Suara jam wekker berbunyi nyaring membuat seseorang masih terbungkus selimut ditengah kasur itu menggeliat. Tak lama, sebuah kepala menyembul keluar. Sosok seorang gadis berwajah kuyu dengan rambut semrawut bak sangkar burung terlihat.
Matanya terpejam satu, dengan tangan merayap malas untuk mematikan jam wekker yang terus berbunyi nyaring seakan berteriak histeris melihat penampakan gadis itu sekarang.
KLEK
hoaaammmmhh ~
Setelah jam kerja dimatikan gadis itu menggeliat dengan mulut yang terbuka lebar, ia duduk dengan malas kemudian menggaruk rambutnya, membuat rambutnya bertambah berantakan.
With mata yang masih setengah terpejam ia menyibak selimutnya, bangkit dari kasur berantakannya lalu segera beranjak menuju toilet.
Setengah jam kemudian ia kembali keluar dengan penampilan yang lebih segar, senyum manis tercetak jelas diwajahnya membuat kecantikannya bertambah berlipat lipat ganda.
Dengan semangat ia rilis karet yang mengikat rambutnya lalu segera menyisirnya rapi, ia mengoleskan sedikit krim diwajahnya lalu dilengkapi dengan lipbalm agar tak nampak pucat.
Setelah selesai ia mengambil sepatu putihnya lalu memakainya cepat, disambarnya tas berwarna merah maroon lalu segera keluar dari kamar menuju ruang makan.
" Morning Everyoneee " , pekiknya kelewat senang, lalu mengambil duduk disamping seorang laki-laki yang tengah menggosok kupingnya, "Berisik lo Kak."
Gadis itu yang tak lain adalah Alisya, alias Ale segera mendelik pada adiknya.
"Berhenti manggil gue Kakak! Harus berapa kali gue bilang gitu ke lo ?!" sungutnya galak.
"Tuh kan Bu, Ayah! Dia tu galak banget!" adunya pada Anna yang tengah mengolesi roti dengan selai, dan Dipta yang masih tenang membaca berita terhangat lewat tab nya sembari menyesap kopi hitamnya.
"Woohhh galak galak gini juga waktu lo masih piyik kagak bisa tidur kalau ngga gue peluk!" protes Ale masih mendelik pada adiknya itu.
"Udah Ale, pagi pagi udah sewot aja kamu." lerai sang ketua suku, Dipta.
Ale mengerucutkan bibirnya, "Kamu juga Rizal, jangan ngatain Kakakmu terus."
Ale tersenyum senang saat mendapat pembelaan dari sang Mommy.
Rizal mendengus, "Ijal berangkat sama Daddy aja deh, laki-laki sama Ale, ugal ugalan terus."
Ale dengan mulut penuh roti pedas tajam, antara ingin membantah atau mengunyah makanannya terlebih dahulu, apalagi saat melihat Mommynya, Anna menatap tajam kearah Ale.
Lambatnya rotinya bulat bulat, ia segera meminum air lalu cengengesan didepan Anna yang kini berkacak pinggang.
"Ngga ngebut kok, Bu!" bantah Ale setengah gugup.
"Ngga ngebut gimana? Bawa mobil kalau ngga macet kecepatannya bisa sampe 120 km / jam."
Mata Anna semakin membulat saat mendengar pengaduan dari Rizal. Ale menggerutu dalam hati, adiknya ini, sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
Ale menendang nendang kaki Rizal dibawah meja, sedangkan Rizal tak menghiraukan Ale, ia masih asik mengunyah rotinya.
"Ale kamu tu-"
"Ribut terus kapan makannya?" potong Dipta yang mulai jengah.
Bukannya ia tidak mengkhawatirkan Ale, ia khawatir tentu saja, apalagi mobil yang dipakai Ale merupakan salah satu dari 3 mobil kesayangannya. Kan sayang kalau rusak.
Tatapan tajam Anna berpindah pada Dipta membuat Dipta gugup di tempatnya, tak lama ia menampakan cengirannya lalu kembali menunjuk Ale, mempersilakan wanita berumur 31 tahun itu untuk melanjutkan omelannya.
Ale meneguk ludahnya susah payah, gawat ini.
"Kalau sampai Mommy dengar kamu kebut kebutan lagi di jalan, jangan harap kamu bisa bawa mobil sendiri lagi ke sekolah!"
Rizal terkikik mendengar sang kakak galaknya dimarahi, sedangkan Ale langsung merengut dan melayangkan protes sebelum tangan Anna terangkat, mengisyaratkan bahwa Ale tak boleh bicara apapun.
Ale mendengus, dengan bibir manyun ia kembali melanjutkan sarapannya. Setelah selesai, ia meneguk segelas susunya kemudian berdiri, menyalimi Mommy dan Daddynya.
"Ale berangkat Mom, Dad, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, jangan kebut kebutan!" pesan Anna sekali lagi.
'Ngga janji Mom,' batin Ale terkekeh.
"Zal, dalam hitungan ketiga kalau ga keluar lo gue tinggal, satu..."
Rizal yang sedang mengunyah suapan terakhirnya buru buru bangkit, meneguk susunya cepat lalu menyalimi Mommy dan Daddynya tanpa mengucap pamit karena masih mengunyah makan.
Ale yang berada cukup jauh dari Rizal tertawa melihat adiknya.
"Ale jangan ngerjain Adeknya terus!!"
Teriakan Dipta dari dapur membuat tawanya terhenti, "Ishh gabisa liat anaknya bahagia aja, Daddy itu." gerutu Ale lalu berbalik dan menuju mobilnya meninggalkan Rizal yang masih berjalan cepat kearahnya.
Ale yang sudah berada didalam mobil memencet klakson berkali kali, "Woiii Zal! Buruan elahh,"
Geram, Rizal segera membuka pintu mobil bagian depan, menutupnya kencang. Masa bodoh jika pintu itu copot. Ia kesal sekarang.
"Busuk lo Al!" maki Rizal sambil meminum air mineral yang Anna siapkan tadi.
Ale terkekeh sambil menepuk nepuk puncak kepala Rizal, "Uh adek kesayangan gue, I love you too."
Rizal memutar bola matanya malas lalu memilih memyumpal telinganya dengan headphone, mengabaikan celotehan tak bermutu dari Ale, entah itu mengomentari tukang sayur yang lewat, menanyakan kenapa Mang Dadang, satpam rumah mereka yang baru bisa memiliki tubuh gendut berisi, dan berbagai komentar serta pertanyaan konyol lainnya.
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai dipelataran sekolah, Ale memarkirkan mobilnya dengan baik, lalu segera menoleh pada Rizal.
"Zal,"
Rizal yang tengah melipat headphonenya melirik Ale sekilas, "Paan?"
"Lo kan junior disekolah ini, kalau ada yang berani gangguin lo, lo bilang sama gue. Oke?"
Rizal yang mendengar itu sontak menoleh pada Ale, alisnya terangkat sebelah, "Tumben. Lo peduli sama gue?"
Ale merengut, "Lo pikir gue kakak macem apa?! Gini gini juga gue sayang sama lo. Lo itu adek kesayangan gue,"
Rizal speechless. Ia meringis lalu menarik tubuh mungil Ale kepelukannya, meski kakaknya itu berusia 7 tahun diatasnya, ia memiliki tubuh yang lebih kecil dan pendek darinya, membuat Rizal lebih leluasa untuk memeluk Ale.
"Iyaa Kakakku sayang. Kalau gue emang bener bener gabisa ngatasin masalah sendiri nanti gue bilang sama lo."
Ale melepas pelukan adiknya, menjitak kepala Rizal pelan, "Pokoknya masalah sekecil apapun bilang! Lo tu masih dibawah umur, masih 10 tahun, gausah begaya deh. Anak anak sini tua semua. Lo doang yang paling muda," omel Ale lagi.
Rizal merasa sebal sendiri jika sudah ada yang mengungkit ungkit usia, ia jadi merasa seperti anak balita sekarang. Oh ayolah, ia sudah SMA!
"Iya deh iya, gue nurut sama lo yang udah tua."
Ale mengangguk angguk senang kemudian segera turun dari mobilnya disusul oleh Rizal.
"Inget! Kalau ada Kakak kelas yang kurang ajar sama lo, bilang aja kalo lo adek gue. Oke?"
"Ogahh! Yang ada cewek cewek gak ada yang mau deketin gue gara gara tau Kakak gue galak."
Ale melotot tajam, "Wohhh masih kecil bau kencur udah mainan cewek! Inget umur! Sekolah aja yang rajin,"
Rizal kembali mendengus. Lagi lagi usia.
"Kuno lo ah, basi." ambeknya lalu pergi begitu saja meninggalkan Ale diparkiran.
Ale berkacak pinggang dengan menggelengkan kepalanya, "Dasar bocah!"
Ia melihat sekeliling taman yang ramai kemudian segera berjalan santai ke kelasnya, kelas Ale sudah berada beberapa meter dihadapannya sebelum langkahnya berhenti ketika mendengar suara ghaib yang sedang membicarakannya.
"tau tuh, galaknya kebangetan. Masa kemarin gebetan gue dia bentak bentak di kantin."
"Wah? Bar bar banget tu cewek ya?"
"Jangan macem macem deh, galaknya engga nanggung."
"Preman sekolah yang wajib dimusnahkan itu mah. Ga guna disekolah,"
"Emang, dia pikir ini sekolah punya bapaknya kali ya?"
Pandangan segerombolan cewek yang berada tak jauh dari lokasi dengan sengit, ia menghampiri mereka, kedekatan dan berdiri ditengah mereka.
Seketika wajah cewek tadi mendadak pucat, saling pandang dengan gugup.
"Tukang sayurnya mana?"
Mereka mengernyit jika mendengar pertanyaan Ale.
"Hah? T-tukang sayur apaan, Al?" tanya salah satu dari mereka dengan sikap manis.
Ale memutar bola mata jengah, ' Munafik ni orang ' batinya sebal.
"Tukang sayur lah! Lo ngga tau tukang sayur tu apaan? Masa harus gue jelasin?"
Lagi pula, mereka mengernyit bingung.
"Ini sekolah Al, yakali ada tukang sayur. Otak lo konslet?" ucap cewek lain yang tidak menutup nutupi rasa tidak sukanya pada Ale.
Ale tersenyum, ini yang dia suka.
"Nah, itu juga yang gue pertanyakan. Ini sekolah, dan ngga ada tukang sayur. Tapi kenapa disini ada Ibu ibu ngerumpi?"
Mereka yang mengerti sindiran pedas Ale saling pandang dengan wajah merah padam. Siapa yang tidak kesal disebut sebagai ibu ibu tukang rumpi?
"Itu mulut dijaga ya!" ucap cewek yang jelas tidak suka pada Ale tadi.
"Lohh, emang gue salah? Nanti juga kalian bakalan jadi ibu ibu kan?" Ale tersenyum memandang mereka yang hanya diam.
"Yaudah lah, waktu gue buat nyapa fans udah habis. Gue kasih tau, kalian cuma buang waktu buat gosipin orang. Urusin aja idup lo, kalau udah sempurna, baru urusin idup gue. Oke? Ale Teguh pamit undur diri, sekian dan terima kasih. "
Setelah mengatakan itu Ale melenggang pergi melanjutkan langkah tertundanya menuju kelas, Yaa ini untuk pertama kalinya Ale menegur langsung orang yang bergosip tentangnya, sekali kali harus dikasih pelajaran, iya kan?
Ale berhenti didepan pintu kelas, pintunya tertutup tapi agak terbuka, ia memegang pegangan pintu dengan curiga, lalu matanya melirik keatas, Ale menyeringai.
Dengan sengaja, Ale duduk dikursi depan kelas, menunggu bel masuk berbunyi, hingga 10 menit kemudian bel masuk, Ale semakin terkekeh ketika tak ada satupun yang masuk kelas maupun keluar kelas sejak 10 menit yang lalu, bahkan ia merasa jika teman kelasnya sedang mengintip dirinya lewat jendela.
Ale berpura pura acuh hingga gurunya datang, "Loh, Ale? Kok diluar?"
Ale berdiri lalu menyalimi gurunya, "Iya pak, didalam ribut tadi, makanya saya diem diluar aja,"
Guru itu mengangguk mengerti, laku mendorong knop pintu dan
BYUURRR
Ale bergerak mundur dengan cepat lalu menutup mulutnya dengan syok.
Sedangkan si guru, yang sudah basah kuyup, memandangi dengan tajam satu persatu anak didalam kelas yang sedang cengengesan kearahnya.
"SIAPA PELAKUNYA ?!"
Teriakan membahana itu membuat Ale terkikik diam diam.
' Hehehehe emang enak s*****a makan tuan.'