Jangan Salah Paham

899 Kata
"Ya. Surat perjanjian untuk pernikahan kita, supaya kamu tahu batasan-batasan selama kita menikah. Baca baik-baik semua poinnya. Kalau kamu setuju, langsung tandatangani." Jasmine tak ingin bertanya lebih banyak meski di kepalanya bersarang berbagai pertanyaan. Ia memilih fokus pada surat perjanjian tersebut yang terdiri dari beberapa poin. Rasanya, Jasmine seperti tokoh utama dalam n****+ roman yang sering ia baca tentang perjodohan yang berujung pada pernikahan kontrak. Siapa sangka kini ia mengalami sendiri, berhadapan langsung dengan surat perjanjian seperti ini. Di sana tertulis Reiner Ferlando sebagai pihak pertama dan Jasmine Permata sebagai pihak kedua. Poin pertama: Pernikahan hanya sebatas status. Tidak ada cinta, seks, atau aktivitas seperti pernikahan normal pada umumnya. Serta pihak pertama memiliki kewenangan dengan surat perjanjian ini. Poin kedua: Harus berpura-pura mesra di hadapan keluarga, khususnya orang tua pihak pertama. Jasmine berpikir sejenak. Ia tidak terlalu masalah jika mereka berpura-pura di depan orang tua Reiner. Jasmine pun setuju dengan poin tersebut. "Poin ketiga. Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing. Pihak pertama boleh memiliki hubungan spesial dengan wanita lain. Begitupun dengan pihak kedua." Baiklah. Jasmine setuju. Toh, mereka memang tidak akan saling mencintai, bukan? Tentu tidak akan ada yang sakit hati di antara mereka. "Poin keempat. Pihak kedua harus berhenti dari pekerjaannya karena akan mencoreng nama baik keluarga pihak pertama." Jasmine kembali berpikir. Jika ia berhenti bekerja, lalu akan mendapat uang dari mana untuk membayar hutang-hutang kakaknya? Jasmine kemudian menoleh menatap Reiner. "Em... aku kerja di kafe saat siang. Dan malam hari di klub. Maksud dari poin empat ini, apa aku harus berhenti dua-duanya?" tanya Jasmine memastikan. Reiner menaikkan sebelah alisnya. Mungkin dia baru tahu bahwa Jasmine bekerja siang dan malam. "Ya. Dua-duanya. Kamu akan menjadi menantu keluarga Ferlando. Tidak perlu khawatir dengan biaya hidupmu." Jasmine tahu. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan biaya hidup dirinya. Tapi masalah kakaknya tentu lain cerita. "Baiklah. Aku akan berhenti dari klub. Tapi akan tetap bekerja di kafe." "Kamu khawatir akan kelaparan di rumah saya?" tuding Reiner tanpa pikir panjang. Jasmine lantas menarik napas pelan. "Aku sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk masalah pribadiku. Aku tahu sangat tidak mungkin kekurangan makan di rumahmu. Tapi... ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dengan usahaku sendiri." Reiner berpikir beberapa saat sambil melipat tangan di depan d**a. Ia kemudian setengah melemparkan bolpen ke hadapan Jasmine. "Baiklah. Beri keterangan di situ sesuai keinginanmu barusan. Tapi tetap kamu tidak boleh mempermalukan nama keluarga saya." Jasmine merasa sedikit lega. Ia mengangguk lantas menambahkan catatan di poin nomor empat. Poin kelima. Pernikahan ini terikat waktu. Jika hasil tes DNA menunjukkan anak tersebut bukan anak pihak pertama, maka akan bercerai secepatnya. Tapi jika anak tersebut terbukti anak pihak pertama, maka hak asuh sepenuhnya milik pihak pertama, dan keduanya akan bercerai setelah anak lahir. Pihak kedua harus pergi sejauh-jauhnya dari pihak pertama dan anaknya. "Aku tidak setuju dengan poin kelima," protes Jasmine dengan wajah menegang. Tangannya refleks bergerak mengelus perutnya sambil menatap Reiner dengan datar. "Dia anakku juga. Aku tidak mau dipisahkan dengan anakku sendiri!" Reiner mengedikkan bahunya dengan enteng. "Kalau begitu tidak perlu ditandatangani. Dan pernikahan kita tidak jadi dilangsungkan. Batal sampai di sini." "A-apa?" Jasmine tercenung. Ia tak habis pikir Reiner akan melakukan hal setega itu padanya. Jasmine sudah jatuh cinta dengan janin dalam perutnya. Dipisahkan dengan anaknya sendiri benar-benar sebuah mimpi buruk bagi Jasmine. "Aku tidak masalah bercerai denganmu. Tapi tolong, anak ini akan tinggal bersamaku. Bagaimana mungkin dia dipisahkan dengan ibunya sendiri?" ujar Jasmine dengan bibir bergetar menahan berbagai emosi yang menggelayuti hatinya. Reiner menatap Jasmine. Tatapan dan ekspresi pria itu sulit sekali terbaca. "Agree or not? Pilihanmu hanya dua jadi pikirkan baik-baik. Kalau anak itu terbukti anak saya, saya akan merawat dia dengan sangat baik." Jasmine menatap map di tangannya, hatinya terasa hancur. Ia tahu, mempertahankan anaknya akan sangat sulit, tetapi ia tidak akan menyerah. "Hidupnya dan pendidikannya akan terjamin. Dia juga tidak akan kekurangan kasih sayang, jadi kamu tidak perlu khawatir. Setelah kamu melahirkan segera pergi jauh-jauh dari anak itu karena saya tidak bisa selamanya hidup denganmu." Pria itu benar. Hidup anak ini akan terjamin jika dibesarkan oleh Reiner. Berbeda jika hidup bersama Jasmine. Jasmine tak yakin dapat memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya kelak. Untuk biaya hidup diri sendiri pun cukup sulit, belum lagi dia dibayang-bayangi hutang sang kakak. Jasmine mengepalkan tangannya. Menguatkan tekad pada keputusan yang akan ia buat meski suatu saat mungkin akan menyesali pilihannya. Tetapi, Jasmine tidak punya pilihan lain demi nasib anaknya kelak. "Aku setuju. Asalkan anakku hidup bahagia dan mendapat kehidupan yang layak, aku akan menyetujui perjanjian ini." Usai menyepakati isi perjanjian pernikahan dan menandatanganinya, Reiner segera melajukan kendaraannya menuju butik. Suasana terasa canggung dengan keheningan yang tercipta di antara mereka. Dengan mata tersembunyi di balik kacamata hitamnya, Reiner nampak fokus dengan kemudi tanpa berniat membuka suara. Begitupun dengan Jasmine yang memilih melarikan pandangan ke arah kiri tanpa berani bersuara lebih dulu. Keheningan yang cukup lama melingkupi mereka membuat Jasmine merasa jengah sendiri. Ia tidak terbiasa dengan suasana canggung dan kaku begini apalagi dalam waktu lama. Mungkin, naik taksi akan jauh lebih nyaman ketimbang satu ruangan dengan pria dingin seperti Reiner. Tetapi, Jasmine heran. Kenapa pria ini mau menjemputnya? Menilik dari bagaimana Reiner menatapnya dengan tatapan tidak suka dan mungkin jijik, Jasmine tidak yakin pria itu mau berada dalam satu ruangan dengannya seperti saat ini. Bisa saja Reiner meminta bertemu di butik langsung dan membahas perjanjian tadi di tempat yang lebih ramai. "Jangan salah paham," ucap Reiner tiba-tiba yang membuat Jasmine menoleh padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN