Maaf Untuk Perpisahan Kita

1074 Kata
Ingatan kata-kata Ega masih terngiang di kepalanya. Mulai dari akad nikah hingga ikrar talak yang diucapkan pria itu bagai komedi kehidupan yang membuatnya tidak ada waktu untuk sekedar bersiap. "Wake up, Zhia! Tidak ada lagi yang tersisa, cari kebahagiaanmu sendiri." Ucapan penyemangat untuk dirinya sendiri berulang kali Zhia ucapkan untuk mengembalikan mentalnya. Selesai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, ia bersiap untuk sarapan bersama dengan keluarganya. Dan, waktu memang tidak bisa ditunda lagi, ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan Ega di malam pertamanya. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi sepasang pengantin baru. "Sekarang jelaskan pada ayah, apa yang terjadi dengan kalian?" Abdullah bertanya kepada Zhia. "Hhmm, Yah. Zhia dianggap sudah tidak perawan. Mereka merasa dibohongi sama Zhia." Dengan tenang ia menjawab pertanyaan tersebut. "Omong kosong! Alasan apa itu?" Abdullah merasa alasan yang disampaikan Zhia mengada-ngada. "Kenyataannya seperti itu, Yah. Zhia juga gak ngerti kalau mereka punya prinsip sekolot itu. Darah perawan dijadikan satu-satunya tolak ukur," jawabnya berkaca-kaca. "Siapa, Zhia? Dengan siapa kamu melakukannya?" Pertanyaan Abdullah terdengar sebagai tuduhan jika ia sudah tidur dengan pria lain sebelum Ega. “Ayah pun tidak percaya dengan anak sendiri?” Zhia berkaca-kaca menatap pria yang menjadi cinta pertamanya itu. “Lalu, ayah harus menuduh mereka berbohong? Itu sama saja menganggap mereka hanya bermain-main dengan pernikahan kalian, sementara mereka yang membiayai penuh acara megah itu. Paham maksud ayah?” Abdullah menjeda kata-katanya. Memejamkan mata, ia mencoba membulatkan keputusan yang baginya tidak mudah. “Dengan percaya ucapan mereka, Ayah menuduh Zhia tidur dengan pria lain. Mas Ega sudah dapat mahkota Zhia, Yah! Sepertinya tidak ada yang mengerti perasaan Zhia, disini,” ucapnya hendak berdiri meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali ke kamarnya. “Ayah belum selesai, Zhia. Tetap duduk di tempatmu!” Perintah tegas Abdullah menghentikan langkahnya. Mau tidak mau, Zhia kembali duduk. “Kamu jujur aja, Nak. Ayah akan cari pria itu, dimanapun dia berada,” ucap Mirna kepada anaknya. Wajah sendu bercampur kecewa menjadi satu. Mirna tidak menyangka jika nasib Zhia seperti ini. “Gak ada, Bu. Zhia udah jujur,” jawabnya. Tangisnya akhirnya pecah dipelukan sang Ibu. Untuk pertama kalinya, Zhia merasa begitu lemah. Tidak dihargai layaknya sebagai seorang wanita. Ega betul-betul menghancurkan martabatnya hingga ke dasar bumi. “Jangan mempermainkan orang tuamu, Zhia. Cepat katakan siapa pria itu atau ayah terpaksa bertindak!” Abdullah meninggalkan ruangan tersebut, berjalan menuju ruang kerjanya. Sementara itu, Mirna mencoba bicara lagi dengan Zhia. “Duh, Nak. Ibu bingung kalau pada keras kepala seperti ini. Kamu bicara dong, biar ayahmu gak nekat, Nak!” Tak lama kemudian, Abdullah kembali dengan membawa alat tulis dan selembar kertas. Meletakkan di meja lalu duduk di samping Putri, anak keduanya. “Jika kamu tidak mau berbicara dan memilih melindungi pria itu, lebih baik ayah tidak memiliki anak sepertimu. Tanda tangani surat ini dan keluar dari rumah ini.” “Ayah ngusir Zhia?” Mirna memprotes keputusan suaminya. “Lebih baik untuk masa depan Putri, jika Zhia tetap disini akan berdampak buruk bagi adiknya.” Jawaban dari Abdullah sungguh membuat Zhia terluka. Ia seperti tidak mendapatkan tempat lagi di keluarganya sendiri. “Baik, kalau ini yang Ayah mau. Zhia akan tanda tangani dan keluar dari rumah ini.” Buliran air mata mengalir di pipi mulusnya. Hidupnya sudah hancur. Ia tidak ingin menjadi beban bagi Putri, masa depan adiknya terlalu berharga jika diabaikan begitu saja. “Yah, gak begini cara menyelesaikan masalah,” protes Putri yang sedari tadi hanya menyimak obrolan tersebut. “Kamu belum paham. Lebih baik diam dan lihat apa yang dilakukan kakakmu!” Abdullah menghardik Putri yang mencoba membela Zhia. “Sudah, Put. Kamu nurut Ayah saja. Biar kesalahan ini, mbak tanggung sendiri,” kata Zhia meminta adiknya tidak melawan Abdullah. “Sendiri katamu? Kami juga menanggung, Zhia! Nama baik keluarga tercoreng dengan kelakuan bejatmu. Memalukan!” “Cukup! Cukup, Yah,” sahut Mirna meminta suaminya untuk berhenti menghujat anaknya. “Semua keputusan ada pada Zhia, menunjukkan identitas pria itu atau keluar dari rumah ini. Tidak ada negosiasi dan lainnya,” ucap Abdullah sebelum meninggalkan para wanita di ruangan itu. “Yah!” Mirna menyusul suaminya yang hendak kembali ke kamar. Sedangkan Zhia, ia berusaha menguatkan hatinya untuk menandatangani surat tersebut. Surat pernyataan bahwa ia keluar dari kartu keluarga atas nama Abdullah, ayah kandungnya sendiri. Zhia tidak menghiraukan protes adiknya yang memintanya tidak pergi. Zhia meletakkan surat tersebut di tempat semula lalu kembali ke kamarnya untuk berkemas. Putri, sang adik terus menangis dan memarahi kakaknya. Tidak bergeming, Zhia pun sama sedihnya. Tidak ada yang mau berada di posisi ini. “Mbak, ayolah. Aku yakin Ayah hanya emosi sesaat. Kita minta maaf aja dulu. Putri temenin ke kamar Ayah dan Ibu.” Putri menahan Zhia untuk membuka kopernya. Namun, Zhia hanya menggelengkan kepala, menolak ide adiknya. Menurut Zhia, masalahnya tidak sesederhana yang dipikirkan adiknya. “Tidak Putri, jadilah anak yang baik. Banggakan Ibu dan Ayah. Mbak cuma bisa kasih pesan ini ke kamu. Jangan ulangi kesalahan mbak dalam memilih pria yang akan menjadi pendampingmu.” Zhia menutup kopernya. Menghampiri adiknya yang terduduk di lantai masih berusaha menahan Zhia. Mengusap lembut pipi adiknya yang basah, Zhia menunjukkan senyum terbaiknya di depan Putri. “Mbak gak kemana-mana, kita hanya berbeda rumah. Tidak perlu sedih seperti ini, sayang.” Zhia merapikan rambut panjang adiknya yang berantakan. Zhia tidak berani menatap wajah Putri, ia menyeret kopernya keluar dari kamarnya. Kamar yang hampir dua puluh tiga tahun ia tempati. Tempat bersejarah yang menemani perjalanannya hingga menikah dengan Ega. Melewati ruangan keluarga, suasana lengang membuat Zhia mengelus dadanya, segitu bencinya Abdullah kepadanya. Hingga melepas kepergian anaknya saja tidak sudi. Taksi online yang dipesannya sudah datang, bersamaan dengan mobil Ega yang berada di belakangnya. “Mas, Mas Ega tolong bilang Mbak Zhia. Jangan boleh pergi,” kata Putri menghampiri Ega yang baru saja turun dari mobilnya. “Putri! Mbak gak minta kamu mengemis seperti itu!” Zhia geram dengan tindakan adiknya. Namun, kedatangan Ega tidak akan merubah keputusannya untuk pergi. “Mau kemana, Zhia?” Pertanyaan Ega membuat Zhia tertawa keras. “Tidak ada urusannya dengan Mas Ega. Semoga kita tidak bertemu lagi kedepannya. Bahkan, jika Tuhan memberiku kesempatan untuk reinkarnasi sekalipun!” Suaranya bergetar, menahan sesuatu yang menyesakkan d**a. Satu kalimat yang Zhia artikan sebagai ucapan maaf, terasa begitu mahal untuk diucapkan pria yang hanya kurang dari dua puluh empat jam menjadi suaminya. Sungguh menyesakkan d**a. "Jika bersamaku menjadikan luka di hatimu, pergilah. Carilah apa yang kau sebut bahagia." Ungkapan Ega kepada Zhia membuat wanita itu tertawa lalu menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN