Aku tengah duduk diam di depan penghulu, seharusnya yang menikah adalah Yesika, namun aku malah menjadi pengantin perempuan menggantikannya, sudah lewat 10 menit dari acara pernikahan yang seharusnya. Dan, penghulu sudah kelihatan gelisah sekali.
Aku berdoa di dalam hati agar laki-laki yang akan menikahiku itu datang, agar Ibu bisa diselamatkan. Hanya dengan cara itu aku mendapatkan uang dari Paman.
Semua orang sudah berbisik dan bercerita dibelakangku, aku terlihat sangat menyedihkan karena pengantin laki-laki belum hadir dan kemungkinan tak akan hadir.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki duduk disebelahku, ia mengenakan setelan jas berwarna putih.
Laki-laki tersebut menoleh dan berkata, “Kamu pasti pengantinnya.”
Aku mengangguk dan tertegun menatapnya. Yang aku pikirkan mungkin jelek, gendut dan tua ternyata salah besar. Laki-laki itu tampan sekali, bahkan ketampanannya diatas rata-rata. Ada brewok halus di sekitar dagu hingga pipinya.
Aku menoleh melihat Yesika yang saat ini membulatkan mata, karena tak menyangka dengan laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya. Ia pasti salah paham.
“Aku terlambat karena harus mengurus banyak hal. Perkenalkan namaku ... Antares Rigel.”
Aku yakin laki-laki ini bukan keturunan Indonesia, karena ia terlihat seperti seorang bule.
Aku hanya tersenyum simpul dan mengangguk.
“Lanjutkan pernikahannya,” kata Antares.
Penghulu lalu mengulurkan tangan untuk menyambut tangan Antares yang akan mengucap ijab. Melihat ketampanan laki-laki yang kini duduk disebelahku membuat jantungku berdebar hebat.
***
Setelah semua prosesi pernikahan selesai, aku meninggalkan rumah Paman dan memilih ikut Antares. Tibalah kami di rumah sederhana yang ada dikompleks perumahan yang cukup elit dan entah mengapa ada rumah kecil di sini, sementara kompleks ini adalah kompleks elit. Rumah disebelah rumah ini sangat besar sampai dua lantai. Dan rumah kami di apit oleh dua rumah yang sangat besar.
“Kita akan tinggal di sini,” kata Antares menatapku.
Aku mengelus leher belakangku dan berkata, “Dimana kamarnya?”
“Oh iya. Kamar di sini hanya satu, dan kita harus berbagi kamar.”
Aku menatapnya, aku tidak mau tidur dengan laki-laki yang belum aku kenal lama.
“Oh oke. Aku tahu kamu belum siap sekamar denganku. No problem. Aku akan tidur di sofa dan kamu tidur di kamar.”
“Aku belum memperkenalkan diri dengan baik. Namaku adalah Tsabina Yiesha. Aku sering dipanggil Bina. Dan, kamu pasti tahu, seharusnya bukan aku yang menikah dengan kamu. Yang seharusnya menikah dengan kamu adalah Yesika. Aku hanya pengantin pengganti. Kamu pasti bertanya kan kenapa aku mau menjadi pengantinmu, karena aku dibayar oleh mereka, anggap saja begitu.” Aku menjelaskannya.
Antares mengangguk paham, seolah ia sudah tahu yang terjadi sebenarnya.
“Iya. I know,” jawabnya.
Aku tidak akan menjelaskan banyak hal kepada Antares tentang dunia yang sedang aku jalani. Aku tidak mau membebaninya juga. Aku harus menerima uang 100juta itu dan menyelamatkan Ibu.
“Kalau begitu aku masuk kamar dulu,” kataku lalu melangkah menuju kamar.
Ku lihat kamar yang terlihat sudah rapi. Aku duduk melamun di tepi ranjang. Bagaimana aku bisa menjelaskan ke Ibu tentang pernikahan ini?
Aku lebih baik tinggal di sini dibandingkan harus tinggal di jalanan.
Aku sudah menjual rumah kami dan uangnya sudah habis. Aku tidak tahu akan tinggal dimana sekarang, dan akhirnya aku menikah dengan laki-laki yang membawaku kemari.
Aku lalu berbaring di atas ranjang, menarik selimut yang sudah tersedia. Berusaha menyesap setiap hangat yang dihadirkan di rumah ini. Seraya menerawang jauh memikirkan hal yang baru saja aku sadari ternyata hidupku lebih pekat dari lumpur duri yang menggeliat.
Aku harus menikah dengan laki-laki yang tidak aku kenali sebelumnya. Tatapanku menerawang yang ada didepan sana. Terlalu piluh hati ini.
***
Aku baru selesai membuat sarapan untuk Antares yang sudah menjadi suamiku, aku baru keluar dari kamar mandi dan ku lihat Antares tengah berbaring di sofa tanpa pakaian. Aku melihat dengan jelas bulu dadanya yang halus, aku tersenyum dan menggelengkan kepala kuat. Agar aku sadar dari khayalanku.
Aku harus menyadarkan diri dan bersikukuh dengan pikiranku sendiri. Aku baru sadar bahwa ternyata aku sudah menikah. Pernikahan yang tidak ku inginkan.
Ku lihat dadanya yang terekspos didepanku, aku harus terbiasa dengan semua ini, karena Antares sudah menjadi suamiku.
“Kamu sudah bangun?” tanya Antares dengan tatapan mata yang terlihat menggodaku.
Aku harus sadar bahwa ini bukan pernikahan yang kami inginkan.
Aku duduk dihadapannya dan berkata, “Sarapan sudah siap.”
“Kamu menyiapkan sarapan?” tanya Antares lalu mengerjapkan mata dan memposisikan dirinya untuk duduk.
“Iya.”
“Oh iya. Panggil aku Ares.”
“Baik, Mas Ares.”“Mas?”
“Iya. Mas Ares panggilanku untuk kamu.”
Aku akan memanggilnya dengan sebutan Mas Ares. Seperti nama luar angkasa. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Apa kamu tak mau pakai baju?” tanyaku.
“Oh iya. Aku lupa, aku terbiasa tak pakai baju di rumah,” geleng Mas Ares lalu mengenakan baju kaosnya didepanku. d**a bidangnya terlihat sangat jelas. Namun, Mas Ares seperti bukan orang Indonesia asli, dia seperti bule, tapi aku tak mau bertanya.
“Bukankah kita harus berkenalan?” tanyaku menatap Mas Ares.
Mas Ares mengangguk dan berkata, “Apa yang ingin kamu ketahui tentangku?”
“Apa saja yang ingin kamu katakan,” jawabku.
Mas Ares lalu menatapku dan berkata, “Nama lengkapku Antares Rigel, biasa dipanggil Ares. Dan, aku kelahiran Manhattan, 23 Agustus 1985. Aku seorang staf di salah satu perusahaan di Jakarta. Ayahku namanya Tyson Rigel dan berasal dari Manhattan juga, lalu menikah dengan ibuku namanya Litha, asalnya Surabaya. Aku memiliki darah yang tercampur.”
Aku tertawa kecil mendengarnya, aku mengangguk dan akhirnya aku paham, tebakanku memang benar kalau Mas Ares memang sepenuhnya bukan dari Indonesia saja, melainkan dari Manhattan. Aku bangga kepadanya, tapi ia hanya seorang staf biasa di sebuah kantor swasta. Tapi, setidaknya dia punya pekerjaan tetap.
“Bukankah sekarang giliranmu?” tanya Mas Ares lalu menungguku untuk memperkenalkan diri.
"Nama lengkapku Tsabina Yeisha biasa dipanggil Bina, aku lahir di Jakarta, 28 September 1991, Aku seorang pengangguran, ibuku namanya Elmira dan ayahku sudah meninggal namanya Bagastan. Aku asli Jakarta." Aku memperkenalkan diri pada suamiku ya karena kemarin buru-buru jadi kamu belum memperkenalkan diri dengan baik.
"Baiklah." Mas Ares mengangguk. "Aku lapar sekarang," kata Mas Ares bangkit dari duduknya.
Aku lalu melangkah menemaninya ke dapur, dan semua makanan sudah ku siapkan di atas meja. Aku sudah melihat kulkas dan hanya ada telur bebek. Aku lalu masak nasi dan membuat nasi goreng telur ceplok.
"Ini apa?" tanya Mas Ares seperti baru melihat nasi goreng.
"Nasi goreng telur," jawabku. "Aku sudah memeriksa kulkas dan hanya ada telur. Jadi, aku masak nasi dan membuat nasi goreng. Kamu tidak suka nasi goreng?"
"Aku suka," jawabnya, lalu duduk dihadapanku. "Ayo makan."
Aku mengangguk lalu duduk dihadapan Mas Ares. Aku tak menyangka hanya sehari saja aku sudah menjadi seorang istri dan yang ku lihat Mas Ares juga baik dan lembut kepadaku. Di rumah ini hanya ada kami berdua, jika Ibu nanti sehat, aku akan membawanya kemari dan memperkenalkannya kepada Mas Ares. Ternyata menikah tak seburuk ekspetasiku.
"Nanti akan aku kasih uang untuk kamu belanja," kata Mas Ares.
Aku mengangguk. Aku sudah menikah dan sudah saatnya aku menjadi istri yang baik, terlepas dari bagaimana cara kami bertemu dan menikah.