Chapter 7

1268 Kata
Wymer POV °♢°)/" Setelah turun dari helikopter pribadiku, mataku memicing melihat begitu banyak calon siswa yang sepertinya tak seumuran denganku dan lebih menarik perhatian adalah salah seorang dari tujuh orang yang baru saja keluar dari helikopter lain. Dia seorang Asia dengan pelawakan tubuh yang sama denganku, tapi dia terlihat tak seperti seorang remaja, berpenampilan berantakan, penuh memar dan luka-luka yang baru. Di saat aku tengah memperhatikannya, seorang Administrator menegurku. "Tuan Muda di sana, aku tidak mengenali helikopter yang mengangkutmu. Kau itu rekrutan dari mana sih? Sini kasih aku lihat surat rekomendasimu." Aku mendengus. "Bukan aku yang harusnya kau curigai! Orang dari helikopter itu yang tak seperti siswa! Tak ada peraturan dilarang datang dengan kendaraan pribadi!" Jelas aku tersinggung, berbalik menegurnya. Administrator itu langsung memiting kepalaku, membuatku tercengang tak percaya. "Anak sombong! Tak ada peraturan seperti itu, tapi ada peraturan kalau siswa harus berangkat dari start point yang ditunjuk! Itu helikopter Emery, dan itu resmi. Artinya kau yang lebih mencurigakan, mana surat rekrutanmu! Nanti tidak aku lepas nih!" Ngambek seperti bocah? Konyol sekali! Tapi kunciannya sangat kuat, membuatku tak bisa melepaskan diri sendiri. Sebenarnya siapa dia? "Kau bikin aku susah mendata saja!" "Aku siswa lanjutan bodoh! Bukan orang-orang tua yang kalian rekrut!" Marahku, memukul wajahnya dengan map putih yang merupakan surat rekomendasi lanjutan sekolah. "Huft! Kalau siswa lanjutan harusnya kau naik kapal ini sejak kami berlayar dari Hawaii, malah datang banyak gaya. Dasar anak orang kaya.. Tuh kan, susah lagi ubah datanya." Dia pun mengambil map itu sambil ngomel-ngomel lagi. "Kau itu dibayar untuk mengurus administrasi, jangan banyak mengeluh!" Kesal ku, menunjuk mukanya setelah aku sengaja memblokir jalannya. Mukanya tampak bingung, sementara dua orang berpakaian jas hitam menyeretku menyingkirkan darinya. "Jaga mulut anda, yang ada di hadapan anda saat ini adalah adik dari pemilik sekolah." Mengatakan kalau dia adalah adik Jenderal!? "Tidak mungkin! Wajah bodoh itu tidak mirip Jenderal yang tangguh!" Aku tak percaya, penipu! "Haha.. Wajar saja tidak mirip, aku adik iparnya. Sudah.. Sudah lepaskan saja dia, ayo kembali mendata." Atau memang benar? Lagi pula kalau dipikirkan lagi, dia memang diperlakukan dengan hormat oleh mereka. "Hei, kau! Ada paket dari Emery untukmu, ambil koper ini dan ganti pakaian serta obati lukamu dulu baru registrasi!" Dia pun meninggalkanku dan menyapa siswa tua berantakan itu. Aku kembali mendengus, memperbaiki jasku dan menyeret koperku ke tepian dek kapal sambil mengamati. "Oh.. Eme-chan menepati kata-katanya. Terima kasih, jadi kau ini Uncle Romi ya?" "Iya! Iya! Tapi aku bukan pamanmu, tak usah ikut-ikutan panggil gitu. Nyebelin!" "Ya sudah." Usai percakapan singkat itu, orang Asia itu pergi ke kabin yang ditunjuk dan datang lagi helikopter lainnya. Sepertinya mereka menjadwalkan kedatangan di hari yang sama. Orang-orang yang turun dari helikopter itu lebih parah, tua, brewokan, bawa-bawa senapan seperti mainan dan mereka berpenampilan seperti Pasukan Gerilya. "Hei Romi, kau tidak merasa aneh ya, lihat mereka! Itu bukan penampilan seorang siswa yang wajar!" Aku langsung meninggalkan koperku dan pergi protes ke Administrator itu. Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja bertumpuk map hitam itu. "Hiks, mau gimana lagi, mereka orang yang direkrut Uncle Dean dari negara yang sedang berperang. Aku juga sudah malas di sini, Abang mah suka curang, jauh-jauhkan aku dari Lexie tercinta.. Huhuhuhu.." Malah menangis dan mulai menjahit boneka!? "Jangan menangis! Kau memalukan sebagai seorang laki-laki dewasa! Lihat mereka mendekat!" Makin kesal, ku guncang-guncang kerah bajunya dan ia malah pindah berjongkok di bawah meja bertuliskan bagian registrasi itu masih sambil menjahit. "Ya sudah, mulai sekarang kau saja yang jadi administratornya, aku ngambek. Cek sendiri surat rekrutan mereka, kalau asli dan memang mereka punya kemampuan di bidang militer terima saja. Umur, kewarganegaraan, riwayat pendidikan sama sekali tak masalah. Itu saja." Melemparkan tanggung jawab padaku? "Bodoh! Mana aku tahu surat rekrutan yang asli seperti apa! Bangun dan kerja! Ini ku ambil!" Sudahlah! Aku muak, persetan soal siswa seperti apa yang datang, kalau tidak suka tinggal ku buat mereka berhenti sekolah atas kemauannya sendiri. "Jangan ambil peralatan menjahit dan Lexie kecilku!" Aku juga tak peduli ratapan konyol itu. Kubuang saja benda feminin itu ke laut, kembali ke tempat dudukku dan memfokuskan penglihatan pada orang-orang yang turun dari helikopter berikutnya. Tapi sudah tak mau terlibat saat Romi ngomel-ngomel lagi karena mereka mengangkut kelebihan satu siswa. Seorang siswa tambahan yang kukenal, pembunuh bayaran langganan ayahku. Sepertinya sekolah tak lagi sama, dengan membangun di sebuah pulau pribadi seperti ini memang tak aneh kalau Jenderal berniat mencetak kami sebagai prajurit secara serius. Tak ada kunjungan rutin orang tua yang protes latihan terlalu keras, tak ada wakil dari organisasi perlindungan anak yang terus datang memastikan siswa-siswi tak terluka dan terlalu banyak penjahat yang dikumpulkan di sini. Seolah-olah menyuruh kami bersaing dengan mereka yang telah melewati masa perang, mereka yang terbiasa membunuh demi uang, dan mereka yang melihat dunia dengan cara berbeda dengan anak-anak remaja yang belum mengenal kekejaman dunia seperti kami. Tak heran, hanya ada 270 siswa-siswi yang memilih melanjutkan ke sekolah ini dari total 2000 siswa-siswi yang terpisah ke dalam 50 Sekolah Menengah. Kurasa mereka sudah bisa menebak seperti apa kira-kira perbedaan sistem pendidikan yang dianut dari cara Kepala Sekolah kami dulu menyampaikan mengenai Akademi ini. "Hei, lihat siapa yang ada di sini. Tuan Muda Ludledge, apa kabar?" Dan pembunuh itu kini datang menyapaku setelah ia selesai memberikan penjelasan pada Romi. "Adolf Hunt, jadi sekarang kau sudah pensiun jadi hitman dan mau main-main jadi anak sekolahan?" Sinisku, aku tak terlalu menyukainya. Tapi aku juga tak membencinya, dia seorang profesional yang tahu beretika, tahu bagaimana berbaur dengan kami para kalangan atas. "Hei, jangan sinis begitu.. Begini-begini juga sebenarnya kita seumuran. Aku juga mengikuti sekolah seperti anak-anak pada umumnya, soal pekerjaan itu masalah lain." Pembohong, yang jelas dia tak bisa dipercaya. Aku yakin dia punya misi di sekolah ini, entah membunuh salah satu siswa, staf pengajar atau malah keluarga Jenderal. Yang jelas aku tahu dia tak akan menjadikan ku target karena ayahku salah satu sumber uangnya. "Hem.. Panggil Wymer saja, kita bisa berpura-pura berteman selama masa sekolah." Usulku. "Wymer, tentu saja. Lagi pula aku senang bertemu orang yang kukenal di sini, ngomong-ngomong kau direkrut siapa?" Dia setuju, mulai mencari informasi, salah satu kebiasaannya yang kutahu. "Aku siswa lanjutan." Tak masalah memberinya informasi yang ia mau selama tak merugikanku. "Oh, jadi kau kenal Feyrin A.R.A? Apa dia ada di sekitar sini?" Apa Penyihir m***m itu yang menjadi targetnya? Baguslah. Setidaknya manusia busuk yang menjadi targetnya. "Tidak tahu, kami berasal dari Sekolah Menengah yang berbeda. Tapi memang aku mengenalnya, beberapa kali kami bertemu di Turnamen Tahunan Wallace. Dia berasal dari angkatan pertama Sekolah Dasar Wallace yang pertama dibuka dan selalu diikuti dua orang b***k setianya, seharusnya dia ada di sini. Kenapa kau tak bertanya pada Romi? Semua orang tahu kalau mereka satu keluarga." Ya, semua siswa lanjutan pasti tahu, entahlah kalau mereka yang direkrut. "Tidak menyenangkan bertanya pada Romi, bibiku bisa marah kalau aku mengusik adik ipar kesayangannya." Apa? "Kau punya hubungan dengan keluarga mereka?" Aku tak percaya, tapi melihat ia bisa lolos dari masalah administrasi semudah itu harusnya kemungkinan itu ada. "Eh, ya. Kalian memanggil pemilik sekolah Jenderal bukan? Orang itu suami dari adik perempuan ibuku." Tapi.. Bukannya itu menjadi rumit? Aku langsung menarik lengannya dan mendekatkan mulutku ke telinganya. "Dan kau masih berniat membunuh Feyrin meski ia bagian dari keluarga bibimu?" Setidaknya aku tak mau ada yang mendengarkan pembicaraan kami yang satu ini. Ia menyeringai mengerikan tanpa menjawab apapun, hanya lima detik kemudian memasang wajah polos. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, aku datang kemari sebagai siswa dan hanya ingin memperluas wawasan." Dasar pembunuh licik. Mana mungkin aku mempercayainya, "Ya, jika itu maumu aku tak akan ikut campur." setidaknya aku akan menggunakannya sementara menghabiskan waktu tiga tahun di tempat membosankan seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN