BAB 15

2382 Kata
 Zayn tidak bisa menampik perasaannya, ia begitu kesal mendengar kabar tersebut tanpa ia sadari ia sudah meremukkan gelas plastik untuk kopi Brian. Untung saja Brian tak melihatnya, Zayn melemparkan gelas plastik itu ke tong sampah yang berada tak jauh dari kakinya sebelum mengambil gelas plastik lain. "Pesta untuk 20 orang. Kumohon." Zayn menaruh kopi ke hadapan Brian lalu menyodorkan brosur ke arahnya. "Anak buahku yang akan mengurusnya kau bisa menghubungi nomor tersebut." "Terima kasih. Ah. Kau sangat baik."Brian menyodorkan uang kopinya sebelum pergi dengan selembar brosur di tangannya. Zayn terus memandang punggung Brian yang berjalan pergi namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan menerima sebuah telepon yang berdering. "Sayang."Zayn mengamati punggung Brian, pria itu menyingkir dari tengah jalan ketika menerima telepon. "Aku baru saja membeli kopi. Bagaimana kalau makan siang bersama?. Di Cafe dekat kantorku saja." "Aku juga mencintaimu Naila." Zayn tertegun ketika mendengar Brian menyebut Naila dalam teleponnya. Seharusnya ia tak perlu sekaget ini, bukankah wajar jika Brian menghubungi Naila karena mereka adalah sepasang kekasih. Zayn belum juga terbiasa mendengarnya, perasaan selalu menjadi buruk ketika hal ini terjadi. Zayn merapikan apa yang baru saja digunakan untuk membuat kopi, ia membersihkan kopi yang terciprat ke atas meja. Ia tak pernah seberantakan ini setiap kali membuat kopi, keberadaan Brian membuat semuanya berantakan. Zayn merapikan uang di laci kasir dan merasakan seseorang berdiri di hadapannya. "Hei." Naila berdiri di hadapannya menggunakan helm, wanita itu membuka kaca helm nya lalu sebelah tanganya terulur ke arah Zayn dengan telapak tangan yang terbuka. Zayn memperhatikan telapak tangan itu sebelum kembali pada Naila yang menatapnya. Sikap yang membuat Zayn terheran-heran karena wanita yang hampir memasuki kepala 3 ini nampak seperti anak kecil saja. "Apa. Apa yang kau inginkan!." "Pinjami aku 25 ribu dollar." "Tidak mau."tolak Zayn yang membuat wajah Naila memberenggut kesal. Ia mengekuarkan uang selembar dan menunjukannya di hadapan Zayn secara jelas. "Tidak ada uang kecil. Laki-laki itu memintaku membayar jasa pengantaran sebesar 25 ribu won. Jika aku memberikan ini dia tidak akan mengembalikannya. Aku minta duit pas dengan tip 3 ribu dollar." "Kau bilang 25 ribu dollar." "Ahh.. berikan aku 28 ribu dollar. Cepatlah." "Kenapa tidak belikan kopi saja dan aku akan mengembalikan uangmu receh, jadi kau bisa membayar laki-laki itu sebesar 28 ribu dollar tanpa meminjam uangku. Aku tahu kau tidak akan mengembalikannya."ekspresi Zayn nampak sengit yang membuat Naila ingin sekali menjitak kepalanya. Laki-laki pelit itu benar-benar. "Kau benar-benar pelit. Baiklah. Budget beli kopiku 50 ribu dollar. Kemarikan 50 ribu dollar receh. Jangan koin kau harus memberiku uang lembar."Naila mengatakannya dengan spesifik, Zayn sangat menyebalkan hari ini jadi jangan sampai laki-laki itu mempermainkan nya dengan alasan Naila tak mengatakan apa yang ia inginkan dengan jelas. Zayn memberikan Naila uang 50 ribu dollar seperti yang wanita itu inginkan. Naila meminta Zayn untuk menunggunya karena ia ingin memilih kopi yang enak. Naila berlari keluar menuju laki-laki yang mengantarnya kemari, memberikan helm yang dipakainya sebelum kembali ke hadapan Zayn. "Eoh. Apa kau yang akan membuatkanku kopi?." "Eoh. Mau pesan yang mana!." "Kau benar-benar pelayan yang tidak ramah."kedua tangan Naila terlipat di depan d**a, wajahnya menjadi angkuh menatap Zayn yang berdiri di balik meja kasir. Zayn memutar kedua bola matanya malas, Naila selalu mengatakan jika ia membuatnya kesal tapi bagi Zayn, Naila adalah wanita yang selalu membuatnya kesal. "Hah! Apa yang kau mau cepat katakan!." "Caramel macchiato, jangan terlalu banyak gula, jangan terlalu banyak cream lalu perbanyak caramelnya. Buat gambar sebagus dan serapih mungkin. Lalu..." "Jika kau ingin mengajak ku berkelahi ayo kita berkelahi sekarang dari pada kau harus menguji kesabaranku." "Kau pemarah sekali. Buat kopi saja tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan." "Pelangganku yang lain membayar secara full. Kau bahkan masih kurang 30 ribu dollar dan terlalu banyak permintaan."Naila tersenyum dengan cengiran di wajahnya. Zayn membuatnya malu, beberapa pelanggan Zayn mencuri-curi pandang ke arah mereka yang membuat Naila menutupi sebagian wajahnya menggunakan telapak tangannya. "Buatlah cepat." "Buat saja sendiri."ucap Zayn terlalu malas karena Naila membuat nya kesal. "Benarkah!."seru Naila nampak takjub, ia terlalu senang dan merasa bersemangat untuk melakukannya, kadang-kadang Naila berpikir ua ingin menjadi pramusaji, meracik coffee terdengar menyenangkan. Ia tak pernah bisa melakukannya karena ketika ia melakukannya, entah kenapa ayahnya selalu menjadi pelanggan pertama yang akan membuatnya di pecat. "Ahh tidak jadi.. aku berubah pikiran. Duduk saja dan tunggu, aku akan membuatnya dengan cepat." "Kau benar-benar mematahkan kebahagiaanku."Zayn tidak peduli ketika Naila menatapnya kesal. Wanita itu pergi menuju sudut ruang dimana terdapat meja kosong di sana. Tak butuh waktu lama bagi Zayn untuk membuatnya, kopinya datang seperti apa yang ia inginkan. Laki-laki itu duduk di hadapannya dengan kopi americano yang bahkan tak menyenangkan untuk di pandang. Naila tak tahu kenapa Zayn sangat menyukai kopi pahit seperti itu. "Terakhir kali aku meminum kopi itu aku tidak bisa berhenti menjilat gula. Bahkan sudah ku tambahkan 3 sendok makan gula rasanya tidak seperti yang ku bayangkan. Hidup ini sudah terlalu pahit, kenapa kau tidak membuat yang kau minum terasa manis." Zayn terkekeh geli ketika mendengarnya, Naila memotret kopinya sebelum ia minum, terlihat seperti bocah berumur 8 tahun yang diberikan semangkuk ice cream, ia meminumnya terlalu hati-hati seolah tak ingin merusak lapisan atasnya. "Naila." "Eoh. Kenapa?."Naila menjawab Zayn tanpa melihat ke arahnya. Zayn terlihat serius memperhatikan Naila yang nampak sibuk dengan kopinya. "Jika Brian benar-benar selingkuh, lalu dia mengajakmu untuk menikah.. apa kau akan menerimanya?." Naila tertegun, wajahnya mendongak dan menemukan Zayn yang tengah memperhatikannya. Pembicaraan ini sepertinya serius karena Zayn memperhatikannya dengan wajah seserius itu yang membuat Naila bingung. Naila menarik diri dan menyandarkan punggungnya pada kursi dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. "Aku tidak mau. Aku tidak suka dengan pria tukang selingkuh." Naila memalingkan wajahnya menatap kaca yang berada di sisi kirinya. Naila termenung memikirkan sesuatu yang kini mengganggu pikirannya. "Benar ya. Jangan terima."ucap Zayn bersemangat. Naila kembali menatap Zayn yang terlihat bersemangat dengan pembicaraan ini, sebelah alisnya mengernyit lalu sebelah tanganya menarik gelas kopi dari atas meja dan menyeruputnya. "Itu bukan urusanmu. Pergi saja sana moodku jadi buruk karenamu." "Lalu kenapa kau kemari? Mau membuntuti Brian lagi?." "Tidak. Hari ini aku akan bertemu dengannya." *** Zayn berada di kantor nya menunggu, jam makan siang hampir berakhir dan Naila masih berada di sana bersama dengan Brian. Sesekali Zayn mengintip dari balik jendela ruang kerjanya, wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika berbicara dengan Brian. Berbeda ketika berbicara dengannya, tidak ada momen dimana mereka berbicara tanpa berdebat tentang sesuatu. Zayn terlihat kesal, ia memilih untuk berbaring di atas sofa ruang kerjanya. Sudah dua kali Zayn ditawari pekerjanya untuk makan siang, namun moodnya dalam keadaan kacau. Ia tak berselera makan siang, sebelah tangan Zayn menutupi sebagian wajahnya, mencoba untuk memejamkan mata. 'Apa yang Brian dan Naila bicarakan' menyakitkan karena hal itu terus-menerus mengganggu pikirannya. "Ketika semua orang sibuk bekerja kau malah enak-enakan tidur di sini!." Zayn menyingkirkan lengannya dan mendapati Naila tengah berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Zayn bangkit terduduk lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Naila menghampiri Zayn dan duduk di sebelahnya. Lalu menatap sisi wajah Zayn yang membuat Zayn berdehem. "Ada kerutan di wajahmu pasti karena lenganmu."Naila menusuk pipi Zayn yang tercetak garis. Lalu terkekeh ketika melihat jerawat kecil. "Apa ini jerawat ckckck."tiba-tiba tawa Naila terhenti ketika Zayn menoleh ke arahnya, wajahnya terlalu dekat hingga membuat tubuh Naila membeku. Zayn dan Naila saling bertatapan untuk beberapa saat sebelum akhirnya Naila menarik diri dengan cepat ketika pintu diketuk. "Ekhem."Naila berdehem merasa kikuk. Sebelah tangannya mengipas wajahnya dan menyingkirkan rambutnya yang berada di bahunya. "nyalakan AC mu. Kenapa gerah sekali di sini." Pekerja Zayn menaruh kopi americano untuk Zayn dan caramel macchiato milik Naila. Juga beberapa cemilan karena Zayn tak ingin makan dan biasanya hanya menikmati makanan ini. "Jadi bagaimana?."Zayn melirik Naila yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Naila menghela nafas malas sebelum menoleh pada Zayn dan menunjukkan ponselnya. "Apa kau pikir seperti apa yang kupikirkan. Sedang apa dia di Mall ini,"ucap Naila dengan wajah memberenggut. "Mall itu hanya berisi segala hal mengenai pernikahan. Apa Brian bermaksud menikah dengan selingkuhannya? Huaaaaaaaaa." "Mau ke sana?."tawar Zayn. Naila mengangguk tegas dan bersemangat. "Tentu saja." *** Zayn hanya bisa terheran-heran ketika melihat penampilan Naila. Rambut nya ia biarkan terurai, sebagian wajahnya di tutupi masker dan kepalanya memakai topi hitam. Rasanya seperti idol yang sedang berkencan, beberapa orang memperhatikan mereka, bertanya-tanya siapa sosok di balik masker ini. Naila terlalu menonjol. Zayn meninggalkan Naila begitu saja, ia berjalan lebih dulu untuk pergi ke tempat dimana Brian berada. "Tunggu aku."gerutu Naila, ia berlari menyusul Zayn yang sudah lebih dulu meninggalkan nya. Zayn berhenti di balik dinding sebuah toko, matanya mulai mengawasi Brian yang tengah bersama drngan Keisha di sebuah toko perhiasan. Tiba-tiba saja Naila melintas di hadapannya yang membuat Zayn langsung menarik bagian bahu atas jaket jins yang di pakainya. "Hei."protes Naila, Zayn menunjuk Brian memggunakan dagunya, Spontan Naila berlari ke belakang Zayn untuk bersembunyi. "Kau seharusnya tidak perlu menyamar jika masih bersembunyi." "Ahh.. aku tetap haru menjaga identitasku. Brian mungkin mengenaliku jika seperti ini,"Zayn mengamati Naila dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. "Kenapa kau melihatku seperti itu?." "Aku bahkan masih bisa mengenalimu. Tentu saja Brian pasti bisa." "Begitu ya.." Naila memperhatikan Brian dan Keisha, penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Kenapa Brian dan Keisha mencari cincin. Apa mereka akan menikah, bertunangan. Kenapa Brian tak memutuskannya dulu sebelum bertunangan atau menikahi Keisha. Naila merasa cemburu, bahkan ketika Brian mulai memakaikan cincin pilihan Brian ke jari manis Keisha. "Apa dia sudah gila!."Naila terbakar amarah melihatnya. Kenapa Brian tak memilih cincin bersamanya. Amarah terbit dalam dirinya, Naila merasa sesak di hatinya, kedua kakinya bergerak maju untuk menghampiri Brian. Mereka sudah tertangkap basah, Brian dan Keisha berselingkuh di depan mata nya. Zayn terkejut ketika melihat Naila berjalan menghampiri mereka. Ketika jarak Naila tinggal 3 meter lagi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika Keisha melepaskan cincinnya. Naila mengerjapkan matanya, terheran-heran saat mendengar Brian mengatakan terima kasih. "Itu cocok dengannya, dia pasti menyukainya."Brian mengambil cincin tersebut dari tangan Keisha lalu memberikannya kembali ke pelayan toko untuk di kemas. "Apa maksudnya itu!."gumam Naila. Naila terkejut ketika Brian akan melihat ke arahnya, dengan gerakan cepat Naila membalikan tubuhnya dan pergi dari sana dengan langkah terburu-buru. "Nona. Gantungan tas mu jatuh."panggil Brian ketika melihat bandulan berbentuk boneka tedy tergeletak di lantai. Naila menghentikan langkahnya, namun jika dia mengambilnya Brian akan melihatnya dan mengenalinya. Naila mengigit bibir bawahnya, khawatir. Zayn melintas di sebelahnya, Naila hanya melihatnya pergi dan membiarkannya karena ia tak mau ketahuan. Naila berjalan cepat untuk segera pergi. Meninggalkan Zayn begitu saja. "Terima kasih." "Eoh. Tuan Zayn. Kau mengenalnya?." "Ah ya. Dia kekasihku. Dia terburu-untuk pergi ke kamar kecil. Biar aku yang ambil gantungannya,"Brian memberikan gantungan tersebut pada Zayn. Ketika melihatnya Zayn terdiam, memperhatikan gantungan itu lamat hingga lamunannya terhenti ketika Brian mememanggilnya. "Terima kasih. Bersiap untuk lamaran?."Brian tersenyum lalu mengangguk kan kepalanya. "kau sendiri. Sedang mencari sesuatu untuk pernikahan?."ucapan Brian membuat Zayn mengerjapkan kedua matanya gugup. Pertanyaan itu malah membuatnya gugup. "Yya.. kami sudah dapat barangnya. Semoga berhasil. Aku pergi dulu." Brian tersenyum ketika Zayn pamit padanya, pria itu membalikan tubuhnya, beranjak dari hadapan Brian yang masih di sana melihat kepergiannya. Namun seketika senyum Brian luruh, ekspresinya berubah muram. *** Naila duduk di kursi depan toilet menunggu Zayn datang mengambil gantungan teddy nya. Ketika gantungan itu berada di hadapannya Naila mendongak dan menemukan Zayn tengah memamerkan boneka itu di hadapan wajanya, ia berdiri tepat di sisi kiri Naila. Naila merebut boneka tersebut seraya berdiri memghadap Zayn dengan ekspresi senang. "Terima kasih." "Setiap orang akan membuang barang pemberian mantan mereka, kau malah menyimpannya dan memamerkannya dengan menggantungkan nya di tasmu." Naila terkejut karena Zayn mengingatnya, pria itu memalingkan wajahnya ketika Naila menatapnya. Gantungan boneka beruang ini memang pemberian Zayn saat ulang tahun hubungan mereka yang ke.3. Naila lupa mencabutnya, sekarang pria itu pasti besar kepala. Naila mendengus sebal, apa pria itu berpikir yang tidak-tidak. "Aku sudah berjanji untuk menyimpannya. Lagi pula ini cukup bagus. Aku jarang melihat gantungan ini di toko manapun." "Tentu saja karena itu aku yang..." "Apa. Kau mau bilang apa?."Zayn terlihat gugup membuat Naila penasaran. Kalimat Zayn menggantung begitu saja, tidak menjelaskan lebih. Laki-laki itu hanya diam, tenggelam dalam pokorannya sendiri. Ketika pandangannya kembali pada Naila ia berkata. "Lupakan saja."ucapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan Naila yang terheran-heran. "Hei. Tunggu aku." *** Zayn bergerak dengan langkah kakinya yang lebar, sementara Naila berlari tergesa-gesa untuk menyamakan langkah kakinya yang tertinggal cukup jauh di belakang. Zayn mengeluarkan kunci dari kantung celananya lalu ketika tangannya menekan tombol kecil dari salah satu gantungan kunci mobilnya, langkahnya terhenti tiba-tiba hingga membuat Naila menabrak punggungnya dengan keras. "Kau mau mati."umpat Naila tubuh Zayn berbalik dan mendorong Naila mundur dari sana agar bersembunyi di balik salah satu pilar. Naila menatapnya dengan ekspresi kesal. "Ada apa? Apa Brian!."Zayn mengangguk dan menutupi pandangan Naila menggunakan tubuhnya. Naila mengerjap merasa keheranan, Zayn tak menjelaskan apapun tentang yang sedang ia lihat. Zayn melihat apa yang tengah Brian lakukan bersama dengan Keisha, ia memalingkan wajahnya dan kembali menatap Naila. Wanita itu hanya diam dan menunggu. Zayn dapat melihat mobil Brian yang sudah pergi namun tubuhnya belum bergerak dari sana. Naila terlalu dekat dengannya, membuat kinerja jantungnya berdebar di atas debaran normal. Naila mengada menatap Zayn yang sedang memandang nya dengan tatapan bertanya-tanya. Sampai kapan mereka akan bersembunyi seperti ini. Apa yang sedang Brian lakukan. "Apa yang sedang Brian lalukan? Sampai kapan kita bersembunyi seperti ini?."suara Naila berbisik agar Brian tidak dapat mendengar mereka bersembunyi di sini. "Zayn."panggil Naila dengan suara lirih. Ia mulai gugup karena Zayn terus menatapnya dan tak membiarkannya pergi. "Aku hanya takut jika.. bukan wanita itu yang akan Brian lamar."ucapan Zayn tak kalah lirih butuh beberapa detik bagi Naila untuk mencerna kata-kata itu sebelum reaksinya menyusul dengan pupil mata yang membesar. "Maksudmu ada wanita lain? Siapa? Brian akan melamar wanita lain? Kenapa laki-laki itu sangat playboy." Naila menggerutu, tatapan Zayn jatuh pada bibirnya, bagaimana wanita itu berbicara ekspresi nya yang membuat Zayn seolah tersihir untuk terus menatapnya. Zayn dapat merasakan jantungnya berdebar-debar. Rasanya ingin meraih bibir itu, sesuatu berdesir dalam hatinya, keberanian menyulut emosinya. Zayn meraih bahu Naila, lalu pergerakan nya terhenti ketika Naila menatapnya gamam. Seketika hal itu menyadarkannya, Zayn menjauhkan tubuh Naila lalu membalikan tubuhnya. Matanya mengerjap kelimpungan dengan sikapnya yang hampir saja berbuat lebih. "Ada apa denganmu?Zayn." "Brian sudah pergi. Aku ada urusan penting, aku akan mengantar mu pulang cepatlah."Zayn berkata masih dengan posisinya yang berdiri membelakangi Naila. Zayn berjalan menuju mobilnya, sebelah tangannya mengibas kerah bajunya seraya menghembuskan nafasnya, merasa gerah. "Ada apa dengan mu. Sialan!."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN