbar terdengar menghela napas berkali kali, aku tidak mengerti kenapa laki laki itu sampai melakukan hal tersebut.
"Kamu lagi hamil, cuma punya uang seratus ribu? kamu gila ya, ay." keluh Nilam.
AKu hanya terdiam, karena memang enggak tahu harus berkata apa.
"Ay, orang yang lagi hamil itu, minimal punya uang lima puluh jutaan lah, ay. Lah kamu, bagaimana bisa hanya pegang seratus ribu ay. serius, kamu bisa hidup kaya gitu?"
Aku kembali terdiam. Kami menjadi hening. Kami sama sama sibuk dengan pikiran kami masing masing.
***
"Kandungannya sehat, tapi ibunya sepertinya sedang kelelahan dan agak stres. Akan lebih baik, kalau ibunya jangan terlalu banyak pikiran ya." ujar Dokter. Aku baru saja selesai diperiksa oleh beliau.
Pak Akbar berada di luar, sedang kan Nilam berada di dalam bersama ku.
"Wah, syukur lah kandungannya sehat. Cuma sayang banget, kita masih belum bisa melihat jenis kelaminnya." ujar Nilam lagi.
Aku hanya terdiam dan menatap sahabat ku. Aku sungguh bersyukur memiliki sahabat sepertiya. Dia begitu perhatian dan sangat baik padaku. Ini cek up juga dia yang membayar untuk USG nya. Harga sekali USG adalah 400 ribuan. Aku mana ada uang segitu.
"nanti usia empat bulan, kamu baru bisa lihat dia." sahut Dokter.
"yeas, nanti setelah empat bulan, kami mau ke sini lagi, Dok." aku yang hamil, tapi malah Nilam yang antusias. Memang anak ini! haruskah aku saran kan agar dia segera menikah dan mengandung?
"Iya, itu boleh."
AKhirnya aku selesai. Nilam mengajak ku keluar dari ruang pemeriksaan dan berjalan ke luar di mana Pak Akbar sedang menunggu di kursi.
Mendengar kami datang, pak Akbar mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku. AKu mengangguk dan melewati karena merasa bingung harus bilang apa. Namun ...
"Janinnya sehat. Bos."
Aku menghentikan langkah ini, ketika aku mendengar kalimat yang diutarakan Nilam pada Pak AKbar.
Tunggu!
APakah dia sedang melapor pada atasannya itu!
Aku berbalik dan nilam terkekeh, kemudian segera menghampiriku. "Ayo kita duduk di belakang. Sekarang giliran Pak Akbar yang menyetir." ujarnya, dan aku hanya mengikuti gadis itu saja.
Pak Akbar menaiki bagian kemudi, namun sebelum ia menyalakan mobilnya, aku merasa bahwa dari depan laki laki itu melihatku, sehingga aku pun mengangkat tatapan ini, namun sayang pak Akbar sama sekali tidak menatap padaku. Sepertinya ini hanyalah perasaan ku saja. Karena ketika aku lihat, dia sedang sibuk dengan kunci yang ia masukan ke dalam lubang mobil, dan anehnya kunci itu jatuh, membuat Nilam berdecak tidak habis pikir.
"Salting terus!"
Goda Nilam, membuat Pak Akbar berdeham pelan.