Terlambat

1962 Kata
Alvand Pov Hari ini rasanya sangat melelahkan, seharian aku, Hafiz dan beberapa anggota lainnya mengawal Mayor Andi untuk kunjungan. Tadi saat masih dijalan istriku menanyakan apa aku sudah pulang atau belum dan katanya dia akan memberiku kejutan. Aku jadi penasaran karena tumben sekali istri solehaku akan memberi kejutan, semakin hari hubunganku dengannya semakin manis. Dia berhasil menguasai hati dan pikiranku. Sepertinya aku memang sudah jatuh cinta dengannya, rasa ini semakin kuat setiap harinya. Karena istriku akan memberiku kejutan, aku jadi berpikir ingin juga memberinya kejutan dengan mengungkapkan rasa cintaku untuknya yang sudah tumbuh dengan kuat. Ya, mungkin sekarang sudah saatnya dia tahu perasaanku, sudah tak ada lagi keraguan dalam diriku untuk mengakuinya. Aku melangkahkan kaki memasuki rumah yang masih gelap, istriku sepertinya belum sampai. Aku membuka pintu rumah, menyalakan lampu, melepas sepatu dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku harus segar dan wangi di depan istriku. Rencananya saat dia pulang aku akan mengajaknya makan di luar, candle light dinner untuk pertama kali sejak aku menikahinya. Selesai mandi aku segera ke kamar hanya menggunakan handuk saja, aku sudah terbiasa seperti ini. Di depan kamar aku merasa heran karena seingatku lampu kamar tak pernah di matikan, ini kenapa gelap? Apa lampunya korslet?. Aku segera masuk ke dalam kamar, baru saja aku akan menekan saklar tiba - tiba saja aku merasakan ada tangan yang melingkar di perutku dan tubuh yang bersandar di tubuhku. Aku tersenyum, apa ini kejutan yang akan di beri istriku, perlakuan romantis yang tak pernah dia lakukan?. "Kamu sudah pulang dik?" Tanyaku sambil mengelus tangannya yang melingkar di perutku. "Hm." Jawabnya yang semakin mempererat pelukannya membuatku kembali tersenyum. "Jadi ini kejutannya dik, kamu sudah mulai nakal sama mas ya." Kataku lagi tapi tak di jawab, mungkin dia sedang malu. Saat aku akan membalikkan badanku, dia melarangnya dengan menahan tubuhku agar tak bergerak." Mas juga mau peluk kamu dik, masa kamu saja yang peluk mas." "No." Jawabnya singkat, tapi ada yang beda dengan suaranya. "Ya sudah kamu puasin peluk mas, nanti giliran mas yang peluk kamu awas saja kalau nolak. Malam ini mas mau minta lebih, dan kamu nggak boleh menolak." Kataku namun lagi - lagi tak dijawabnya. "Terima kasih mas bahagia sayang." Kataku jujur, karena aku memang benar - benar bahagia mendapat perlakuan manis dari istriku juga karena sudah mantapnya hatiku mengakui betapa aku sangat mencintai istriku. "MAS ALVAND!" Aku terkejut saat pintu terbuka dan lampu menyala, istriku berdiri di depan pintu menatapku, lalu siapa yang saat ini memelukku?. "Dik kamu, loh ini siapa." Kataku bingung dan segera melepaskan pelukan dan menarik tangan orang yang lancang memelukku. "Mitha." Aku di buat terkejut saat mengetahui pelaku yang memelukku. "Kenapa bisa kamu di sini?" Tanyaku. "Kamu sendiri yang memintaku datang Al, kamu lupa apa yang sudah kita lakukan? Jangan karena ada istrimu kamu jadi amnesia Al." Kata Mitha membuatku geram. "Kamu ngomong apa sih Mit." Kataku, aku mendekati istriku dan menggenggam kedua tangannya erat. "Dik, mas berani bersumpah kalau mas nggak ngapa - ngapain sama Mitha, percaya sama mas dik, mas kira itu kamu yang akan memberi mas kejutan." "Jahat kamu Al setelah puas merenggut kesucianku kamu pura - pura lupa, bu Zia lihat ranjang itu bahkan masih berantakkan ulah suamimu dan aku." Apa lagi Mitha ini, aku mendengus dan menoleh ke arah ranjang ternyata benar ranjang berantakkan padahal tadi pagi saat istriku membuat sarapan aku sudah membereskannya. Isak tangis istriku terdengar, aku menatapnya begitu juga dengan dia. Dadaku rasanya sangat sakit dan sesak melihat istriku yang menangis pilu. "Tega kamu mas, kamu menuduhku selingkuh dengan kak Agam tapi ternyata kamu sendiri yang selingkuh, jijik aku mas, ceraikan aku." Dia menghentak tanganku dan segera melangkah keluar. Apa katanya tadi? Cerai? Sampai kapanpun aku tak akan menceraikannya, dia istriku, dia hidupku, dia segalanya untukku. Aku segera mengejarnya dan memeluknya walaupun dia terus saja memberontak, "Dik dengar mas, kamu salah paham dik." Aku terus mencoba menjelaskannya. "Jangan sentuh aku mas." Teriaknya dengan suara yang terdengar pilu. "Dik, mas__" "Ada apa ini?" Aku menoleh ke pintu yang ternyata ada Mayor Andi, Vino dan Hafiz. "Kenapa mbak Zia menangis bang?" Tanya Vino yang mendekat dan istriku langsung memeluk Vino. "Tenang mbak ada Vino, jangan menangis." Kata Vino sambil menenangkan istriku. "Vin bawa mbakmu ke kamar." Kata Mayor Andi tapi istriku menolaknya. "Kenapa mbak?" Belum juga istriku menjawab Mitha keluar dari kamar berjalan menghampiri kami. "Pulang ke rumah Mommy ya mbak, bang Hafiz boleh minta tolong antarkan mbak Zia, ada yang ingin Vino bicarakan sama mereka berdua." Kata Vino, tatapannya menatapku dengan tajam. "Ayo mbak Al." Ajak Hafiz dan istriku mengikutinya berjalan keluar. Namun aku segera mencekal tangan istriku lagi, menghentikkannya, "Dik dengar dulu, kamu salah paham dik." "Cukup Al, biarkan Zia dirumah Ayah Dhika, kamu selesaikan urusanmu dengan wanita itu jangan sampai buat malu kesatuan Al." Perkataan Mayor Andi membuatku melepaskankan tanganku, membiarkan istriku pergi bersama Hafiz. "Pakai bajumu, kita selesaikan semuanya malam ini juga." Kata Mayor Andi tegas dan tak terbantahkan, aku hanya mengangguk memasuki kamar untuk memakai pakaian. Aku keluar kamar menuju ruang tamu dimana di sana sudah ada Mayor Andi, Vino dan juga Mitha. Aku duduk di samping Vino. "Ceritakan sedetail mungkin Al jangan sampai ada yang terlewat." Kata Mayor Andi, aku pun menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat dan Mayor Andi menganggukkan kepala. "Apa mau anda bu Mitha?" Tanya Mayor Andi. "Pertanggung jawaban Al yang sudah merenggut kesucianku." Jawab Mitha membuatku meradang. "Apa maksudmu Mitha? Aku tak pernah melakukan itu denganmu, jangan mengarang cerita." Jawabku kesal. "Silahkan dimulai Vin." Kata Mayor Andi pada Vino membuatku bingung, maksudnya apa bicara seperti itu pada Vino. "Anda yakin bu Mitha jika abangku yang sudah merenggut keperawananmu?" Tanya Vino dengan mata memicing, seperti saat dia tengah menginterogasi penjahat. "Tentu." Jawab Mitha. "Apa bisa kita Visum untuk melihat robekannya baru saja terjadi atau sudah lama." Tanya Vino lagi, Mitha tampak terkejut mendengarnya. "Saya tahu anda polisi dan juga adiknya Al, pasti anda akan berbuat curang untuk membela kakak anda ini." "Nggak usah khawatir, aku bukan polisi seperti itu. Bu Mitha sendiri silahkan yang tentukan Rumah sakitnya, tapi sebelumnya dengarkan perkataanku baik - baik." Vino menatap tajam Mitha. "Jika terbukti robekan itu sudah lama, anda harus menerima konsekuensinya bukan hanya karir anda saja yang hancur tapi aku pastikan berpengaruh juga pada bisnis orang tua anda dan bukan hanya masalah ini saja, aku akan menuntut anda yang sudah meneror bang Al dengan mengirim foto mbak Zia dan rekannya yang sudah menimbulkan retaknya rumah tangga mereka berdua." Aku terkejut mendengar perkataan Vino, jadi pelakunya Mitha? Sungguh sulit di percaya dia begitu nekat ingin menghancurkan rumah tanggaku. "Dan satu lagi." Vino bangun dari duduknya berjalan memasuki kamarku, tak lama dia keluar membawa kamera kecil, kamera CCTV. "Aku punya bukti di sini, apa yang kalian lakukan di dalam kamar bisa kita lihat, jika benar kalian melakukannya maka akan terekam di sini." Kata Vino membuat Mitha makin memucat. Aku melirik Vino, sejak kapan dia menaruh kamera CCTV di kamarku? Berarti aktifitasku dengan Zia setiap malam terekam di situ, s****n si Vino. "Tenang saja bang, kamera ini baru aku pasang pagi tadi jadi apa yang abang dan mbak Zia lakukan belum terekam disini." Jawabnya membuatku lega. "Bagaimana Bu Mitha? Masih mau minta pertanggung jawaban Al dengan konsekuensi seperti yang Vino katakan tadi dan pastinya kita akan menang karena punya bukti atau kita anggap selesai semuanya saat ini juga." Kata Mayor Andi. Mitha bangun dari duduknya menatap kami satu persatu lalu pergi tanpa mengatakkan apapun. "Simpan bukti itu dengan baik Vin kalau bisa di copy takutnya hilang atau di curi." Kata Mayor Andi. "Masalahnya sudah selesai, pergilah susul istrimu yakinkan dia, bantu abangmu meyainkan istrinya Vin." "Terima kasih bang, Vin karena sudah menolongku." "Nggak usah berlebihan, cepat sana susul istrimu, bawa kembali lagi kesini." Aku mengangguk dan segera pergi ke rumah Mommy bersama Vino yang menyetir. Sampai dirumah Mommy aku segera masuk rasanya tak sabar untuk menjelaskan semuanya pada istriku. "Zia dimana Mom?" Tanyaku langsung saat sudah berada di ruang tamu, disana ada Mommy, Ayah dan Hafiz. "Istirahat di kamarmu." Jawab Mommy, aku segera berlari menuju kamarku. Sampai di depan kamar aku segera membuka pintu dan memasukinya, "Zia sayang, ini mas." Kataku tapi kamar tampak sepi, aku mencarinya di setiap sudut kamarku namun tak aku temui. Aku segera turun ke bawah sambil terus memanggilnya. "Zia sayang, kamu di mana?" Kataku berteriak. "Ada apa Al? Istrimu di kamar." Kata Mommy. Aku menggeleng, "Nggak ada Mom sudah Al cari di setiap sudut kamar juga nggak ada." "Tenang bang kita cari dulu, barangkali ada di taman belakang." Kata Vino, aku segera berlari ke taman belakang, aku panggil namanya namun tetap tak aku temukan. Aku kembali lagi ke ruang tamu, "Gimana?" Tanya Mommy lagi dan aku menggeleng. "Vin panggil satpam yang malam ini jaga." Kata Ayah Dhika yang langsung dilaksanakan Vino. "Nggak mungkin keluar yah, kalau keluar kita pasti lihat dari tadi kita di sini." Kata Mommy namun Ayah diam saja hingga dua satpam yang malam ini jaga datang bersama Vino. "Maaf ada apa ya pak?" Tanya pak Jojo. "Saya mau bertanya, apa tadi kalian lihat menantuku Zia keluar?." Tanya Ayah. Mereka berdua kompak mengangguk, "Tadi mbak Zia pergi naik taxi pak katanya buru - buru karena mas Al sudah menunggunya, tapi tadi ada yang aneh." Jawab pak Jojo membuatku terkejut. "Aneh kenapa?" Tanyaku langsung. "Mbak Zia bentak kami, nggak seperti biasanya yang ramah." "Ya sudah terima kasih, saya hanya mau tanya itu saja, silahkan kembali berjaga." Kata Ayah padahal masih ada yang ingin aku tanyakan. Ayah tampak sedang berbicara dengan seseorang lewat ponsel, sepertinya Ayah telfon tante Ike. "Gimana yah?" Tanya Mommy dan Ayah menggeleng, Mommy sudah menangis membuat dadaku sesak, sungguh berdosa sekali aku ini sudah membuat dua wanita yang berarti untukku menangis. Ponsel Vino bunyi, ada pesan masuk, tak lama Vino seperti sedang menghubungi seseorang. "Ya hallo, gimana Guh." "....." "Kamu serius? Tujuan mana dan berangkat jam berapa?" "....." "Oke, terima kasih infonya." Vino mematikan ponselnya dan menatapku, "Mbak Zia pergi naik kereta bang." Aku terkejut mendengarnya, "Teguh ketemu mbak Zia di stasiun." "Kalau begitu aku harus ke sana sekarang sebelum keretanya berangkat." Kataku yang langsung melangkah pergi namun langkahku terhenti saat Vino berkata. "Sudah terlambat bang, keretanya sudah berangkat 5 menit yang lalu." Sakit rasanya mendengar perkataan Vino, aku terlambat dan dia sudah pergi meninggalkanku. Air mataku luruh begitu saja, Ayah Dhika memelukku erat, "Anak Ayah harus kuat, kita cari Zia sama - sama." "Ada apa ini?" Suara adik cantikku membuatku menoleh. "Abang kenapa menangis? Mbak Zia mana? Apa terjadi seuatu sama mbak Zia? Keponakan Vina baik - baik saja kan bang?" Pertanyaan beruntun dari Vina yang paling membuatku terkejut pertanyaan Vina yang terakhir. "Ke...keponakan?" Tanyaku pada Vina dan Vina mengangguk. "Oppss, mbak Zia belum kasih tahu abang ya? Yaaahh Vina sudah menggagalkan kejutannya." "Kejutan?" "Iya mbak Zia bilang malam ini mau kasih kejutan buat abang kalau mbak Zia hamil." Bagai di sambar petir aku mendengar penuturan dari Vina, jadi kejutan yang dia katakan saat telfon itu dia hamil?. Aku menatap Ayah, "Yah." Kembali air mataku tumpah dalam pelukkan Ayah, bahkan aku tak peduli jika ada Hafiz di sini. "Ini ada apa sih, kenapa semua sedih? Mommy juga kenapa menangis?" Tanya Vina. "Mbak Zia pergi, Teguh teman abang ketemu di stasiun, mbak Zia menaiki kereta arah Jawa. "Apa? Kenapa bisa?" Tanya Vina lagi dan Vino menjelaskannya. "Sebaiknya kita ke stasiun, kebetulan Ayah ada kenalan di sana, kita bisa lihat CCTV Zia naik kereta apa." Kata Ayah yang langsung aku angguki. Aku, Ayah, Vino dan Hafiz segera pergi ke stasiun. Sepanjang perjalanan aku diam membisu, hanya mendengarkan Ayah juga Vino yang sibuk dengan ponsel mereka entah menghubungi siapa. Aku menyesal belum juga aku mengungkapkan perasaan cintaku tapi sekarang dia pergi meninggalkanku, dia pergi membawa buah cinta kami. Ayah janji akan mencari kamu dan bunda nak, Ayah janji akan membawa kalian kembali lagi dalam pelukan Ayah. Batinku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN