Prolog || Episode 1 : Setelah Pernikahan

1934 Kata
Prolog : Perselisihan yang terus-menerus terjadi membuat Sasmita memilih bercerai dari Rarendra, meski Sasmita masih sangat mencintai Rarendra. Namun tak kurang satu minggu setelah perceraian, Rarendra justru menikahi Suci dan tak lain kakak Sasmita, dengan pesta pernikahan yang begitu mewah. Yang membuat Sasmita makin hancur, tak lain karena semua anggota keluarga mereka mendukung hubungan Rarendra dan Suci. Sasmita seolah dibuang tanpa seorang pun yang peduli. Dan pengkhianatan orang-orang terdekat yang Sasmita dapatkan terasa semakin menyakitkan, ketika Sasmita mengetahui dirinya sedang hamil anak Rarendra, sedangkan di waktu yang sama, Suci yang baru satu minggu Rarendra nikahi juga mengumumkan kehamilannya. Puncaknya, mobil yang Sasmita kendarai mengalami kecelakaan hingga Sasmita kembali keguguran, sedangkan Suci justru makin gencar memamerkan kemesraan dengan Rarendra. Seolah belum cukup menderita, Leon selaku mantan yang menawarkan kebahagiaan dan mengalami kecelakaan bersama Sasmita, justru amnesia hingga Leon melupakan kisah mereka. Balas dendam atau perlahan pergi dan menghilang, itulah yang ingin Sasmita lakukan. Namun, apakah perpisahan bahkan balas dendam, bisa menyembuhkan semua luka Sasmita? Episode 1 : Setelah Pernikahan Lima bulan dari lamaran yang Rarendra Priyatno lakukan, Sasmita Dewi resmi menjadi istri pria berusia dua puluh enam tahun itu. Dalam hatinya, Sasmita tak hentinya memanjatkan syukur, bersama rasa lega yang membuat dadanya tak lagi sesak hanya karena terlalu tegang menghadapi sederet persiapan menuju pernikahan. Pernikahan impian yang Sasmita harapkan menjadi awal mula lembaran baru penuh kebahagiaan. Menikah dengan Rarendra selaku pria santun sekaligus bertanggung jawab dan dua tahun terakhir telah Sasmita kenal, memang menjadi cita-cita terbesar Sasmita, atau yang lebih akrab dipanggil “Mita” itu. Rarendra merupakan salah satu teman baik Suci selaku kakak sekaligus saudara tunggal Sasmita. Sedangkan di mata semua yang mengenal pria yang Sasmita panggil “Mas Rara” tersebut, Rarendra merupakan suami idaman. Pernikahan mereka berlangsung sederhana di kediaman orang tua Sasmita. Tanpa ada pesta dan hanya ada acara makan-makan keluarga sebagai bagian dari acara syukuran pernikahan itu sendiri. Di mana sorenya, Rarendra langsung memboyong Sasmita dari rumah orang tua Sasmita. Yang Sasmita tahu, Rarendra tidak akan memboyong Sasmita ke rumah orang tua Rarendra, melainkan sebuah kontrakan kecil dan sebelumnya sudah Sasmita ketahui akan menjadi tempatnya dan Rarendra mengarungi biduk rumah tangga. Sasmita bahkan sudah membereskan kontrakan tersebut, menyulapnya menjadi surga impian untuknya dan Rarendra tinggal. **** Hujan mengguyur semakin deras ketika motor yang Rarendra kendarai menepi di teras kontrakan tujuan mereka. Sasmita segera turun sembari mengamati suasana sekitar yang masih ramai dan sepertinya akan selalu ramai tanpa kenal waktu, mengingat kontrakan mereka memang berada di pemukiman padat penduduk. Saking padatnya, setiap kontrakan berukuran 2,5x 7 meter di sana hanya dipisahkan oleh tembok. Tak ada pemandangan menarik lain selain sederet barang-barang yang harus disusun sedemikian rupa, di setiap teras kontrakan. Sampai-sampai, selain membuat pemandangan terasa sumpek berhias asap rokok, untuk memasuki teras menuju kontrakan saja, beberapa barang tetangga yang tidak tersusun rapi dan menghalangi jalan, harus dipindahkan lebih dulu. Sebenarnya, Sasmita dan Rarendra masih bisa menjalani kehidupan lebih mewah. Akan tetapi, Rarendra sudah memutuskan segala sesuatunya tanpa terkecuali tempat tinggal mereka setelah menikah, sedangkan Surono berikut Sarnia selaku orang tua Sasmita, meminta Sasmita untuk tidak banyak menuntut. Sasmita diwajibkan untuk cukup menjalani saja. Tanpa terkecuali, mengenai keinginan Sasmita yang tidak mau buru-buru pindah dari rumah orang tuanya. Sasmita ingin tinggal beberapa hari lagi di rumah orang tuanya, terlepas dari wanita berambut panjang tebal sepunggung itu yang belum terbiasa hidup jauh dari orang tua. Namun, sepertinya semuanya memang beralasan. Sasmita memang harus secepatnya angkat kaki dari rumah orang tuanya, demi menghargai sekaligus menjaga hati Suci yang telah mereka ‘langkahi’. Iya, Suci yang berusia dua tahun lebih tua dari Sasmita, belum menikah. Itu juga yang membuat orang-orang di sekitar mereka, mencela Sasmita yang dikata mereka terlalu “ngebet” menikah, hanya selain usia Sasmita terbilang masih muda, Suci kakaknya juga belum menikah. Ketika Rarendra membuka kunci pintu kontrakan, detik itu juga jantung berikut hati Sasmita semakin sibuk berdebar. Sasmita merasa panas dingin bersama tubuhnya yang sampai berkeringat, kendati jelas-jelas udara di sana terbilang dingin akibat hujan yang masih berlangsung. Ini mengenai apa yang akan terjadi setelah mereka masuk kontrakan, apalagi semenjak lamaran, Rarendra menjadi semakin irit bicara bahkan mendiamkan Sasmita. Sasmita yakin Rarendra sengaja menjaga hubungan mereka, terlebih sejauh mengenal, Rarendra memang bukan pria kurang ajar. Rarendra paham batasan dalam hubungan. “Aku rebus air dulu buat mandi,” ucap Rarenda sembari berlalu. Rarendra meninggalkan Sasmita setelah menutupkan pintu. Tadi, mereka memang belum sempat mandi. Sedangkan sejauh ini, meski pendiam, Rarendra memang tipikal sangat perhatian. “Mas mau makan sesuatu? Di kulkas ada beberapa makanan. Kemarin aku sudah beresin semuanya.” Sasmita menyusul sambil melepaskan tas cukup besar yang sedari awal menghiasi pundak kanannya. Di kontrakan mereka ada tiga ruangan tanpa disertai pintu berarti. Jadi, Sasmita sengaja menutup setiap pintu di sana menggunakan gorden. Ruang depan dihuni meja dan kursi lengkap dengan lemari buku. Ruang tengah merupakan kamar yang sudah dihiasi kasur busa tanpa amben, dua buah lemari pakaian, sebuah meja kecil untuk menyusun keperluan rias dan beberapa n****+ koleksi Sasmita, selain sebuah televisi yang menempel di dinding menghadap kasur. Sedangkan ruang paling belakang dan memiliki ukuran lebih sempit dari dua ruang sebelumnya, merupakan dapur dan bersebelahan dengan kamar mandi. Di dapur ada sebuah kulkas kecil, dispenser, berikut kompor dan rak piring berukuran kecil. “Kalau kamu lapar, kita pesan saja. Atau nanti aku pergi ke depan bentar. Enggak usah masak dulu. Takutnya kamu kecapean.” Rarendra langsung membawa panci ke kamar mandi dan mengisinya dengan air. Sasmita yang sudah jongkok di depan kulkas, mengerucutkan bibir sambil berpikir. “Mas lapar, enggak? Mmm, hujan-hujan gini, makan mie kuah dikasih sayur, telor pakai cabe, enak, Mas! Aku rebus mie kuah saja, ya, buat makan malam kita?” “Terserah, kamu saja yang atur,” balas Rarendra membawa panci berisi air yang akan direbus. Rarendra menaruh panci berukuran cukup besar berisi nyaris penuh, di atas kompor yang langsung pria itu nyalakan. “Aku ke depan dulu. Nanti kalau sudah mendidih, kamu panggil aku soalnya ini berat. Nanti kamu mandi dulu takut masuk angin sudah basah gitu,” ucap Rarendra lagi. Sasmita mengangguk sambil tersenyum ceria sebagai balasannya. Segera, setelah Rarendra benar-benar meninggalkannya, ia juga mengeluarkan sayur dari kulkas, menyiapkan semua keperluan untuk mie rebus yang sudah ia rencanakan sebagai menu makan malam. Sasmita merasa sangat bahagia. Benar-benar bahagia. Senyum di wajah cantiknya tak ubahnya gelombang di lautan lepas, membentang tak berkesudahan. **** Ketika malam semakin larut, Sasmita sudah membereskan semuanya. Termasuk memastikan pintu kontrakan mereka tinggal dalam keadaan terkunci, dan nyatanya sudah diurus oleh Rarendra. Tanpa terkecuali, motor matik Rarendra yang sudah terparkir di ruang depan. Televisi masih dalam keadaan menyala, tapi Rarendra yang awalnya menonton ketika Sasmita tinggal untuk membereskan piring berikut gerabah bekas mereka makan, juga sudah tidur. Rarendra ketiduran dan Sasmita yakin karena pria yang telah resmi menjadi suaminya itu kelelahan. Sasmita segera mematikan televisinya dan menyimpan remote televisi di meja kecil sebelah lemari. Ia yang malam ini mengenakan gaun malam warna putih segera menarik selimut, menyelimuti tubuh suaminya lebih dulu sebelum merebahkan kepalanya di bahu pria itu. Seketika itu pula, Rarendra terbangun. Pria itu menggeliat dan bergumam sambil menatap wajah Sasmita dengan senyuman. Sasmita sendiri langsung membalasnya dengan senyuman jauh lebih hangat bersama rasa hangat yang tak hanya menyelimuti dadanya, melainkan kehidupannya. Sasmita merengkuh manja tubuh bidang Rarendra dan menarik kepalanya untuk bersemayam di sana. “Mas …?” panggil Sasmita lirih sekaligus manja. Bibir Sasmita sampai mengerucut. “Ta … kita ‘nunda’ saja, ya?” balas Rarendra. Sasmita langsung menarik wajahnya yang seketika itu menjadi dihiasi kerut tipis efek ia yang langsung mengernyit. Ia menatap wajah Rarendra tanpa mengakhiri dekapan kedua tangannya. Rarendra masih terpejam sempurna. “Nunda gimana, Mas?” tanya Sasmita kemudian. “Iya. Aku enggak mau kamu repot.” Rarendra masih menjawab di tengah kedua matanya yang masih terpejam. Belum sempat Sasmita kembali bertanya, Rarendra kembali bergumam sambil menggeliat, hingga yang ada, pria itu memunggungi Sasmita. “Mas …?” Sasmita semakin bingung. “Aku tidur dulu. Ngantuk. Capek, besok langsung masuk kerja.” Sasmita berpikir, apakah Rarendra ingin melewatkan malam pertama mereka begitu saja? Suaminya itu sungguh tidak ingin menyentuhkan apalagi melakukannya? Bersama rasa gundah yang mulai membuat dadanya bergemuruh, Sasmita yang menjadi duduk selonjor di balik punggung kokoh Rarendra, bertanya, “Malam ini, Mas, beneran enggak mau?” “Mmm ….” Rarendra bergumam sambil mengangguk tanpa mengubah keadaan bahkan keputusannya. “Kenapa?” tanya Sasmita dengan suara yang seketika itu melemah bersama hatinya yang terasa sangat ngilu. Sakit. Sasmita merasa tak diinginkan oleh suaminya sendiri. Padahal harusnya sebagai laki-laki normal, seberapa pun lelahnya keadaan, yang Sasmita tahu, yang namanya laki-laki apalagi pengantin baru pasti tidak pernah menolak. Bahkan kebanyakan laki-laki akan tidak sabar sekaligus ingin lebih. “Aku pikir, Mas bakalan langsung ingin punya anak? Apalagi sejauh ini, yang aku lihat, Mas suka anak kecil?” Suara Sasmita semakin melemah. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Sasmita sudah menjerit dan ingin menangis. Apalagi yang Sasmita tahu, di luar sana justru para suami yang sering ‘meminta’ di malam pertama. Namun kini, justru dirinya sebagai istri yang melakukannya. Atau, Sasmita saja yang sok tahu? Sasmita menghela napas dalam, mencoba mengurangi rasa sesak yang seketika tumbuh memenuhi dadanya. Ia berangsur mendekap punggung Rarendra dan menyemayamkan wajahnya di atas wajah Rarendra tanpa langsung bisa memejamkan matanya yang menjadi sulit dipejamkan. “Kita tunda dulu, Ta. Lagi pula aku harus fokus ke pekerjaan,” ucap Rarendra dengan sebelah tangan mengelus cepat punggung kepala Sasmita. Mata pria itu masih terpejam. “Apa mau pakai kontrasepsii saja?” usul Sasmita sambil menatap wajah suaminya. Rarendra menggeleng. “Enggak usah.” “Mas mau aku KB atau pasang …?” tanya Sasmita lagi. “Enggak usah ….” Rarendra semakin sibuk menggeleng. “Sudah, kamu tidur ya ....” Kali ini ia sibuk membimbing Sasmita untuk tidur, merebahkannya di bantal sebelah. Tak berlangsung lama, karena ia langsung meninggalkan istrinya dan kembali menjadikan punggung sebagai jarak mereka. Sasmita semakin bingung. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Ia menatap punggung Rarendra bersama jemarinya yang sibuk saling remas di atas perut. Terus begitu dengan harapan, Rarendra mengubah keputusannya. Akan tetapi, setelah dua jam lamanya menunggu, semuanya masih sama. Sasmita memilih untuk memunggungi punggung Rarendra. Namun, ia masih terjaga sambil mendengarkan detak jantungnya yang semakin lama terdengar semakin lemah. Wanita berambut panjang kecokelatan itu menghabiskan waktunya untuk menunggu bersama air mata yang terus mengalir. Kedua mata Sasmita terasa sangat perih. Namun tetap, Rarendra tak kunjung menyentuhnya bahkan untuk sekadar menghadap padanya. Suaminya itu tetap memberikan punggung tanpa perubahan berarti. **** Hingga dua bulan berlalu, semuanya masih sama. Sasmita sampai terbiasa tanpa lagi bertanya apalagi meminta. Karena meski Sasmita sampai mengatakan dirinya sudah sampai memasang alat kontrasepsi, Rarendra masih menolak dengan dalih, harus fokus pada pekerjaan. Alasan yang makin lama makin tidak masuk akal bagi Sasmita. Sasmita hanya bisa berlapang d**a, yakin jika cepat atau lambat dirinya juga akan terbiasa dengan kenyataan suaminya. Sasmita sudah terbiasa menjalani rumah tangga mereka tanpa kemesraan berarti. Hubungan mereka tak jauh berbeda ketika mereka masih berpacaran. Termasuk Sasmita yang tak lagi melayangkan ciuman kepada Rarendra bahkan secara diam-diam ketika pria itu sudah tertidur pulas di sisinya. Bagi Sasmita, genggaman dan pelukan singkat yang Rarendra berikan sudah lebih dari cukup. Daripada Rarendra mendadak memulangkan atau justru meninggalkan Sasmita tanpa kabar. Meski apa yang Sasmita lakukan membuat Sasmita mengecap dirinya sendiri sebagai wanita bodoh. Satu pertanyaan yang hingga detik ini masih membuat Sasmita bertanya-tanya. Mengenai apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa hingga detik ini, Rarendra tak kunjung ‘menyentuhnya’? Benarkah Rarendra tidak menginginkannya? Apakah Suaminya memiliki cinta lain? Atau, … Rarendra memang menyembunyikan sesuatu yang bahkan lebih fatal dari apa yang Sasmita pikirkan? Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN