"Sejak kapan kau tinggal di sini? Jadi kau benar-benar sudah kaya? Apa ibumu tinggal bersamamu di sini?."
Zayn memperhatikan sekitar seraya mencari-cari dimana Brian memarkirkan mobilnya. Matanya melirik Naila sinis sebelum kembali melihat ke arah depan. Kembali memerhatikan sekitar dan mencari-cari keberadaan Brian.
"Sudah jelas aku lebih kaya dari kekasih brondongmu itu. Apa dia pernah mentraktirmu baskinrobbins, karena kau terus memalakku, aku rasa dia tidak pernah membelikanmu itu."
"Pernah. Tapi tidak sering. Tapi apa hubungannya kekayaan dan mentraktirku dasar pelit."gerutu Naila.
Tiba-tiba saja Zayn menghentikan mobilnya hingga membuat belakang kepala Naila membentur punggung kursi, Naila benar-benar ingin memaki kalau saja dia tidak melihat mobil Brian kini berada di hadapan mereka tengah bergerak mundur untuk memarkirkan mobilnya. Setelah Brian memarkirkan mobilnya Zayn langsung melajukan mobilnya, kali ini keberuntungan memihak padanya. Sebuah mobil keluar dari parkiran berselang satu mobil di samping mobil Brian berada.
Ketika Zayn berhasil memarkirkan mobilnya, Brian belum juga keluar dari dalam mobil, hal itu membuat Naila semakin penasaran. Zayn menoleh ke sisi kirinya untuk melihat ke arah Brian. Mobil di sebelahnya sedikit menghalangi, tapi ia masih bisa melihatnya cukup jelas. Brian berada di dalam mobil, menatap ke arah depan seraya mengatakan sesuatu. Sepertinya mereka sedang berbicara.
"Mereka sedang apa?."tanya Naila penasaran, jarak pandang nya lebih jauh hingga membuatnya tidak terlalu jelas melihat apa yang tengah wanita itu lakukan bersama dengan Brian di dalam mobil.
"Ber.."ucapan Zayn terputus ketika Naila muncul di hadapannya. Tubuhnya menjulang di hadapannya, wajahnya hampir menempel pada kaca mobil, sebelah tangannya menahan bobot tubuhnya sendiri di punggung kursi Zayn, sementara tangan lainnya berada di pelipisnya agar bisa melihat mereka dengan jelas.
Tubuh Zayn membeku seketika, Zayn dapat menghirup aroma Naila dengan jelas. Posisi Naila yang begitu dekat membuat Zayn begitu gugup. Jantungnya berdebar keras, kenapa rasanya ia terkurung, Zayn tak bisa menggerakan tubuhnya, bahkan kedua kakinya karena tubuh Naila yang menjulang di atas kedua kakinya. Naila menggerutu sesuatu, membuat Zayn memalingkan wajahnya dari tubuh Naila dan kembali melihat ke arah mobil Brian. Zayn mengerjapkan kedua matanya, mencoba untuk fokus.
"Apa mereka sedang membicarakan sesuatu? Kenapa tidak keluar juga?."gerutu Naila yang tak ditanggapi Zayn. Pria itu hanya diam saja, bahkan ia baru sadar jika beberapa menit lalu ia terus menahan nafas.
Brian dan wanita itu keluar dari dalam mobil, berjalan bersama menuju ke arah lift. Naila yang melihat itu bergegas membuka pintu mobil untuk bisa mengejarnya. Pintu mobil di sisi Zayn terbuka, dan hal itu membuat Zayn hampir saja berteriak dengan kencang. Masalahnya, Naila terjatuh di atas paha Zayn dengan kedua tangan yang menahan bobot tubuhnya sendiri. Sumpah demi apapun, Zayn ingin sekali memukul wanita ini jika bisa. Jika bisa.
"Maafkan aku. Apa sakit?."Naila menarik tubuhnya untuk kembali mendudukan dirinya, menatap Zayn yang kini merintih kesakitan. Ketika pria itu menatapnya dengan sengit, Naila menggigit bibir bawahnya gugup.
"Kenapa kau masih bertanya, tentu saja sakit sekali."Naila tersenyum pahit, menggosok kedua telapak tangannya dan membentuk nada memohon dengan ekspresi memelas menatap Zayn dengan wajah memberenggut, meminta simpati.
"Maafkan aku. Aku akan mentraktirmu kopi. Ayo bantu aku. Kita harus tahu kemana dia pergi."
"Aku sedang kesakitan dan kau tetap memaksaku. Kemana perginya rasa simpatimu."Ucapan Zayn membuat Naila memukul bahunya. Tubuh Zayn tersentak, kedua matanya membesar melemparkan tatapan pada Naila dengan ekspresi memprotes.
"Hanya seperti itu dan kau sesakit ini. Kenapa tubuhmu lemah sekali. Makanya olahraga Zayn. Kau lihat tubuhmu banyak lemak, berbeda sekali dengan Brian. Dia bahkan sangat berotot."Naila mengambil tas dan membuka pintu mobil cepat-cepat, tak ingin kehilangan jejak Brian.
"Apa!. Hei Apa kau pernah melihat tubuh nya. Sungguh. Tubuh polosnya. Apa kau sudah gila!."Zayn berkata seolah kedua matanya akan keluar. Naila berdecak, tak habis pikir dengan tuduhan Zayn padanya. Apa wajahnya terlihat semesum itu. Zayn memang minta dihajar.
"Kau yang sudah gila. Apa kau pikir aku semesum itu. Jika Brian memelukku, aku tentu saja tahu tubuhnya berotot."tentu saja bukan. Naila memang tidak pernah sejauh itu, ia bahkan tak pernah melihat tubuh Zayn saat mereka berpacaran. Naila tidak memiliki gaya berpacaran sejauh itu. Tidak. Sangat tidak. Naila menjauhi hal itu.
"Jadi kau meraba tubuhnya. Apa kau pernah melakukan s*x dengannya?."suara Zayn merendah, namun tetap saja kesopanannya dalam berbicara untuk menjaga kesopanannya tidak bisa dihargai. Kalimat itu sangat menyulut emosi Naila.
"Kau benar-benar minta dihajar ya!."protes Naila keras. Katakan Naila kuno. Tapi memang itu lah Naila. Ia memiliki prinsip kuno yang ia pegang hingga saat ini.
"No s*x before married. Itu masih menjadi prinsipku. Tapi kalau iya. Mau aku s*x dengannya atau meraba-raba tubuhnya. Itu bukan urusanmu."Naila keluar dari dalam mobil Zayn dan menutup pintu mobilnya hingga menimbulkan suara keras.
Zayn keluar dari dalam mobil menyusul Naila, wajahnya memberenggut nampak kesal. Percakapan ini membuat suasana hatinya memburuk. Zayn merasa tak enak pada hatinya, Naila berjalan lebih dulu setelah memastikan Brian masuk ke dalam lift. Zayn memasukan kedua tangannya ke dalam saku lalu berjalan mengikuti Naila yang sudah lebih dulu meninggalkan nya.
***
Naila melihat nomor lift menunjuk angka sembilan. Ketika ia menoleh pada Zayn pria itu sedang menatap ke arah dinding lift. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Apa kau benar-benar belum melakukan s*x padanya?."pertanyaan itu membuat Naila memutar kedua bola matanya malas, tidak ada salahnya jika ia memang melakukannya bersama dengan Brian, kenapa Zayn harus repot soal hal tersebut dan bukan situas yang tepat membahas hal itu sekarang.
"Apa kita harus membicarakan hal tidak penting ini!."Naila menatap Zayn seolah mengatakan. Apa kau bercanda. Itu benar-benar tidak penting. Sangat. Kenapa juga Zayn peduli. Naila tidak habis pikir.
Zayn menghela nafas kesal, ia melirik jam pada pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul 8. Matanya melirik ke arah layar yang menunjukan nomor lift lalu menekan tombol naik dengan hentakan keras. Anehnya pria itu terlihat marah. Hanya pikirannya saja atau Zayn memang sedang marah. Naila hanya memandangnya, melihat pria itu menatap kesal pintu lift yang terlalu lama terbuka. Ketika pintu lift di hadapan Naila terbuka, Zayn langsung menarik tangan Naila dan masuk ke dalam lift. Naila menghentak tangannya hingga cekalan tangan Zayn terlepas namun pria itu kembali mencengkram pergelangan tangannya.
Sikap Zayn benar-benar membuat Naila bingung. Namun ketika lift terbuka di lobby, seorang pria setengah mabuk tersenyum ke arahnya. Tubuhnya gemuk, rambutnya terlihat tidak asli karena sedikit acak-acakan. Naila rasa dia memakai rambut palsu. Tinggi mereka hampir sama. Dia tersenyum lebar pada Naila. Naila melemparkan pandangan aneh, lalu Zayn menariknya lebih dekat. Naila hanya menurut. Lebih baik lagi jika Zayn berada di tengah-tengah di bandingkan Naila harus berada di samping pria itu. Wajahnya terlihat menyebalkan. Senyumannya seolah menunjukan ketertarikan. Apa dia sedang tersenyum padanya.
"Kekasihmu?."
"Eoh. Anda baru pulang?."ucap Zayn tanpa melihat ke arahnya. Naila mencoba untuk mengabaikannya dengan memandang pintu lift seperti apa yang Zayn lakukan. Naila mengapit lengan Zayn dengan erat, merasa tidak nyaman dengan tatapan pria di sebelahnya. Pria yang baru saja menegur Zayn. Jas melekat di tubuhnya, dandanannya cukup rapih tapi wajah menyeringai dengan senyum m***m di wajahnya nampak sangat menyebalkan untuk di pandang. Ketika Naila kembali meliriknya pria itu sedang menatapnya. Membuat Naila melihatnya dengan pandangan horor.
"Kenapa dia menatapku seperti itu?."Tanya Naila lirih agar pria itu tidak bisa mendengar suaranya.
"Dia naksir padamu."gumam Zayn tak kalah lirih namun tetap memandang lurus. Mengabaikan Naila yang kini sedang menatapnya. Naila semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Zayn. Kedua matanya membesar mendengar hal itu. Kenapa lebih menyeramkan di bandingkan dengan kata-kata menakutkan seperti ada hantu di sampingmu. Pintu lift terbuka, Naila ingin sekali segera kabur dari sana namun Zayn memilih untuk membiarkan pria itu pergi lebih dulu.
"Selamat malam Zayn dan nona..."pria itu berkata dengan nada yang seolah bertanya pada Naila mengenai namanya. Ekspresinya menyiratkan hal itu namun Naila memandang nya seolah. Apa yang mau kau katakan, cepat pergilah. "Malam nona cantik. Beritahu aku jika kalian sudah putus."
Wajah Naila benar-benar menunjukan betapa horornya hal itu tadi. Baru saja ia mau melangkah keluar lift. Suara pria itu yang kembali menyapa Brian membuat Naila menghentikan satu langkah nya yang menyentuh garis di pintu lift. Naila berdiri di sisi lift. Mengintip ke luar, ia dapat melihat Brian yang tengah menekan password pada pintu kamarnya. Sementara Zayn menahan agar pintu tetap terbuka. Kedua mata Naila membesar tat kala melihat wanita itu juga tinggal di sana, kamarnya berada di ujung koridor. Pantas saja mereka bisa pulang bersama. Sementara pria tadi memiliki kamar di sebrang Brian. Lebih maju satu kamar dari pada Brian.
Naila berjalan menuju pintu kamar Brian. Memerhatikan kamarnya untuk beberapa saat. Kamar kekasihnya dan wanita itu hanya berselang dua kamar. Kedua mata Naila memincing, memberikan tatapan sengit pada kamar wanita itu. Bisa-bisanya Brian terus-menerus bersama dengan wanita itu. Apa Naila harus pindah ke Apartemen ini agar bisa memantau mereka berdua. Naila mendengar pintu terbuka, tubuhnya berbalik dan mendapati Zayn tengah membuka pintu Apartemen. Sebelah tangannya terangkat, menunjuk Zayn dengan tatapan terkejut.
"Hei. Hei. Hei. Kau juga tinggal di sini?."
"Kenapa kau terkejut."
"Apa kau sekongkol dengan Brian untuk mengerjaiku? Karena jika kau bilang iya maka aku akan berdoa pada tuhan agar mencabut nyawa kalian berdua. Ini sama sekali tidak lucu. Bagaimana bisa kalian tinggal di lorong yang sama tetapi tidak saling mengenal."Naila bersedekap, menatap Zayn jengkel dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Tubuhnya bersandar pada dinding Apartemen, wajahnya mendongak menatap Zayn jengkel.
Suasana hatinya sedang memburuk, dan sikap Naila semakin membuatnya kesal. Siapa juga yang mau repot-repot pindah kemari dan menggedor setiap pintu untuk berkenalan. Apakah Naila tidak tahu jika pria lebih anti sosial di bandingkan wanita. Zayn berdiri di hadapan Naila, sebelah tangannya berada di sisi kanan wajah wanita itu dan menatapnya intens. "Apa kau pikir Apartemen itu seperti perumahan dimana kau berkenalan pada setiap orang dan bergosip dengan mereka. Jika aku tinggal di sini dan di samping Apartemenku adalah seorang pembunuh sekalipun, aku tidak peduli."