TUJUH

1567 Kata
Ryan sempat beranjak sejenak untuk mengambil espresso pesanannya. Ketika laki-laki itu kembali duduk, Dewi merasakan jantungnya berdebar. Dia sudah terlalu lelah menebak-nebak apa yang harus dia lakukan di depan Benny. Dalam hatinya yang terdalam, Dewi tak ingin kehilangan Benny. Tapi dia sungguh tidak tahu harus bagaimana. Bertanya pada Papi atau Mami tentu tak mungkin. Dewi tak mau membuka kejelekan sang putra di hadapan mertuanya. Meminta nasihat Papa dan Mama juga tak bisa. Bisa-bisa Papa murka mengetahui perlakuan Benny terhadap Dewi. Ryan satu-satunya harapan Dewi untuk saat ini. Mereka pernah dekat, Ryan pasti paham apa yang dikhawatirkan Dewi. Juga, Dewi yakin tak bakal ada kisah CLBK di antara mereka. Dia sudah menikah dengan Benny dan Ryan juga akan segera menikah. “Jadi, mau nanya apa, Wi?” Laki-laki itu melirik jam tangannya. “Kamu boarding jam berapa?” “Masih 40 menit lagi.” Ryan mengangguk. “Kalau kurang puas, tinggal telpon aja kan?” Dewi terbahak mendengar perkataan Ryan itu. Sepertinya ini pilihan yang benar. “Tapi kamu jangan bocor loh,” ancam Dewi duluan. Ryan membuat gestur mengunci mulutnya. Lalu laki-laki itu menunjuk telinganya, menyilakan Dewi memulai ceritanya. “Jadi, belakangan Benny tuh jadi dingin–” “Punya selingkuhan kali Om suamimu,” potong Ryan dengan usil. Satu sudut bibirnya terangkat, senyum khas Ryan yang sering Dewi lihat ketika laki-laki itu menggodanya. “Yan, kamu tuh ya. Batal cerita deh.” Dewi merajuk. Dia sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain. Suara derit kursi yang didorong disusul oleh kemunculan Ryan di kursi sebelah arah pandang Dewi sekarang. “Jangan ngambek dong, Wi,” bujuk Ryan sambil berusaha agar Dewi mau menatapnya. “Iya, iya, aku dengerin. Mau diapain biar ilang gondoknya?” Dewi berusaha menoleh ke arah sebaliknya. Namun, tangan Ryan yang meraih tangannya membuat Dewi menatap tajam pada laki-laki itu. “Gak usah pegang-pegang ya,” ujarnya ketus sembari menarik tangannya. “Maaf ya, Wi. Aku kelewatan kali ini. Pasti enggak mudah buat kamu cerita hal ini, tapi aku malah menganggapnya enggak serius. Maaf ya.” Ini yang Dewi maksud. Dia tak perlu menjelaskan diri kepada Ryan. Laki-laki itu masih saja bisa memahami hati Dewi dan membaca pikirannya. Ketika pacaran dulu, Ryan selalu bisa meladeni Dewi dan segala kemauan absurdnya. “Ayo, cerita, Wi. Aku pasti dengerin kamu cerita sampe selesai,” kata Ryan lembut. Kini laki-laki itu sengaja memiringkan badannya menghadap Dewi, memberikan seluruh perhatian dan fokusnya untuk mendengar Dewi berkisah. Dewi meneguk lagi cappuccino-nya, dan mendesah lelah. Rasa jengkel pada reaksi Ryan tidak seberapa dibanding keinginan Dewi untuk mencari solusi dari permasalahannya. Kekesalannya pada Ryan hanya seujung jari dibanding dengan kegundahannya karena diabaikan Benny. “Seperti yang aku bilang tadi, Benny belakangan berubah. Awalnya aku pikir karena memang banyak pekerjaan kantor yang menyita fokusnya. Kantor lagi gak baik, Yan. Dia harus kerja keras. Dan aku tahu Benny mati-matian kerja karena enggak mau kantor warisan Papinya kolaps.” Ryan mengambil cangkir dan meminum isinya, tanpa melepaskan pandangannya dari Dewi. Reaksi itu ditangkap oleh Dewi yang makin yakin untuk mencurahkan isi hati dan pikirannya kepada Ryan. “Aku berusaha ngertiin dia, Yan. Beban dia pasti berat banget. Aku kasih dia ruang untuk lembur di rumah. Kan mending dia di rumah, aku masih lihat dia ada gitu, ketimbang dia lembur di kantor. Lama-kelamaan, dia malah mengurung diri di ruang kerja, tidur di sofa bed di sana.” “Udah berapa bulan dia begitu?” tanya Ryan dengan nada rendah yang membuat Dewi tak ragu untuk menjawabnya. “Kalau aku gak salah ingat, tiga bulan gitu.” Ryan berdeham. “Sori nih, Wi, aku harus nanya. Selama tiga bulan itu, kalian enggak berhubungan gitu?” Dewi sempat mengalihkan pandang selama beberapa detik. Dia kemudian menatap Ryan dan menggeleng. Setelah itu Dewi menunduk, mengarahkan pandang pada tangannya yang terlipat di atas pangkuannya sendiri. “Astaga, Wi! Om suamimu masih normal kan?” “Itu yang bikin aku bingung, Yan. Aku sampe buang harga diri, coba menggoda dia, tetap aja hasilnya begitu.” Dewi tak juga menaikkan pandang. Tangannya saling meremas tanda dia sedang sangat gelisah. Tapi karena tak mendengar respons Ryan, Dewi akhirnya melirik ke arah laki-laki itu. Ryan sedang menggaruk pelipisnya, tampak berpikir keras. “Wi, aku enggak bermaksud menakuti kamu ya. Laki-laki bisa tahan enggak melakukan itu selama tiga bulan agak mustahil. Entah… Om suamimu…,” kalimat Ryan terhenti. Dia berdeham dan menelan ludah. “Entah dia self service atau punya simpanan. Tapi ini masih asumsi ya, Wi,” imbuh Ryan mencoba menenangkan Dewi. "Beneran gak normal ya, Yan?" Dewi merasakan matanya panas. Istri macam apa dia, hingga tak memahami benar kebutuhan suaminya? Bisa-bisanya dia tidak peka akan kejanggalan yang terjadi di rumah tangganya. Ryan menyodorkan cappuccino milik Dewi, meminta perempuan itu untuk minum agar dia sedikit tenang. "Bukan salah kamu, Wi." Di tengah gundah yang mengimpit, Dewi bisa merasakan sedikit kelegaan mendengar kata-kata penghiburan dari Ryan. Baru saja rasa itu membelit dan mulai mencekik Dewi, tapi Ryan sudah menghalau rasa bersalah yang muncul ke permukaan itu. "Aku kok enggak nyadar kalo ini udah enggak normal ya, Yan?" Dewi menatap laki-laki itu dengan mata yang mulai buram. Cepat-cepat Dewi mengambil tisu yang ada di meja dan menghapus titik air mata yang hampir berjatuhan. "Pelan-pelan aja, Wi. Nanti maskaramu luntur." Dewi terbahak mendengar komentar Ryan. "Sekarang udah jago mengenali alat make up cewek ya, Yan? Aku kudu berguru sama calon istrimu, gimana caranya ngajarin suami perlengkapan dandan istri." Ryan tersenyum lebar. "Gitu dong, jangan melow terus. Masih ada harapan, Wi. Enggak salah kamu cerita ke aku. Aku bakal bantu kamu." “Serius kamu mau bantuin aku?” tanya Dewi memastikan. Laki-laki itu mengangguk dan mengerling pada Dewi. "Serahkan pada ahlinya,” kata Ryan sambil menepuk dadanya yakin. “Kita bikin Om suamimu ingat lagi kenapa dia pilih kamu. Kalo perlu, kita bikin dia menyesal sudah menyia-nyiakan istrinya yang super cantik ini. Kita bikin dia enggak bisa lepas dari kamu… Dewi Anjani, the goddess!" – Senyum puas mengembang di wajah Benny. Setelah jam makan siang, Dewi sudah mengirimkan sketsa awal untuk proyek Pak Akbar. Gambar itu memang hanya hasil goresan tangan Dewi di atas kertas. Namun, Benny sudah bisa melihat ide-ide yang Dewi tuangkan di sana. Benny yakin tak butuh waktu lama buat Dewi untuk memulai dan menyelesaikan proyek Pak Akbar. Paling lambat lusa Dewi sudah pasti mengirimkan desain yang lebih rapi. Paling tidak sebelum istrinya itu pulang dari Belitung, sudah ada draft yang bisa diserahkan ke pihak Pak Akbar. Dewi memang sangat bisa diandalkan. Sejenak, Benny menoleh ke arah sofa, tempat dia merayu Dewi kemarin. Mata Benny memejam, dan dia menghirup udara dalam-dalam, membayangkan aroma parfum Dewi, parfum yang dia belikan untuk istrinya. Sudah lama mereka tak berada sedekat itu. Aroma itu sangat menenangkan dan menyenangkan buat Benny. Namun, hatinya bergejolak. Harga dirinya selalu memberontak setiap kali dia bertatap muka dengan Dewi. Muak tiba-tiba menyeruak ketika dia berdampingan dengan istrinya itu. Benny sadar, semua ini bukan salah Dewi. Bisa dibilang, Dewi adalah korban ambisinya. Dia menelan begitu saja saran Papi, dan tidak pernah menyangka kehadiran Dewi seperti duri di setangkai mawar. Dewi membawa banyak klien dan mendongkrak kinerja perusahaan, tetapi di saat yang sama kehadiran perempuan itu menusuk ego Benny. Kemarin, lagi-lagi terbukti bahwa Benny sebenarnya tidak bisa lepas dari Dewi. Kelelahan dan kepenatan karena beban pekerjaan, perlahan terkikis hanya karena dia berada begitu dekat dengan Dewi. Menatap ke dalam mata Dewi, membuat Benny ingin merengkuh Dewi dan tidak melepaskannya. Tubuhnya sendiri mengkhianati ego yang dia pertahankan mati-matian. Ketika mengantar Dewi ke bandara pagi tadi, Benny rasanya ingin mengunci pintu mobil dan melajukan kendaraan itu kembali ke rumah. Kalau bisa, Benny ingin mengurung Dewi di dalam rumah dan tidak membiarkannya pergi. Dewi, yang mengenakan dress batik, tampak begitu anggun. Sesaat sebelum Dewi turun dari mobil, perempuan itu mengangkat rambut tebalnya dan mengikatnya rapi. Benny tak pernah lupa betapa indahnya leher Dewi. Ada dorongan dalam dirinya untuk membatalkan perjalanan Dewi kali ini. Namun, lagi-lagi egonya menang. Lagi-lagi, dia berpura-pura tak acuh dan membiarkan Dewi berjalan sendiri memasuki terminal. Benny menyetir menjauhi bandara sambil mengumpati dirinya sendiri. Suara ketukan pintu membuat Benny membuka matanya. “Ya, masuk.” “Pak Ben, apa masih ada yang diperlukan?” tanya Dinda dengan begitu manis. Benny melirik ke arah jam dinding dan melihat sudah lewat waktu pulang kerja. Ketika menatap Dinda, Benny terkagum melihat sekretarisnya itu masih terlihat segar dan menawan. Dia tersenyum lalu memberi tanda agar Dinda mendekat. “Pesan makan malam ya, Din. Kita dinner.” Benny menggenggam tangan Dinda yang terulur ke arahnya. “Mau makan di mana? Di sini atau….” Sepertinya Dinda sengaja tak melanjutkan kalimatnya, seperti menantang Benny untuk memutuskan. “Di apartemen kamu juga boleh.” Dinda hanya mengangguk lalu tersenyum. Melihat hal itu, Benny merasa ada sesuatu yang mengganjal. Senyum Dinda tak selebar biasanya. “Kamu kenapa? Enggak nyaman karena meeting kemarin?” Benny menebak, Dinda tak suka melihat kedekatan Benny dan Dewi di meeting kemarin. Bahkan, setelah meeting, Benny dan Dewi terus berada di dalam kantor Benny dan baru keluar di jam pulang kantor. Dinda menggeleng. “Enggak apa. Aku ngerti kok harus tahu diri. Cuma, tetap aja sakit melihat Pak Ben dekat sama Bu Dewi. Maaf ya, Pak, aku harusnya lebih ngertiin posisi Pak Ben,” jawab Dinda manja sembari duduk di atas meja kerja Benny. Benny tersenyum lega. Ini salah satu alasan mengapa dia nyaman berada dekat dengan Dinda. Perempuan ini sangat memahami dirinya. Perempuan ini membuatnya merasa dibutuhkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN