Aku membeku mendengar permintaan lelaki di hadapanku ini, kemudian tersentak saat Papa menarikku menjauh dari Ardika. Tidak salah lagi dia adalah Ardika Jayendra.
Papa meminta waktu untuk bicara denganku dan Mama. Ardika mengangguk setuju dan kembali duduk di kursi yang sebelumnya dia tempati.
Mama dan Papa kembali bertengkar perihal keberadaan Kak Feeya yang entah berada di mana saat ini. Papa mengira Mama ikut andil dalam kaburnya Kak Feeya malam ini, tapi Mama terus mangkir.
“Ini tidak akan terjadi, Asya tidak akan menggantikan Feeya,” tekan Papa sementara Mama hanya diam saja. Papa kembali meraih ponselnya menghubungi seseorang memerintahkan yang seberang sana untuk mencari Kak Feeya.
“Jordan, lacak penerbangan—”
Mama meraih ponsel Papa dan membantingnya. “Apa salahnya kalau Asya yang menggantikan Feeya?” tanya Mama menatap Papa penuh emosi. Papa menolak tidak setuju sementara Mama setuju dengan permintaan Ardika. “Sekarang tanya saja anaknya—Asya kamu bersedia ‘kan menggantikan Feeya?” tanya Mama seraya tersenyum, meraih sebelah tanganku sementara aku membeku. “Kenapa diam saja? Kamu juga ingin menentang Mama? Ingin mempermalukan keluarga ini, begitu?” tekan Mama mendorong tubuhku terus menerus dan Papa menghalangi Mama.
“Cukup! Aku yang akan bicara dengan Ayah. Tidak akan ada—”
“Asya bersedia menggantikan Kak Feeya, Pa, Ma,” lirihku.
***
Cincin sudah tersemat di jari manisku, bukan Ardika yang menyematkannya, tetapi oleh ibunya. Ketika tiba saatnya Mama untuk menyematkan cincin ke jari Ardika, dia menolaknya dan memintaku yang melakukannya. Tamu-tamu pun bersorak menggoda.
Aku menerima cincin dari Mama dan mendekat ke arah Ardika yang sudah mengulurkan tangannya.
“Sesedih itu menjadi tunangan saya? Berikan senyuman terindahmu, calon istriku. Di antara mereka yang hadir, ada seseorang yang sangat ingin ku lihat senyumnya menyaksikan prosesi ini,” bisiknya tegas.
Aku memaksakan senyumku, tetapi dia kembali protes, mengatai senyumku jelek dan tidak pantas disandingkan dengan dia yang tampan.
Prosesi tukar cincin telah berlangsung, dan kini tiba acara jamuan. Mama terus tersenyum sepanjang acara, terlihat sangat bahagia seolah beliau sangat menyayangiku. Dengan bangga, beliau memperkenalkanku pada semua orang dan memamerkan profesiku.
Tidak, Mama benar-benar menyayangiku, batinku.
Sekarang aku tahu siapa yang dimaksud Ardika tadi. Dia ingin melihat senyuman kakeknya. Beliau terang-terangan mengatakan tidak keberatan dengan keputusan Ardika malam ini dan memuji pribadiku serta profesiku. Senyum di wajah Kakek Ardika berbeda dengan senyum kakekku yang jelas terpaksa tapi lega bersamaan.
Aku tidak terlalu dekat dengan kakekku, berbeda dengan Kak Feeya yang selalu dinomorsatukan oleh beliau.
Lamunanku buyar ketika seseorang duduk di sampingku. Dia adalah Ardika, lelaki yang malam ini mendadak menjadi tunanganku.
“Saya akan melakukan perjalanan bisnis ke Jepang. Ketika pulang nanti, saya akan menjemputmu di rumah sakit. Ada yang harus kita bicarakan,” ujarnya tanpa menoleh ke arahku.
“Memangnya tahu di mana tempat kerjaku?” tanyaku, dan dia menoleh menatapku sinis.
“Apa susahnya? Anak buah saya yang akan mencari tahu,” jawabnya ketus. Aku mengembuskan napas panjang dan menyebutkan nama rumah sakit tempatku bekerja. Dia kembali menoleh dengan tatapan yang tidak bersahabat. “Berikan nomor ponselmu pada sekretaris saya, Bram. Seterusnya kita hanya akan berkomunikasi melalui dia,” tunjuknya pada lelaki yang sudah berusia, tidak cocok jika hanya dipanggil dengan nama.
Ardika bilang dia sangat menghargai waktu. Apa yang Kak Feeya lakukan malam ini hampir saja membuang waktunya yang berharga. Ardika memintaku untuk tidak terbawa suasana dengan keputusannya mendadak memilihku. Aku hanya pengganti karena tidak ada pilihan lain. Dia tidak pernah melibatkan perasaan dalam setiap hal yang dia lakukan.
Aku tersentak saat Ardika merangkulku, dan kakeknya menghampiri kami, mengajak Ardika pulang. Beliau terlihat bahagia malam ini, tak henti memujiku. Aku menerjap saat Ardika menoleh. “Saya pulang, sampai bertemu lagi,” pamitnya seraya mengelus puncak kepalaku.
“Ingat, jangan terbawa suasana,” bisiknya penuh tekanan.
***
“Sayang,” panggil Farhan begitu masuk ke dalam unitku. “Sayang.”
Aku jengah tiap kali mendengarnya memanggilku dengan sebutan sayang. Sejak hari pertunangan itu aku sudah diizinkan kembali ke apartemen oleh Mama. Aku sudah memberitahu Farhan bahwa aku dijodohkan, tapi dia tak gentar mengejarku. Katanya, selagi janur kuning belum melengkung, dia masih berhak memperjuangkanku.
“Sayang—”
Aku membentaknya tidak ingin lagi mendengar dia memanggilku begitu, tidak pantas rasanya karena saat ini aku adalah calon istri orang. Aku juga memintanya untuk tidak lagi bersikap berlebihan atas persahabatan kami. Baik dulu maupun sekarang, kami tetap hanya akan bersahabat.
Saat aku berbalik ingin meninggalkannya—tersentak saat dia melingkarkan tangannya memelukku dari belakang.
Farhan mengatakan dia tidak peduli dengan statusku saat ini. Dan dia akan tetap mengejarku sampai tidak ada lagi tempat untukku berlari, segila itu dia.
Aku tersentak saat dia mengangkat tubuhku—duduk di atas kitchen island dan menatapku lekat. Kemudian dia menautkan kening kami bersama. Tubuhku meremang hingga terbata-bata saat bicara ketika Farhan menatapku begitu dalam lalu memiringkan kepalanya, memangkas jarak bibir kami. Farhan meminta izin untuk menciumku dan aku menggeleng tidak setuju.
Namun, dia tidak mengindahkanku dan mengecup bibirku singkat. Dia tersenyum tipis dan mengaku menyukai bibirku bahkan menginginkannya lebih. Farhan kembali mendekatkan wajahnya dan melumat lembut bibirku. Aku membeku, Farhan tidak peduli meskipun aku tidak membalas ciumannya. Perlahan, napas kami mulai berderu, dan aku mulai mengikuti gerak bibirnya.
Air mataku mengalir. Aku mencintainya, aku mencintai Farhan.
Sempat terbuai, aku pun tersadar dan melepaskan diri, mendorongnya—melayangkan tangan kananku hingga mendarat di pipinya.
Aku menendangnya, turun dari kitchen island, dan berlari masuk ke dalam kamarku. Mengumpat karena dia telah mencuri ciuman pertamaku. Farhan juga tak terima akan protesku, dia ikut melayangkan protes mengatakan kalau aku juga sudah mengambil ciuman pertamanya dan memintaku untuk memperbertanggung jawabkannya, gila ‘kan?
Aku dan Farhan ini bak kucing dan tikus, kami lebih banyak berselisih, tapi entah kenapa aku selalu menginginkannya dalam hidupku. Namun, kali ini tidak lagi. Aku harus mengubur perasaanku untuk Farhan. Air mataku mengalir. Aku dan Farhan adalah dua hati yang tidak mungkin bersatu.
***
Farhan tidak menyerah, kali ini dia kembali menyatakan perasaannya padaku lagi. Wajahnya penuh harap, matanya memancarkan ketulusan yang begitu dalam. Namun, aku terpaksa menolak, lagi. Alasan yang sama, aku sudah dijodohkan. Rasanya seperti menusukkan pisau ke hati sendiri saat melihat ekspresi kecewa di wajahnya.
"Aku tahu kamu dijodohkan, Asya," kata Farhan. "Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku benar-benar mencintaimu."
Mendengarnya, hatiku terasa berat. Aku tahu Farhan tulus, tetapi aku terikat oleh janji keluargaku. Aku tidak bisa memilih, aku terpaksa tunduk pada keinginan Mama.
“Siapa lelaki itu, Sya?” tanyanya dengan tatapan penuh emosi. Aku tidak berniat memberi tahunya, khawatir dia akan mengacau hingga berakhir Mama kecewa padaku.
“Kamu tidak perlu tahu.” Baru saja aku akan meninggalkannya Farhan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Aku terdiam seolah terhipnotis olehnya.
Farhan kembali bersuara memintaku memilih, membalas pelukannya jika aku mencintainya atau melepas pelukannya dan pergi meninggalkannya. Suara itu, begitu lirih dan penuh harap, membuat hatiku terasa remuk. Kami berdiri di parkiran sebuah kafe, hanya ditemani oleh suara angin yang berhembus pelan dan gemerisik dedaunan yang jatuh. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, memohon dalam diam agar aku memilihnya.
Namun aku tahu, aku harus membuat keputusan. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku perlahan melepas pelukannya. Tangannya yang hangat terasa dingin saat aku melepaskan genggamannya. Aku mundur satu langkah, melihat matanya yang penuh luka dan kebingungan.
"Asya, kenapa?" suaranya bergetar, penuh kekecewaan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Farhan, aku harus mengikuti apa yang sudah ditentukan untukku. Aku tidak punya pilihan lain."
Dia menatapku, matanya berusaha mencari jawaban lebih dalam dari yang bisa aku berikan. Aku bisa melihat air mata mulai menggenang di sudut matanya, membuat hatiku semakin hancur. "Aku mencintaimu, Asya. Apakah itu tidak berarti apa-apa bagimu?"
Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang hampir tumpah. "Farhan, perasaanku padamu ... itu tidak nyata." Farhan menggeleng, tampak tak percaya.
Dia terdiam, menunduk. Saat dia kembali menatapku, aku melihat kilau terakhir dari harapannya mulai memudar. "Kalau begitu, ini selamat tinggal?"
Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa menahan isak tangis yang hampir meledak. Dengan langkah berat, aku berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Farhan yang masih berdiri di sana, terdiam dalam kepedihan.
Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak tertanggungkan. Jauh di dalam hati, aku merasakan kehilangan yang mendalam, seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal bersama Farhan. Aku tahu, aku telah membuat keputusan yang benar menurut keluarga, tapi apakah benar untuk hatiku sendiri?
Saat aku akhirnya sampai di rumah, aku tidak bisa menahan tangis lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi cinta yang tidak bisa kumiliki, cinta yang harus aku lepaskan demi sebuah takdir yang telah ditentukan. Malam itu, aku merasa seperti dunia di sekitarku runtuh, dan aku hanya bisa berharap waktu akan menyembuhkan luka ini. Namun jauh di dalam hati, aku tahu, bayangan Farhan akan selalu ada di sana, menjadi bagian dari diriku yang tak pernah bisa kumiliki sepenuhnya.
***
Setelah malam itu, sekilas tidak ada yang berubah dari Farhan, tapi aku tahu dia membatasi dirinya padaku.
Kemarin sekretaris Ardika menghubungiku, hari ini Ardika akan menjemputku. Dia sudah kembali dari Jepang dan ingin bertemu denganku.
Jam tugasku sudah selesai, aku pun segera bersiap tak ingin Ardika lama menunggu. Saat aku mencapai pintu keluar rumah sakit, aku melihat Pak Bram sudah berdiri di dekat mobilnya. Beliau tersenyum ramah, aku mengerutkan keningku saat melihat Ardika turun dari mobil.
Wajahnya dingin dan tanpa ekspresi, seperti biasa. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah mendekatinya.
Ketika aku mendekat, aku merasakan tatapan Ardika beralih dan begitu intens. Aku menoleh dan melihat Farhan berdiri tidak jauh dari sana, matanya penuh kebencian yang tak tersamarkan. Tatapan itu menusuk jantungku, membuat langkahku terasa berat. Aku tahu dia marah, kecewa, dan merasa dikhianati.
Aku tersentak saat Ardika menarikku hingga lebih dekat dengannya. Dia membuka pintu mobil dan memandangku dengan tatapan yang memerintah. "Masuk, Asya," katanya singkat.
Dengan hati yang berat, aku melangkah menuju mobil Ardika. Setiap langkah terasa seperti hukuman, setiap detik terasa seperti penyesalan yang mendalam. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Ardika, yang segera menutup pintu.
“Kamu mengenalnya?” tanya Ardika dan aku mengangkat pandanganku menatapnya dengan jantung berdetak kencang. “Lelaki tadi, kamu mengenalnya?” tunjuk Ardika pada Farhan yang tidak terlihat lagi karena kami sudah keluar dari area rumah sakit.
“Tentu saja, dia rekan sejawatku,” jawabku berusaha menetralkan degupan jantungku.
“Jangan dekat-dekat dengannya,” lanjut Ardika membuat aku kembali menoleh ke arahnya bingung dengan maksud kalimatnya. “Dengar dan lakukan saja,” tambahnya sebelum aku bersuara.